Polisi Selidiki Tewasnya ABK WNI ke-5 di Kapal Penangkap Ikan Cina
2020.05.18
Jakarta

Seminggu setelah kasus perlakuan semena-mena terhadap pekerja asal Indonesia di kapal Cina yang mengakibatkan tewasnya empat anak buah kapal (ABK) asal Tanah Air, aparat kini menyelidiki dugaan kematian ABK yang kelima di kapal Tiongkok lainnya dengan beredarnya lagi sebuah video tentang jenazah seorang ABK yang dilarung ke laut, demikian pejabat kepolisian, Senin (18/5).
Tiga video berdurasi masing-masing 29 detik memuat gambar kondisi terakhir Herdianto yang bekerja di kapal Luqing Yuan Yu 623 dan tengah berada di sekitar perairan Somalia sebelum jenazahnya dilarung ke laut beredar di media sosial pada Sabtu (16/5).
Dalam video pertama diperlihatkan Herdianto mengalami lumpuh kaki sehingga harus dibantu tiga rekannya yang lain untuk berdiri. Di video selanjutnya, Herdianto tampak sudah meninggal dan dibungkus dengan kantong berwarna oranye.
Sementara pada video terakhir, terlihat gambar kantong oranye tersebut dilempar ke laut. Salah satu pelaut Indonesia terdengar melontarkan kalimat dengan logat Jawa, “ngapung..wo..ngapung,” saat jenazah Herdianto dilarung ke laut.
Direktur Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Perdagangan Orang (TPPO) Bareskrim Polri, Brigjen Ferdy Sambo, mengatakan akan menyelidiki perusahaan yang memberangkatkan Herdianto, yang diduga mengalami penyiksaan hingga meninggal dunia dan dilarungkan di perairan Somalia.
“Perusahaan yang memberangkatkan hanya ada di satu lokasi, di Tegal, jadi untuk efektivitas penanganan perkara ditangani Polda Jateng (Jawa Tengah),” kata Ferdy saat dihubungi BenarNews.
“Penyelidikan akan dilakukan dengan pendampingan Satgas TPPO Bareskrim Polri,” katanya.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri RI menyatakan telah menghubungi berbagai pihak mulai dari asosiasi pelaut dan perusahaan pengiriman ABK untuk mendapatkan informasi lanjutan terkait insiden ini.
“Di saat yang sama, Menteri Luar Negeri telah langsung menginstruksikan Duta Besar RI di Beijing dan Nairobi untuk mencari informasi lebih detail mengenai kejadian ini kepada otoritas di Tiongkok dan Kenya,” sebut pernyataan Kemlu.
Kabar penyiksaan
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW)-Indonesia, Abdi Suhufan, menjelaskan pihaknya pertama kali menerima laporan dugaan penyiksaan dan pelarungan jenazah Herdianto melalui pengaduan salah satu pelaut Indonesia di kapal Luqing Yuan Yu 623.
Pengaduan diterima saat kapal tengah singgah di Singapura, pada Jumat (15/5). “Yang mengadukan salah satu ABK anggota Pergerakan Pelaut Indonesia (PPI) cabang Bitung (Sulawesi Utara),” kata Abdi kepada BenarNews.
Dari pengaduan itu diketahui bahwa Herdianto meninggal dunia pada 16 Januari dan jenazahnya kemudian dilarungkan ke perairan Somalia pada 23 Januari. Penyebab kematian Herdianto belum diketahui dengan pasti.
Namun, salah satu ABK yang mengadukan kematian Herdianto menyatakan adanya indikasi kekerasan fisik berupa pukulan dan tendangan menggunakan pipa besi dan botol kaca.
“Itu yang kami minta ke Kemlu juga untuk mendesak pihak kapal membuka apa penyebab kematian dan keputusan di balik pelarungan jenazah,” kata Abdi.
