Pasal Larangan Terhadap Penghinaan Presiden Memalukan Demokrasi Indonesia, Pakar
2015.08.06

Ketua Komisi III DPR Azis Syamsuddin mengatakan bahwa pihaknya akan menolak usulan pemerintah untuk menghidupkan kembali pasal mengenai larangan penghinaan terhadap presiden yang terdapat dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP).
“Ini sangat disesalkan karena kita sudah melewati massa itu, pasal ini merupakan warisan kolonial yang pernah diadopsi oleh Orde Baru selama lebih dari tiga dekade. Apa kita mau mempermalukan demokrasi kita,” kata Azis kepada BeritaBenar di kantornya tanggal 6 Agustus.
Azis juga menambahkan bahwa pasal ini telah dibatalkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2006.
“Kita sudah hidup dalam ranah demokrasi hampir satu dekade, jadi seharusnya lebih maju bukan mundur,” katanya lanjut.
Bukan yang pertama
Aturan mengenai penghinaan kepada presiden tercantum dalam draf revisi KUHP, Bab II tentang Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden, bulan lalu.
Salah satu pasal dalam Rincian Bab II pada bagian kedua, Pasal 263 menyebutkan “Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.”
Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengatakan maksud dari usulan ini bukan untuk membawa kemunduran demokrasi, tetapi untuk meletakkan kritik dan ketidaksepakatan secara demokratis dan bukan melalui pelecehan.
“Bukankah Presiden itu simbol negara?” kata Jokowi seraya menjelaskan bahwa ini hanya usulan tetapi jika masyarakat menolak, ia akan menerima keputusan tersebut.
"Beda pendapat tentunya wajar dalam demokrasi. Keputusan apapun yang dihasilkan nantinya juga harus saya terima.”
Upaya menghidupkan kembali pasal penghinaan terhadap presiden bukan pertama kali muncul setelah era reformasi.
Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga pernah mengajukan usulan serupa, tetapi usulan tersebut kandas di meja DPR karena ditentang rakyat.
Pasal Karet
Pakar hukum tata negara dan mantan Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan pasal tersebut sebagai pasal "karet" yang telah lama dihapus oleh MK.
"Disebut pasal karet karena diinterpretasikan bermacam-macam. Riwayat pasal tersebut sebenarnya ditujukan kepada Ratu Belanda. Dan setelah kita merdeka dianggap bisa berlaku untuk presiden," ujar Yusril kepada BeritaBenar tanggal 6 Augustus.
“Pasal ini akan mengembalikan Indonesia dalam kondisi di jaman penjajahan. Sebab, Presiden tidak memperhatikan azas demokrasi yang terus berkembang. Pemerintah ingin mengembalikan Indonesia dalam sistem feodalisme,” katanya lanjut.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan akan mendiskusikan hal ini dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly.
"Seandainya pasal-pasal tersebut kembali dihidupkan apakah ada hal-hal yang bisa diterima dan yang tidak bisa diterima dalam usulan tersebut,” katanya kepada BeritaBenar via telepon.
“Mendidik”
Tidak semua anggota DPR menolak adanya usulan pasal-pasal kontroversi tekait dengan penghinaan terhadap presiden.
Anggota Komisi III DPR dari Partai Demokrat Ruhut Sitompul justru memberikan dukungannya terhadap pengembalian pasal ini.
“Pasal ini bertujuan baik agar presiden sebagai kepala negara tidak dipermalukan. Masyarakat kita perlu belajar cara berdemokrasi yang sehat, yaitu dengan cara menghormati dan menghargai perbedaan,” katanya seraya menjelaskan bahwa perbedaan di Indonesia masih sering diwarnai kerusuhan.
“Masih anarki itu yang kita antisipasi,” tegas Ruhut.
Pakar hukum ini juga mengatakan jika masyarakat Indonesia sudah bisa menghargai perbedaan dengan berpikiran positif cara menyalurkannya maka pasal ini kiranya tidak diperlukan.
“Tapi saya rasa masyarakat kita belum siap. Wajah mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ditaruh di pantat kerbau. Menurut saya itu contoh penghinaan, bukan mengkritik yang baik dan ini yang ingin dicegah oleh pemerintahan Jokowi,” katanya.
Komisioner Komnas HAM Siane Indriani mengatakan permohonan tersebut berlebihan untuk alam demokrasi Indonesia saat ini.
"Itu terlalu berlebihan ya, presiden seharusnya sadar pasal tersebut adalah pasal karet susah untuk membedakan antara kritikan dan hinaan," ujar Siane.
“Saya rasa dalam demokrasi Indonesia sekarang pemimpin harus mendengarkan rakyat bukan membungkam rakyat,” tukasnya.