Pesan Malang Untuk Menangkal Radikalisme dan Terorisme

Heny Rahayu
2015.11.30
Malang
jk-620 Wakil Presiden Jusuf Kalla berbicara kepada wartawan setelah menutup Konferensi Internasional Ulama dan Cendikiawan di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, Jawa Timur, 25 November 2015.
BeritaBenar

Menyebarkan Islam Rahmatan Lil Alamin, mengamalkan Islam moderat dan memadukan pendidikan antara nilai-nilai spiritual, intelektual dan amal soleh, adalah tiga poin penting dalam Malang Message (Pesan Malang), hasil dari Konferensi Internasional Ulama, Sufi dan Cendikiawan atau International Conference of Islamic Scholars (ICIS) yang berakhir mingu lalu di Malang.

Konferensi yang digelar selama tiga hari di Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang, Jawa Timur, itu mengharapkan Pesan Malang menjadi solusi untuk menangkal radikalisme, ekstremisme dan terorisme.

Pesan itu dibacakan Direktur European Network Against Racism, Michael Privot dari Belgia dalam penutupan konferensi 25 November lalu.

"Agama menjadi sumber inspirasi sebagai solusi terhadap masalah di dunia modern," ujarnya.

Michael mendukung Pesan Malang untuk mendorong ulama tanpa batas negara dan aliran dalam mewujudkan perdamaian antarumat beragama. Ulama tanpa batas ini harus membangun jaringan memberdayakan masyarakat melawan radikalisme global, harapnya.

Malang message yang dihasilkan Konferensi ICIS keempat itu menjadi penting karena saat ini terjadi konflik berkepanjangan di sejumlah negara Timur Tengah.

Wapres mendukung

Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla saat menutup konferensi ICIS mendukung usaha mengamalkan agama Islam yang Rahmatan Lil Alamin. Tujuannya untuk meredam konflik dan perpecahan, terutama di negara-negara Islam Timur Tengah.

Kalla mengaku sedih karena saat Tahun Baru Hijriyah, umat Islam harus hijrah dari negaranya ke Eropa. Mereka mengungsi untuk mendapatkan perlindungan dan rasa aman.

Menurut Wapres, konflik Timur Tengah dipicu perilaku sendiri yang menyebabkan kekacauan, konflik, dan menjadi kehancuran sebuah negara.

"Konflik terjadi di negara Islam bukan karena ajaran agama. Tidak ada ajaran yang memberikan toleransi membunuh," ujarnya.

Konflik Suriah, Libya, Yaman, Mesir dan Irak karena kepemimpinan otoriter dan tak adil. Sedangkan agama Islam mengajarkan pemimpin yang adil, tidak otoriter. Konflik juga terjadi di dalam dan ada serangan dari luar.

"Hancur dari dalam dan dihancurkan dari luar," kata Jusuf Kalla.

Sedangkan radikalisme dan terorisme terjadi karena pikiran dan cara pandang yang salah. Selain itu karena kemarahan kelompok yang tak mendapat kesempatan dalam pembangunan.

Mereka masuk paham radikalisme, serta ajaran yang mengajarkan surga diperoleh secara instan seperti bunuh diri atau membunuh tanpa alasan. Padahal Islam tidak mengajarkan kekerasan.

Menurut Kalla, untuk mencegah kehancuran suatu negara, rakyat yang menjaga negerinya sendiri dengan memilih pemimpin yang adil, tak otoriter dan menjalankan pemerintahan secara demokratis dan terbuka.

“Tak mungkin pemerintahan otoriter bertahan dalam masyarakat muslim. Mohon ulama mendoakan, dan mendorong pemimpin yang baik. Sehingga negara besar tak bisa menghancurkan negara lain," ujarnya.

Islam moderat

Malang message merupakan pernyataan sikap ulama 34 negara di Asia Pasifik dan Timur Tengah. Mereka menyuarakan Islam moderat dan Islam Rahmatan Lil Alamin (agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi semua makhluk).

