Gabung ISIS, Mantan Pejabat Otorita Batam Terancam Penjara Seumur Hidup

Juru bicara BNPT berdalih keberadaan Dwi Djoko dan keluarganya di pusat deradikalisasi semata-mata hanya pendataan dan pendampingan psikologis.
Arie Firdaus
2018.03.13
Jakarta
180313-ID-is-returnee-1000 Terdakwa Dwi Djoko Wiwoho (kiri) berbicara dengan pengacaranya, Asludin Hatjani, di sela persidangan kasus terorisme di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, 13 Maret 2018.
Arie Firdaus/BeritaBenar

Mantan Direktur Pelayanan Terpadu Satu Pintu Badan Pengusahaan Kawasan Batam (BP Batam), Dwi Djoko Wiwoho terancam hukuman penjara seumur hidup apabila terbukti terlibat dalam tindak pidana terorisme.

Djoko (50) didakwa terlibat pelatihan militer bersama kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Suriah serta turut membantu pendanaan tindak pidana terorisme.

Djoko berangkat ke Suriah bersama istrinya, Ratna Nirmala; ketiga anak mereka; ibu mertua, Nani Marliani (meninggal akibat sakit di Irak); serta kedua kakak iparnya yaitu Iman Santosa dan Heru Kurnia. Mereka tergabung dalam rombongan yang terdiri dari 26 orang dan berangkat ke Suriah pada 1 Agustus 2015.

Sepanjang hampir dua tahun di Suriah, ungkap jaksa, Djoko sempat mengikuti pelatihan militer dan belajar menggunakan sejumlah senjata seperti AK-47, M-16, dan pistol jenis Makarov.

Jaksa penuntut umum, Jaya Siahaan, mengatakan,"…perbuatan terdakwa itu tetap melanggar Pasal 15 juncto Pasal 7 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme."

Djoko tidak berkomentar atas dakwaan jaksa. Ia memilih diam hingga persidangan usai.

Asludin Hatjani selaku kuasa hukum Djoko tidak keberatan terkait dakwaan tim jaksa. Ia mempersilakan jaksa menghadirkan saksi untuk persidangan lanjutan yang bakal digelar pada Selasa pekan depan.

Pengajian keluarga

Merujuk pada dakwaan jaksa, keinginan Djoko untuk “hijrah” ke Suriah dipicu oleh ceramah kakak iparnya, Iman Santoso.

Iman rutin mengisi kajian tentang tauhid dan kewajiban berjihad bagi seorang muslim dalam pengajian rutin keluarga yang digelar di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan.

Iman pula yang disebut mengatur perjalanan seluruh anggota kelompok, seperti mencarikan pemandu lokal sesaat setelah sampai di Suriah.

Akibat tindakan ini, Iman ditangkap aparat Detasemen Khusus Antiteror 88 Mabes Polri dan dijerat pasal serupa dengan Djoko.

Turut pula diamankan kakak kandung Iman bernama Heru Kurnia, yang juga dihadirkan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat untuk menjalani persidangan perdana dengan berkas perkara terpisah dari Djoko.

Istri dan anak-anak Djoko serta sejumlah anggota rombongan lain dibebaskan. Keluarga Djoko dikabarkan bermukim di daerah Depok, Jawa Barat, dan menghidupi diri dengan berdagang.

Sebelumnya dilaporkan, rombongan Djoko dan keluarganya berhasil keluar dari Raqqa, yang ketika itu diklaim sebagai ibukota kelompok ISIS, pada pertengahan Juni 2017.

Mereka sempat ditampung di kamp pengungsian Ain Issa, Suriah, sekitar 50 kilometer utara Raqqa, sampai akhirnya dipulangkan ke Indonesia melalui Erbik, Irak, Agustus lalu.

Terdakwa Heru Kurnia (tengah) menjalani persidangan kasus terorisme di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, 13 Maret 2018.
Terdakwa Heru Kurnia (tengah) menjalani persidangan kasus terorisme di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, 13 Maret 2018.
(Arie Firdaus/BeritaBenar)

 

‘Sempat jalani deradikalisasi’

Djoko dan iparnya sempat menjalani program deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) selama sebulan pada tahun lalu setelah dipulangkan ke tanah air.

Kesaksian mereka bahkan dijadikan video kampanye antiradikalisme BNPT yang diunggap di laman YouTube pada 11 September 2017 lalu.

Dalam video itu, Djoko dan rombongan mengutarakan penyesalan bergabung ISIS karena kelompok itu dinilai tak menepati janji propagandanya. Misalnya, alih-alih menjamin pendidikan, kata Djoko, petempur ISIS justru ingin menikahi putri-putrinya.

"Justru anak saya yang paling kecil itu ditanya kapan menstruasi. Dibilang kasih tahu kalau sudah (menstruasi)," terang Djoko dalam video.

Pengamat Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR) Adhe Bhakti menilainya sebagai wujud koordinasi lemah antara BNPT dan Densus 88, sehingga yang telah selesai menjalani program deradikalisasi justru ditangkap selepas menjalani program.

"Fakta Dwi Djoko kemudian ditangkap setelah ‘lulus’ dari pusat deradikalisasi BNPT menunjukkan ada masalah koordinasi," kata Adhe.

Namun juru bicara BNPT, Irfan Idris menyangkal pendapat itu.

Ia berdalih, keberadaan Djoko di pusat deradikalisasi BNPT semata-mata hanya untuk pendataan dan pendampingan psikologis setelah menyaksikan kekerasan sepanjang bergabung dengan ISIS.

"Ia kan belum divonis. Deradikalisasi itu kalau ada ditemukan pidana atau sudah bebas," kata Irfan kepada BeritaBenar.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.