16 Tahun Tragedi Bom Bali, 'Bukan untuk Bersedih, Namun untuk Tetap Waspada'
2018.10.12
Badung

Ngesti Puji Rahayu, saat itu berusia 40 tahun, dan teman-temannya sedang berada di Paddy’s Club Jalan Legian, Kuta, Bali, 12 Oktober, 16 tahun lalu. Malam itu mereka hendak menikmati malam Minggu di salah satu jantung pariwisata Pulau Dewata itu.
Namun, saat sedang menikmati musik di bar itu, bom meledak. Perempuan kelahiran Jember, Jawa Timur, itu terempas beberapa meter.
Dia kemudian tidak ingat apa-apa karena pingsan. Ketika sadar, ia sudah melihat suasana hancur lebur. Tubuh-tubuh bergelimpangan. Dia merasakan panas di sekitarnya.
Malam itu, Yayuk termasuk salah satu korban bom yang diledakkan jaringan Jamaah Islamiyah (JI), kelompok militan yang berafiliasi dengan organisasi teroris al-Qaeda.
Selain di Paddys Club, bom juga meledak di Sari Club. Keduanya yang berjarak sekitar 200 meter merupakan bar populer di Kuta.
Pengeboman itu menewaskan 202 orang, terdiri dari warga Australia (88 orang), Indonesia (38), Inggris (23), Amerika Serikat (7), dan sejumlah warga negara lain, termasuk Jepang, Jerman, dan Ekuador.
Jumat, 12 Oktober 2018, tepat 16 tahun kemudian, Yayuk datang kembali ke lokasi pengeboman yang dilakukan Amrozi Cs. Di seberang Sari Club, lokasi dengan jumlah korban terbanyak, dibangun Monumen Bom Bali. Nama-nama korban terukir di sana.
Ia meletakkan sekuntum bunga di monumen tersebut dan berdoa.
Yayuk yang pernah dirawat di Australia, pernah difasilitasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk bertemu pelaku pengeboman.
“Saya sudah memaafkan mereka. Tuhan kan maha baik,” katanya.
Kehilangan anak dan menantu
Tidak hanya Yayuk, pasangan suami istri asal Jepang Suzuki Tomihisa dan Suzuki Takako juga tampak disana. Setiap tahun mereka berkunjung ke Bali untuk memperingati tragedi yang merenggut anak dan menantu mereka, Kosuke Suzuki dan Yuka Suzuki, yang kala itu berbulan madu.
“Saya datang ke sini karena anak saya cinta Bali,” kata Takako, sang istri.
Keduanya juga mendatangi Pantai Kuta, untuk meletakkan minuman, makanan, dan lilin di depan foto anak mereka. Mereka membawakan makanan dan minuman kesukaan anak mereka, termasuk bir.
Usai meletakkan “hadiah” untuk anaknya, mereka menungkupkan tangan, berdoa. Takako sesekali menyeka air mata.
“Semua orang di dunia harus setara. Mereka harus melihat kebahagiaan, tidak hanya untuk diri sendiri tetapi juga orang lain di dunia. Jika mereka bisa melakukan, dunia akan bisa lebih damai,” kata Tomihisa.
Bom Bali adalah tragedi terorisme di Indonesia yang paling mematikan dan menjadi salah satu pembuka mata bahwa jaringan radikal dan terorisme sudah menyusup di Indonesia.
Tragedi itu juga telah memantik fokus pemerintah dalam penanggulangan terorisme. Detasemen Khusus (Densus 88) Anti Terror dibentuk pada tahun 2003 sebagai respons terhadap Bom Bali. Pasukan khusus tersebut telah berhasil mencegah sejumlah aksi terror, walaupun serangan terorisme masih terus terjadi.
Pada bulan Mei lalu dua keluarga di Surabaya melibatkan istri dan anak-anak mereka melakukan serangan bom bunuh diri di tiga gereja dan sebuah markas polisi di Surabaya, menewaskan belasan orang. Kejadian itu menjadi serangan teror pertama yang melibatkan perempuan dan anak-anak sebagai pembom bunuh diri di Indonesia.
Kepolisian mengatakan pelakunya adalah anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD), jaringan militan yang berafiliasi dengan kelompok ekstrem Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Memastikan tidak terjadi lagi
Sejumlah pejabat yang sedang menghadiri pertemuan tahunan Lembaga Keuangan Internasional (IMF) dan Bank Dunia di Nusa Dua juga turut memperingati 16 tahun bom Bali.
Dua di antaranya ialah Menteri Keuangan Australia, Josh Frydenberg, dan Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Timor Leste, dan ASEAN, Moazzam Malik.
Kedua pejabat negara dengan jumlah korban terbanyak ini datang ke Ground Zero, pukul 08.30 WITA. Bersama Nyoman Swanjaya dari Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Bali, mereka meletakkan bunga duka cita dan mengheningkan cipta.
“Ini sangat menyedihkan. Saya bersama Dubes Moazzam Malik karena 16 tahun lalu ada tragedi. Hari kelam bagi Indonesia dan Australia. Banyak korban bom yang masih terdampak bom Bali, secara fisik dan mental,” kata Frydenberg kepada media.
“Sejak tragedi 16 tahun lalu, Indonesia dan Australia bekerja sama untuk memastikan agar kejadian serupa tidak terjadi lagi,” lanjutnya.
Moazzam menambahkan, salah satu bukti kerja sama tersebut adalah berdirinya Jakarta Center for Law Enforcement Cooperation (JCLEC). Lembaga yang berdiri sejak 2004 berkantor di Jakarta dan memiliki pusat latihan di Semarang, Jawa Tengah.
Awalnya, JLEC merupakan hasil kerja sama Indonesia dan Australia setelah bom Bali pada 2002. Namun, hingga kini, terdapat 80 negara yang berpartisipasi dalam pelatihan-pelatihan di JCLEC.
Berdasarkan informasi di situs resmi JCLEC, terdapat lebih 26.000 peserta latihan sejak lembaga ini berdiri. Mereka dilatih oleh lebih dari 5.600 ahli dan fasilitator dari 35 negara.
Pada petang hari, peringatan lebih besar diadakan oleh Yayasan Isana Dewata, paguyuban para korban bom Bali.
“Kalau ada sekarang monumen kita lihat di sini, jangan ada monumen-monumen lain,” kata Thiolina F. Marpaung, Sekretaris Isana Dewata.
Ia menambahkan bahwa peringatan tiap tahun bukan untuk bersedih hati tetapi mengingatkan semua pihak untuk tetap waspada.