"Islam yang toleran, moderat, tidak kiri dan kanan. Nilai ini akan kita ekspor ke negara lain," ujar Sekretaris Jenderal ICIS, Kiai Haji Achmad Hasyim Muzadi.

Konsep Islam moderat yang berkembang di Indonesia dan Asia Tenggara, kata dia, akan ditawarkan untuk mengakhiri konflik di sejumlah negara Islam Timur Tengah.

Menurutnya, konflik dan radikalisme terjadi karena perbedaan cara pandang dan intoleransi.  Toleransi dan Islam moderat menjadi solusi untuk mengatasi persoalan tersebut.

”Menerapkan Islam yang sebenarnya. Islam yang ramah, bukan yang marah. Cegah ekstrem kiri maupun ekstrem kanan,” tegasnya.

Rumusan menangkal radikalisme, katanya, akan menjadi sumbangan Indonesia bagi dunia, yakni dengan menerapkan pendidikan moderat yang sebelumnya tak pernah dibahas dalam konferensi Islam lainnya, tambah Hasyim.

Selain pendekatan agama juga diterapkan diplomasi melalui kelompok masyarakat lintas negara seperti pendekatan di ASEAN bersama Malaysia, Brunei, Singapura dan Thailand. Sebab, pemikiran di kawasan ASEAN berpotensi disatukan.

Hasyim menambahkan aksi terorisme dan antiterorisme harus diurai secara bersama agar terorisme berhenti dan antiterorisme tak menimbulkan terorisme baru.

Menurut dia, Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) terbentuk dari antiterorisme yang menimbulkan terorisme baru sehingga kini telah mengancam dunia.

Sedangkan gangguan terorisme di Indonesia, tutur Hasyim, terjadi karena masuknya paham transnasional yang memicu terorisme sehingga merusak citra umat Islam.

WNI yang terlibat ISIS

Sementara itu, Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) Abdurrahman Mohammad Fachir mengaku terkejut dengan aksi teror di Paris yang dilakukan ISIS belum lama ini.

Apalagi sejumlah warga negara Indonesia (WNI) terlibat dan bergabung ISIS di Suriah dan Irak.

“Datanya perlu diverifikasi lagi, ada yang menyebut 428 WNI bergabung ISIS,” ujarnya.

Verifikasi WNI yang bergabung dengan ISIS akan ditindaklanjuti dengan tindakan hukum di negara bersangkutan, hukum di Indonesia maupun hukum internasional, tambahnya.

Penanganan orang yang terlibat ISIS juga akan melibatkan sejumlah negara untuk memerangi radikalisme yang mengatasnamakan agama secara bersama-sama.

“Juga bekerjasama dengan ulama Suriah, kita minta beliau untuk tolong anak-anak kita di sana. Memberi pencerahan, karena terpengaruh nilai ekstrimisme,” katanya.

Fachir juga mengkhawatirkan mereka akan kembali membawa paham radikalisme di Indonesia. Untuk itu, dia berharap konferensi sufi dan cendikiawan ini menghasilkan dan merumuskan usaha menangkal radikalisme.

Berdasarkan temuan Pusat Penelitian Pew yang dirilis pada 17 November, 79 % dari 1000 responden di Indonesia menolak ISIS. Hanya 4 % yang mendukung kelompok yang ingin mendirikan negara Islam yang berpusat di sebagian wilayah Irak dan Suriah itu,  sementara sisanya tidak memilih.

Mengenai hal itu, Fajar Riza Ul Haq, cendekiawan Muslim dan direktur eksekutif Maarif Institute,  seperti dilansir di laman Jakarta Globe pada 19 November, mengatakan walaupun jumlahnya kecil temuan tersebut mengkhawatirkan karena jumlah tersebut sangat mungkin berkembang ketika kaum Muslim Indonesia melihat ISIS sebagai satu-satunya  kekuatan dalam melawan hegemoni Barat.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.