Tragedi Pengungsi Rohingya, Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi Dipertanyakan

Oleh Ismira Lutfia Tisnadibrata
2015.05.22
150522_ID_ISMIRA_PKB_ROHINGYA_700.jpg Migran Rohingya dari Myanmar melakukan sholat Jumat di Bayeun, Aceh tanggal 22 Mei 2015.
AFP

Di tengah situasi krisis migran etnis Rohingya berasal dari Myanmar yang semakin meningkat, ulama di Indonesia mempertanyakan diamnya peraih Nobel Perdamaian dan ikon demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi.

Hal ini diungkapkan oleh ulama dari Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) Masdar Farid Mas'udi dalam diskusi mengenai migran dari Bangladesh dan etnis Muslim Rohingya dari Myanmar di kantor Partai Kebangkitan Nasional di Jakarta, Jumat pada 22 Mei.

“Saya harap Aung San Suu Kyi bisa bersuara dan tidak cuma perhatikan kalkulasi politik semata,” katanya.

Tragedi kemanusiaan di kawasan Asia Tenggara mengakibatkan ribuan manusia perahu terdampar di Indonesia dan Malaysia serta ribuan lainnya yang masih terkatung-katung di laut.

“Dunia bertanya dimanakah [penghargaan] Nobel itu?” ujar Masdar.

Masdar mempertanyakan kekuatan Penghargaan Nobel Perdamaian yang diraih Aung San Suu Kyi tahun 1991 dalam tragedi terusirnya ribuan etnis Rohingya dari negara yang mayoritas beragama Buddha tersebut.

Penindasan terhadap etnis Rohingya mempermalukan umat Budha

Perwakilan komunitas Buddha di Indonesia yang hadir di acara tersebut, Bhiksu Wira Duta, mengatakan bahwa apa yang terjadi di Myanmar telah mencemarkan mereka yang memakai jubah.

“Ada yang pakai jubah [dalam peristiwa ini] dan dia sudah tidak pantas pakai jubah itu lagi,” ujar Wira Duta.

Pernyataan Wira tersebut sepertinya merujuk pada Bhiksu Ashin Wirathu di Mandalay, Myanmar yang dikenal dengan mempunyai pandangan anti Muslim.

“Paham Buddha mengajarkan kita agar memberi untuk hidup yang lebih baik,” ujarnya.

Antara 10 Mei sampai 20 Mei nelayan di provinsi Aceh telah menyelamatkan 1.866 migran.

Menurut pejabat pemerintah daerah Aceh, 773 dari jumlah tersebut berasal dari Bangladesh dan 660 diantaranya adalah Muslim Rohingya.

Tetapi 433 migran diselamatkan Rabu belum diidentifikasi, belum diketahui apakah mereka berasal dari Bangladesh atau bagain dari etnis Muslim Rohingya.

Selain itu, diperkirakan masih ada sekitar 6000 - 8000 imigran asal Rohingya dan Bangladesh yang masih terkatung-katung di perairan Laut Andaman dan Selat Malaka, kata Andy Rahmianto, director for international security.

Andy juga mengatakan bahwa meskipun Indonesia bukan negara pihak dalam Konvensi PBB mengenai Status Pengungsi Tahun 1951 (Konvensi Tahun 1951), Indonesia telah melakukan upaya keras dan serius dalam melaksanakan operasi tanggap darurat kemanusiaan untuk membantu pengungsi yang terdampar di pantai Aceh.

“Indonesia berpandangan bahwa masalah imigran asal Rohingya dan Bangladesh yang sedang terjadi saat ini adalah masalah regional yang mebutuhkan solusi regional,” ujar Andy.

Kerjasama regional

Di tengah tiadanya mekanisme hukum untuk melaksanakan kegiatan kemanusiaan terhadap arus pengungsi yang terus datang ke Indonesia sebagai negara transit, Andy mengatakan bahwa pemerintah akan segera mengeluarkan Peraturan Presiden (PP) tentang penanganan pengungsi dan pencari suaka.

“Indonesia mengharapkan Malaysia dalam kapasitas sebagai ketua ASEAN tahun ini dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan dengan melibatkan negara-negara di kawasan, terutama yang terkena dampak,” ujar Andy.

PP itu sudah memasuki tahap akhir dan sedang dalam proses harmonisasi dengan berbagai instansi dan lembaga yang terkait serta dengan beberapa pemerintah daerah yang wilayahnya rawan didatangi oleh pengungsi dan pencari suaka.

Andy mengatakan bahwa dengan adanya PP ini, pemerintah daerah yang menerima kedatangan migran akan mempunyai dasar hukum untuk mengajukan anggaran situasi tanggap darurat bila ada pengungsi dan pencari suaka yang tiba di daerahnya serta mempersiapkan sumber daya manusia yang akan menanganinya.

“Selama ini yang menjadi halangan utama dari pemerintah daerah untuk membantu migran-migran yang datang adalah ketersediaan dana untuk biaya menampung mereka,” kata Andy sambil menambahkan bahwa PP bisa menjadi jalan keluar.

Syaiful Bahri Anshori, anggota Fraksi PKB di Komisi I di DPR RI yang menangani masalah hubungan internasional, mengatakan bahwa NU siap menampung para pengungsi Rohingya dan Bangladesh itu di 14 ribu pesantren NU yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Syaiful juga mengatakan bahwa Indonesia dan negara-negara yang terdampak akan masalah ini harus bisa menekan PBB dan Myanmar, terutama untuk mengganti konstitusinya yang meniadakan etnis Rohingya sebagai warga negara Myanmar.

“Perlu ada peta supaya mereka bisa ditangani dan bisa kembali ke negaranya. Tidak rasional buat saya, bila mereka sudah dapat [kehidupan] yang layak, mereka tidak akan pergi,” ujar Syaiful.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.