Pemerintah Diminta Lebih Tegas Terkait Klaim China
2016.06.14
Jakarta

Sejumlah kalangan menilai masalah sembilan garis putus (9-dash-line) di perairan Laut China Selatan (LCS) mulai menganggu hak kedaulatan Indonesia sehingga perlu adanya ketegasan sikap pemerintah terhadap klaim China tersebut.
Pakar hukum internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana mengatakan insiden penangkapan ikan ilegal oleh kapal China di perairan Natuna beberapa waktu lalu mengindikasikan jika China mulai menegaskan area 9-dash line sebagai miliknya.
“Pemerintah Indonesia sudah sebaiknya melakukan eksplorasi dan eksistensi penjagaan di perairan ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif) Indonesia, khususnya di Natuna,” ujarnya dalam seminar nasional tentang klaim 9-dash line Tiongkok di Jakarta, Senin, 13 Juni 2016.
Sebelumnya pada Maret 2016 lalu, kapal penjaga pantai China mengintervensi petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan cara menabrak kapal ikan China yang diduga mencuri ikan sehingga terlepas. Pemerintah kala itu sempat memprotes dengan memanggil duta besar China di Jakarta.
Kemudian kejadian terulang pada 27 April lalu saat kapal Gui Bei Yu 27088 tak memiliki izin dan dokumen menangkap ikan di perairan itu. Kapal dan awaknya ditangkap oleh TNI Angkatan Laut. Pemerintah China memprotes penangkapan itu dengan mengklaim perairan itu sebagai wilayah penangkapan ikan tradisional mereka.
“Semua tahu bahwa klaim China tidak berdasar pada hukum internasional. Meskipun sempat protes, Indonesia harus tetap menanyakan definisi 9-dash line kepada China. Indonesia harus firm, setidaknya memberikan signal kepada China,” kata Hikmahanto.
Hal senada juga disampaikan pakar hukum internasional dari UI yang lain, Melda Kamil Ariadno. Menurutnya, meski berkali-kali Indonesia menyatakan bukan sebagai claimant state, tapi kali ini pemerintah harus tegas dan menentukan sikap dalam mengatasi klaim China.
“Sekarang tak bisa lagi terus katakan begitu karena China sudah buktikan eksistensinya dengan selalu mencuri ikan di ZEE Indonesia sekitaran Natuna,” ujarnya.
Menurut dia, sebagai pemimpin ASEAN, Indonesia bisa menggerakkan negara-negara lainnya untuk mencari kejelasan terkait klaim China tersebut.
"ASEAN seharusnya bisa melakukan sesuatu dalam masalah ini. China memiliki strategic decision dan menjadi dilema bagi setiap negara karena semua reluctant terhadap China. China negara hebat dan kuat oleh sebab itu kita juga sadar bahwa kita tidak bisa hadapi Tiongkok sendiri," papar Melda.
9-dash line adalah garis yang dibuat Pemerintah China atau Tiongkok di Laut Cina Selatan sebagai wilayah pemancingan tradisional bagi nelayan mereka. Garis-garis itu meliputi Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam dan Indonesia. Sebelumnya tahun 2009, China juga pernah mengajukan klaim 9-dash-line ke PBB, namun ditolak.
Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan Indonesia menolak klaim China soal 9-dash line.
"Kita tidak akui 9 border line. Kita tidak mau ada power projection di situ. Kita juga harus tetap ada freedom of navigation," ujar Luhut seperti dikutip dari detik.com.
Bisa jadi pemicu konflik
Menurut pakar Geo Politik Laksamana TNI (Purn) Marsetio, belum adanya penjelasan China mengenai 9-dash line di Laut China Selatan rentan memicu pelanggaran batas perairan negara dengan Indonesia.
“Dasar China adalah berdasarkan historical view. Hal ini berpotensi menimbulkan konflik maritim di masa depan. Indonesia mungkin tak termasuk claimant state tapi jelas sudah menjadi bagian yang diklaim China,” paparnya.
Indonesia adalah negara kepulauan yang berbatasan langsung dengan 10 negara. Sejauh ini, perjanjian perbatasan yang sudah selesai hanya dengan Singapura, lanjutnya.
“Jika semua dilihat dari segi historical view, maka negara kuat akan mengklaim daerah yang diinginkan, bagaimanapun caranya,” tegas Marsetio.
Dalam teori konflik, dia menambahkan ada beberapa tahapan kondisi yaitu normal, low intensive conflict, konflik dan klimaksnya perang.
“Dalam kasus 9-dash line belum sampai tahapan konflik, namun low intensive conflict sudah mulai terlihat dari berbagai pendapat keras akademisi di China dan Amerika Serikat terkait hal ini yang bisa memicu konflik,” tegasnya.
Menanggapi kasus tersebut, diplomat senior, Hasjim Djalal menyerukan agar Indonesia untuk menjalin kerjasama dan bukan konfrontasi.
“Tidak adanya penjelasan China bisa ada untungnya yaitu kita bisa saja menginterpretasi sendiri tentang batas perairan seperti apa, tergantung bagaimana Indonesia memanfaatkannya,” katanya.
Dia berharap ASEAN bisa lebih mendorong pihak yang bersengketa untuk mengadakan dialog.
“Indonesia bisa lebih berperan, mungkin sebagai akselerator. Mungkin bisa mengajak ASEAN untuk mengadakan informal meeting untuk membahas masalah ini,” ujarnya.
Siapkan statement ASEAN
Sementara itu, Sekretaris Dirjen Kerjasama Internasional Kementerian Luar Negeri, Damos Dumoli Agusman, mengatakan bahwa saat ini Indonesia sedang mengupayakan penguatan kapasitas hukum di sekitar kawasan ZEE Indonesia.
“Kalau terus-terusan legal enforcement di kawasan Natuna, maka China akan tahu signal kita seperti apa,” katanya.
Menurut dia, Indonesia dan ASEAN sedang menyiapkan dokumen untuk mengeluarkan statement bersama terkait Laut China Selatan, untuk menciptakan stabilitas kawasan yang kondusif.
“ASEAN memang butuh statement, kita tunggu hasil Arbitrase Filipina seperti apa, hasilnya keluar beberapa minggu lagi,” jelas Damos, mengacu pada arbitrase yang dilakukan oleh Filipina ke mahkamah arbitrasi di Den Haag, Belanda, mengenai Laut China Selatan setelah ada wilayah Filipina yang diklaim Beijing. Menurut laporan keputusan arbitrase itu akan digelar bulan depan.