Presiden ISIS Dukung Hukuman Mati Gembong Narkoba
2015.02.26

Pengusaha kaya asal Cianjur yang pernah dikenal sebagai Presiden Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di Indonesia, Chep Hermawan, menyatakan dukungannya terhadap kebijakan pemerintah Indonesia menghukum mati narapidana (napi) narkoba.
“Mereka mati demi neraka, siap ditembak mati, siap dibunuh demi neraka. Mereka terlibat (kasus narkoba), demi neraka, kok, siap,” kata Chep Hermawan kepada wartawan di Dermaga Wijayapura, Cilacap, Jawa Tengah tanggal 24 Feb., ketika akan mengunjugi Abu Bakar Bashir, Republika melaporkan. Abu Bakar Bashir, pemimpin Jemaah Islamiyah (JI) menjalani hukuman 15 tahun penjara di Nusakambangan, Jawa Tengah atas keterlibatannya dalam training militan di Aceh.
“Mengapa kita tidak siap demi pahala surga. Kita sebagai barometer saja, mereka, keluarganya yang akan ditembak mati, dia siap ditembak mati demi neraka karena membawa narkoba,” lanjut Chep Hermawan membandingkan antara mati karena jihad atau karena narkoba.
Chep Hermawan juga menyerukan bahwa jihad tidak seharusnya dilakukan di Indonesia. “Mereka ingin jihad, ya, jihadlah. Akan tetapi, jangan di Indonesia. Kalau mau berangkat, saya berangkatkan,” katanya.
“Harga mati”
Dukungan Chep Hermawan terhadap eksekusi mati meyemarakkan perdebatan tentang kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menghukum mati napi narkoba.
Jokowi juga menegaskan keputusan untuk memerangi narkoba adalah “harga mati.”
Ketika meresmikan Masjid Agung Mujahidin di Pontianak, Kalimantan Barat tanggal 20 Jan. lalu, Jokowi mengatakan jumlah pemakai narkoba di Indonesia telah mencapai 4.5 juta.
“Jumlah pemakai narkoba yang mati karena mengkonsumsi obat terlarang terus meningkat, saat ini sudah mencapai 18.000,” katanya.
“Tidak ada yang saya beri pengampunan untuk narkoba,” kata Jokowi dalam kuliah umum di kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta tanggal 9 Des., 2014.
Kebijakan Jokowi juga menjadi sorotan dunia internasional karena telah menyeret beberapa warga asing. Enam napi terkait narkoba telah dieksekusi mati tanggal 18 Januari lalu diantaranya adalah warga Nigeria, Belanda, Brasil, dan Vietnam. Sembilan terdakwa kasus narkoba lainnya dalam antrian termasuk dua warga Australia: Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Keduanya akan ditransfer dari Bali ke penjara di Cilacap, Jawa tengah tanggal 4 Mar. untuk menjalani eksekusi.
Kebijakan hukuman mati juga mempengaruhi hubungan diplomatik Indonesia dengan negara lain.
Setelah Presiden Brasil Dilma Roussef menolak surat kepercayaan dari Dubes, Jokowi meminta duta besar (Dubes) Indonesia untuk Brasil ditarik.
“Setelah saya dengar kabar kejadian itu, saya langsung minta Dubes kita ditarik kembali ke Indonesia. Nanti kembali sampai waktu yang ditentukan,” kata Jokowi setelah jumpa pers di Istana Merdeka (24 Feb.) seperti dikutip Antara News.
Jokowi menegaskan, masalah eksekusi adalah kedaulatan politik Indonesia. “Ini adalah masalah kehormatan negara, kehormatan bangsa,” katanya.
Portal nasional Kontan kembali mengutip sikap tegas Presiden Jokowi ketika ditanya wartawan Kontan di Istana Negara tanggal 28 Feb.
“Sikap kita jelas, aturan hukum kita tidak bisa di intervensi,” kata Jokowi singkat menegaskan bahwa berita tentang sikap Jokowi yang melunak adalah tidak benar.
Harian Kompas menyoroti masalah ini dari sudut pandang yang berbeda. Harian nasional ini menutip pernyataan dari Komisis I DPR, Tantowi Yahya, yang memprotes hukuman mati. “Kita harus peka mengenai permasalahan ini, apakah berkaitan dengan kemanusiaan atau politik? Jangan sampai napi yang akan dieksekusi menjadi komoditas politik,” kata Tantowi di Parlemen (24 Feb.).
Portal Tempo mengutip pernyataan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai bahwa kebijakan eksekusi Jokowi tidak menimbulkan efek jera.
“Kebijakan eksekusi mati harus dihapus di Indonesia. Efek jera tak akan dirasakan saat pelaku sudah dihukum mati,” katanya.
Pernyataan serupa terlihat di portal Beritasatu yang mengutip Ketua Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), Puri Kencana Putri, dalam diskusi yang diselenggarakan Kontras di Jakarta tanggal 3 Feb. “Agenda hukuman mati akan sangat kontraproduktif dengan semangat Jokowi untuk mendorong pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) adhoc dan mekanisme komisi kebenaran di Indonesia,” kata Puri.
Menunggu Nasib
Setitik harapan bagi terpidana mati dari Filipina, Mary Jane Fiesta Veloso, yang mengajukan peninjauan kembali kepada Pengadilan Negri Sleman, Yogyakarta setelah permohonan grasinya ditolak oleh Presiden Jokowi dengan Keputusan Presiden (Kepres) No. 31/G/2014.
Nikolaus Kondomo berkata bahwa Mary menyelundupkan 2,6 kg heroin yang di Bandara Adi Sucipto tanggal 24 Apr. tahun lalu.
“Tinjauan kasus untuk kasus Mary Jane akan berlangsung di Pengadilan Negeri Sleman Selasa depan,” kata Nikolaus seperti dikutip oleh The Jakarta Globe 28 Feb.
Pemimpin Agama berkomentar
Nahdlatul Ulama (NU) menyatakan dukungannya terhadap Jokowi. “Kami akan berdiri di belakang Jokowi dalam kasus narkoba, serta terorisme, ISIS dan korupsi,” kata ketua NU Aqil Siradj.
“Al-Qur'an juga menerapkan hukuman bagi mereka yang melakukan kejahatan atau penyelewengan. Pengaruh mereka pada masyarakat bisa merusak Indonesia,” tambahnya.
Uskup Agung Jakarta Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo menyatakan tidak setuju dengan eksekusi karena tidak sesuai dengan ajaran Gereja.
“Tidak ada yang berhak untuk mengambil nyawa orang lain,” katanya.