Abdi mengatakan, selain Herdianto, ada 21 ABK WNI lain yang juga bekerja di Kapal Luqing Yuan Yu 623 sejak November 2019.
“Kami sudah minta Kemlu untuk mengantisipasi kedatangan mereka nanti di Cina untuk bisa tindak lanjuti dugaan penganiayaan itu,” tukas Abdi.
Ditetapkan sebagai tersangka
Sementara itu, pada Senin (18/5) tiga agen tenaga kerja yang mengirim empat ABK yang tewas dan terdaftar di kapal pencari ikan milik Cina, Long Xing 629, ditetapkan sebagai tersangka perdagangan orang.
Mereka adalah W dari PT Alfira Perdana Jaya (APJ) di Bekasi, Jawa Barat; F dari PT Lakemba Perkasa Bahari di Tegal, Jawa Tengah; dan J dari PT Sinar Muara Gemilang di Semarang, Jawa Tengah, demikian Kabareskrim Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo.
“Ketiganya petinggi perusahaan,” kata Listyo, tanpa menerangkan apakah mereka telah ditahan atau belum. Dari tiga perusahaan tersebut, hanya PT APJ saja yang memiliki izin resmi sebagai perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia (SP3MI).
“Satgas telah melakukan gelar perkara dan disimpulkan tersangka tindak pidana perdagangan orang dengan tujuan eksploitasi bermodus menjanjikan gaji, penempatan kerja, dan waktu kerja yang tidak sesuai,” kata Listyo.
Dugaan kerja paksa di kapal pencari ikan milik Cina, Long Xing 629 mencuat ke publik setelah video pelarungan jenazah ABK yang diduga meninggal dunia karena penyakit paru-paru tersebut, beredar di media sosial.
Sementara, satu pelaut Indonesia lainnya meninggal dunia karena penyakit serupa tak lama setelah mendarat di Busan, Korea Selatan, bersama 14 awak asal Indonesia lainnya.
Jumat (15/5), Bareskrim Polri telah merampungkan pemeriksaan terhadap ke-14 ABK tersebut yang tiba di Indonesia pada satu pekan sebelumnya.
Kedutaan Besar Cina di Indonesia menyatakan aparat penegak hukum di Beijing akan melakukan penyelidikan menyeluruh berkenaan dengan kasus tersebut termasuk tuduhan perlakuan sewenang-wenang terhadap para ABK.
“Kami berharap investigasi yang komprehensif, berdasarkan fakta dan melalui negosiasi persahabatan bilateral, bisa menyelesaikan masalah ABK WNI ini secepat mungkin sesuai dengan hukum yang relevan,” kata Juru Bicara Kedutaan Besar Cina melalui keterangan yang disampaikan lewat situs resmi kedutaan.
Moratorium pengiriman ABK
Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Benny Rhamdani, mengatakan pemerintah akan mengkaji usulan penghentian sementara atau moratorium pengiriman ABK ke kapal asing.
“Kami akan kaji lebih dalam terlebih dulu usulan tersebut,” kata Benny kepada BenarNews, Senin.
Kendati demikian, Benny mengakui bahwa tata kelola penanganan pekerja migran Indonesia masih lemah sehingga kasus-kasus pelanggaran hak dan perbudakan masih sering terjadi.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengajukan dua opsi solusi kepada Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves) terkait ABK Indonesia.
Pertama, melakukan moratorium pengiriman ABK Indonesia untuk bekerja di kapal ikan asing, dan kedua, memberikan masukan teknis untuk perizinan pelaut yang akan bekerja di kapal asing.
Jika opsi moratorium yang disetujui, maka Edhy mengusulkan para pelaut yang sebelumnya bekerja di kapal asing bisa bekerja di perikanan lokal terlebih dahulu.
“Dua opsi ini terserah mana yang akan disetujui. Jadi intinya adalah ABK ini masalah kompleks,” kata Edhy, Jumat pekan lalu.