Enam Bulan Disandera di Libya, 6 WNI Berkumpul dengan Keluarga

Keenamnya disandera pada September 2017, namun KBRI baru bisa berkomunikasi dengan mereka tiga bulan kemudian setelah mendapat persetujuan milisi.
Almira Wang
2018.04.02
Jakarta
180402_ID_Cropped_Hostages_620.jpg Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi (keempat dari kanan), berbincang dengan enam anak buah kapal korban sandera dan keluarga mereka di Jakarta, 2 April 2018.
Almira Wang/BeritaBenar

Enam warga negara Indonesia (WNI) yang disandera milisi bersenjata di Benghazi, Libya, selama enam bulan, akhirnya kembali berkumpul dengan keluarga mereka.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyebutkan, Senin, 2 April 2018, bahwa keenam pelaut itu dibebaskan setelah melalui komunikasi yang intensif dengan berbagai pihak di Benghazi dan sempat mengalami penundaan beberapa kali.

“Nggak ada uang tebusan. Para sandera tidak menerima ancaman. Mereka diperlakukan dengan baik. Kami bahkah melakukan komunikasi dengan pihak kelompok penyandera,” katanya di Kementerian Luar Negeri (Kemlu) saat penyerahan keenam WNI kepada keluarga mereka.

Para pelaut yang bekerja dikapal penangkap ikan berbendera Malta, Salvatur VI, berhasil dibebaskan pada 27 Maret 2018. Mereka dijemput oleh perwakilan pemerintah di pelabuhan Benghazi dan kembali ke Indonesia, akhir pekan lalu.

Tim penjemput terdiri dari perwakilan Kedutaan Besar RI (KBRI) di Tripoli, Kementerian Luar Negeri dan Badan Intelijen Negara (BIN) berhasil mencapai kesepakatan dengan pihak-pihak di Benghazi mengenai mekanisme dan lokasi penyerahan sandera.

Menurut Retno, proses pembebasan tidak berlangsung mudah karena situasi keamanan di Benghazi masih sangat rawan dan situasi politiknya juga cukup kompleks.

Pemerintah Indonesia seperti sebagian besar anggota PBB, mengakui pemerintahan yang sah di Tripoli, meski Benghazi dikuasai kelompok yang memberontak pada pemerintah pusat Libya di Tripoli.

Retno mengatakan pihaknya terus berkomunikasi dengan pemilik kapal di Malta untuk memastikan hak-hak keenam anak buah kapal (ABK), Ronny William, Joko Riadi, Haryanto, Waskita Idi Patria, Saefudin, dan Mohamad Abudi terpenuhi.

Dijelaskan bahwa tim pembebasan masuk ke Benghazi melalui jalur udara dari Tunisia.

Setelah berhasil menjemput enam ABK, sebagian anggota tim dan para ABK kembali ke Tunisia melalui jalur udara pada 29 Maret, sementara sisanya melalui jalur darat selama 12 jam dari Tripoli.

Saat mencari ikan

Ronny mengatakan, kapal mereka berlayar dari Malta menuju Laut Mediterania untuk mencari ikan. Pada 23 September 2017, kapal ditangkap milisi yang berbasis di Benghazi di perairan sekitar 23 mil laut dari kota tersebut.

“Memang hanya ada tujuh orang (di kapal), termasuk kapten yang orang Italia. Ia hanya ditahan sekitar tujuh hari sudah bisa pulang, memang dia sudah sakit-sakitan, kita yang ditahannya lama,” ujar Ronny kepada BeritaBenar menceritakan kejadian penangkapan mereka.

Menurut Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal, para milisi merampas seluruh peralatan kapal dan barang milik ABK, termasuk telepon genggam dan gaji yang mereka kumpulkan selama ini.

Pemerintah Indonesia baru mengetahui kabar penyanderaan keenam WNI tersebut lima hari kemudian setelah pemilik kapal memberitahu KBRI Roma.

Embun Diarsih, istri Ronny, mengatakan kepada BeritaBenar bahwa sebagai istri pelaut, dirinya sudah biasa hanya berkomunikasi seminggu sekali dengan suaminya yang telah bekerja sebagai pelaut selama 35 tahun.

Namun pada September 2017, Ronny tidak menghubunginya selama dua minggu sampai akhirnya Embun mendapat kabar dari rekan Ronny sesama pelaut WNI yang bekerja di kapal penangkap ikan di Eropa, bahwa kapal suaminya bekerja ditangkap milisi Libya.

“Setelah tiga bulan, baru ada kontak lagi, setelah mereka ada alat komunikasi,” tutur Embun, “saya menunggu saja karena saya tahu prosesnya susah di daerah konflik.”

Enam WNI awak kapal ikan ‘Salvatur VI’ ketika dijemput tim pembebasan di pelabuhan Benghazi, Libya, 27 Maret 2018. (Dok. Kemlu)
Enam WNI awak kapal ikan ‘Salvatur VI’ ketika dijemput tim pembebasan di pelabuhan Benghazi, Libya, 27 Maret 2018. (Dok. Kemlu)

Tangkap ikan teri

Iqbal mengatakan, KBRI Tripoli berhasil mendapat persetujuan dari milisi penyandera untuk memberikan akses komunikasi bagi keenam WNI setelah melakukan berbagai upaya yang baru membuahkan hasil pada akhir Desember 2017.

“Akses komunikasi memudahkan Pemerintah Indonesia untuk mendapatkan proof of life dan memonitor kondisi para WNI,” jelasnya.

Menurutnya, untuk meyakinkan para penyadera disebutkan Pemerintah Indonesia tidak berpihak kepada salah satu pihak yang berkonflik di Benghazi.

Ronny mengatakan mereka bertahan hidup dengan menangkap ikan teri di sekitar kapal, ketika kiriman makanan dari pemilik kapal tidak kunjung tiba.

“Sebagian hasilnya kami jual melalui seorang milisi penjaga yang kebetulan baik kepada kami. Uang hasil penjualan dibelikan beras dan bahan makanan,” ujarnya.

Ronny mengaku menyaksikan pertempuran antara milisi yang menguasai Benghazi dan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) sehingga hanya menyisakan reruntuhan bangunan dan kapal-kapal rusak serta Benghazi menjadi kota mati.

“Bahkan satu bom sempat nyasar dan mendarat dekat kapal dimana kami disandera,” katanya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.

Komentar

Acengbantayan@gmail.com
2022-02-27 07:54

Saya mau bertnya bang..kapal kaka saya di tahan di libya..kemana kami mengadu?