32 negara kepulauan sepakat kerja sama tangani perubahan iklim

Sebagian pakar sebut bahwa kesepakatan KTT AIS sulit diimplementasikan karena latar anggota yang beragam.
Tria Dianti dan Arie Firdaus
2023.10.11
Jakarta
32 negara kepulauan sepakat kerja sama tangani perubahan iklim Presiden Joko Widodo memberikan statemen dalam KTT Forum Negara-Negara Kepulauan dan Negara Pulau di Bali Nusa Dua Convention Center, Kabupaten Badung, Bali, 11 Oktober 2023.
Foto: Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden

Para pemimpin dari 32 negara kepulauan, mulai dari Karibia hingga Pasifik, menjanjikan solidaritas dan kerja sama mereka dalam berbagai tantangan terkait perubahan iklim, kesehatan laut, dan pembangunan berkelanjutan pada pertemuan puncak di Indonesia pada Rabu (11/10).

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Forum Negara-Negara Kepulauan dan Negara Pulau (Archipelagic and Island States/AIS) juga menyepakati pembentukan organisasi yang akan berpegang pada prinsip-prinsip kesetaraan, solidaritas, penyelesaian sengketa secara damai dan penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas wilayah.

“Menugaskan para menteri negara kepulauan ini untuk memulai diskusi mengenai peta jalan strategis dan modalitas untuk membentuk organisasi berbasis piagam untuk memajukan kerja sama,” demikian bunyi kesepakatan tersebut.

Kerangka kerja sama yang dibangun di bawah forum ini akan memfasilitasi berbagai macam solusi untuk menyelesaikan tantangan terkait isu lingkungan yang mendesak, seperti mitigasi perubahan iklim, manajemen bencana, termasuk mengurangi risiko cuaca ekstrem dan peringatan dini bencana.

“Pembangunan ekonomi yang berkelanjutan ini sebagai bagian upaya bersama untuk mencapai ketahanan pangan, pengembangan konektivitas antar pulau, dan peningkatan kapasitas penelitian kelautan dan inovasi, termasuk bioteknologi,”

Selain itu, adanya kerja sama perlindungan laut dari tantangan degradasi ekosistem laut, hilangnya keanekaragaman hayati, sampah plastik, dan polusi laut juga menciptakan tata kelola maritim yang baik.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengatakan ancaman perubahan iklim sangat nyata, seperti masalah pencemaran laut oleh sampah dan limbah yang terasa dampaknya dan mengancam tidak hanya bagi keberlangsungan laut tapi juga kedaulatan dan kesatuan wilayah negara.

“KTT AIS sepakat untuk memegang prinsip solidaritas, kesetaraan dan inklusivitas sebagai landasan bersama dalam bekerja sama. Negara berkembang dan negara kepulauan memiliki hak yang sama untuk maju, memiliki hak yang sama untuk melakukan pembangunan,” kata Jokowi.

Indonesia juga berkomitmen menyiapkan dana hibah untuk dimanfaatkan terutama dalam mengatasi perubahan iklim dan pengembangan inovasi baru dan tata kelola laut yang berkelanjutan.

Melalui Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi, Indonesia berkomitmen memberi pendanaan 5 juta dolar AS (Rp78 miliar) selama 2022 hingga 2025 untuk mendukung eksistensi forum AIS.

Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup (LHK), Siti Nurbaya mengatakan mengendalikan perubahan iklim yang dinilainya sudah dalam kondisi kritis bisa dilakukan dengan memanfaatkan hutan yaitu Mangrove dari negara kepulauan.

Siti memberi contoh bahwa Indonesia mempunyai 120 juta hektare hutan, Papua Nugini memiliki 36 juta hektare, Suriname mempunyai kira-kira 18 juta hektare, dan kemudian Filipina mempunyai hampir 8 juta hektar. 

“Jadi banyak sekali juga mereka punya hutan, dan ini katakanlah bisa menjadi diskusi awal bagi negara lain seperti Seychelles dan Sao Tome untuk mau belajar soal Mangrove,” ujar Siti dalam konferensi pers di Bali.

Menurut Siti, Indonesia memiliki komitmen untuk mencapai net zero emissions pada tahun 2060 atau lebih cepat. Untuk mendukung komitmen tersebut, Indonesia baru-baru ini mendeklarasikan target penurunan emisi.

Dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) terbaru, Indonesia menaikkan target pengurangan emisi menjadi 31,89 persen pada 2030 mendatang dengan target dukungan internasional sebesar 43,20 persen.

Menurut data Kementerian LHK, pemerintah Indonesia telah mendapatkan pengakuan dunia atas keberhasilannya dalam menurunkan emisi gas rumah kaca dari Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+) pada periode 2014-2016 sebesar 20,25 juta ton CO2eq, dan telah menerima Result Based Payment sebesar USD 103,8 juta.

Sulit diimplementasikan

Pengamat hubungan internasional Universitas Padjadjaran Teuku Rezasyah menilai kesepakatan KTT AIS akan sulit diimplementasikan secara menyeluruh mengingat negara-negara anggota memiliki latar yang beragam, baik luasan wilayah maupun kemampuan ekonomi.

“Akan susah (penerapan) karena kapasitas masing-masing negara berbeda. Kalau ingin berhasil, harus ada negara yang menjadi contoh penerapannya dan ada kesepakatan turunan yang mengikat,” kata Rezasyah kepada BenarNews.

Rezasyah menambahkan bahwa Indonesia dapat menjadi pionir mengingat selama ini sudah kerap menyuarakan perihal ekonomi biru atau perubahan iklim.

“Selama ini, AIS itu seperti memiliki ide besar, tapi implementasinya kecil,” kata dia.

Pengaruh soal Papua

Kendati pesimistis bahwa kesepakatan KTT AIS berjalan efektif, Rezasyah menilai keberadaan pertemuan ini sejatinya memberi manfaat bagi Indonesia dalam mengelola pengaruh di kawasan Pasifik selatan.

Beberapa negara di wilayah tersebut seperti Vanuatu atau Kepulauan Solomon selama ini menjadi basis dukungan kemerdekaan Papua di dunia internasional, kata Rezasyah.

“Manfaat jangka pendek, Indonesia berhasil menggaet negara MSG (Melanesian Spearhead Group) untuk enggak bicara politik untuk sementara waktu lewat event ini,” kata dia.

Ini dapat menjadi soft diplomacy karena selama ini mereka kerap bicara soal Papua.”

Hal sebaliknya dikatakan Pakar iklim Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Edvin Aldrian yang menilai keberadaan upaya mengatasi perubahan iklim dalam poin kesepakatan KTT AIS sebagai perihal baik.

Menurutnya, Indonesia mestinya selama ini memang mendorong dan mendekati negara-negara kepulauan sebagai upaya menangkal perubahan iklim lantaran menjadi yang paling terdampak akibat fenomena tersebut.

“Sudah lama saya mengusulkan itu, bahwa kita semestinya memang harus bergabung dengan negara pulau dalam mengupayakan hal itu,” kata Edvin kepada BenarNews.

Edvin menilai langkah pemerintah menyuarakan perubahan iklim di pertemuan negara-negara maju selama ini kerap menemui jalan buntu dan tidak beroleh respons baik.

“Pertemuan G7 selama ini kira jadi penonton saja. Masalah kelautan kita enggak pernah ‘bunyi’,” tambahnya.

 

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.