Lemahnya perlindungan hukum dan tabu, picu perempuan lakukan aborsi tidak aman
2023.05.22
Denpasar, Bali

Seorang dokter gigi di Bali yang pernah dua kali dipenjara akibat melakukan praktik aborsi ilegal ditangkap lagi bulan ini setelah menggugurkan kandungan lebih dari 1.300 pasien selama dua tahun, demikian menurut kepolisian.
Kasus ini menunjukkan kurangnya layanan aborsi yang dapat diakses dan aman di Indonesia.
Aborsi dilarang di Tanah Air kecuali untuk alasan darurat medis dan bagi korban perkosaan.
Polisi menangkap Ketut Arik Wiantara, yang diduga tidak memiliki lisensi praktik dokter gigi yang sah, pada 8 Mei di rumahnya, tempat yang juga digunakannya sebagai klinik aborsi darurat yang dilengkapi dengan alat ultrasound, tempat tidur pasien, alat kuretase, dan obat pasca-pengguguran, demikian pernyataan Kepolisian Daerah Bali.
"Tersangka berdalih banyak permintaan aborsi, dan mengkhawatirkan masa depan pasiennya karena masih muda," kata Kombes. Pol. Stefanus Satake Bayu Setianto, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Bali.
Menurut Stefanus, Wiantara memasang tarif Rp3,5 juta per tindakan aborsi.
Tanggal persidangan Wiantara belum diputuskan. Pengacaranya tidak bisa dihubungi untuk dimintai komentar.
Selain di Bali, polisi juga menggerebek klinik serupa termasuk di Jakarta pada 2020 di mana hampir 33.000 aborsi diduga dilakukan selama tiga tahun di tempat itu.
Undang-undang tentang kesehatan melarang aborsi kecuali karena dua alasan, yaitu keadaan darurat medis yang terdeteksi sejak awal kehamilan - baik yang mengancam nyawa ibu atau janin - dan kehamilan akibat perkosaan.
Tetapi mengajukan aborsi legal tidak mudah, kata para aktivis dan ahli kesehatan reproduksi. Prosesnya sangat birokratis, mahal, dan membutuhkan waktu yang panjang yang sering kali melebihi persyaratan waktu aborsi yang aman yaitu usia kehamilan maksimal 12 minggu.
Akibatnya, banyak orang melakukan berbagai cara yang tidak aman, seperti pengobatan herbal, menggugurkan kandungan sendiri, atau menggunakan jasa aborsi ilegal seperti Wiantara, kata mereka.
Stigma sosial
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) di Jakarta mengatakan banyak tantangan yang dihadapi perempuan dalam melakukan aborsi termasuk kurangnya fasilitas perawatan kesehatan dan stigma sosial.
Hal ini menyebabkan korban perkosaan ditolak haknya untuk mengakhiri kehamilan, seperti kasus yang terjadi pada 2021 di Jawa Timur, di mana seorang anak perempuan berusia 12 tahun yang diperkosa oleh seorang pria berusia 56 tahun ditolak aborsi oleh penyidik karena mereka tidak memiliki pengalaman dalam menangani permintaan semacam itu, kata ICJR.
“Kata aborsi masih negatif karena alasan agama. Padahal termasuk layanan kesehatan, terkait pilihan perempuan dan tubuhnya,” urai Ni Luh Eka Purni Astiti, Direktur Eksekutif Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Bali.
Di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, kebanyakan Muslim menganggap aborsi sebagai dosa. Demikian pula dalam keyakinan Hindu yang merupakan agama mayoritas di Bali.
Astiti mengatakan organisasinya memberikan konseling dan rujukan bagi perempuan yang ingin melakukan aborsi atau menghadapi kehamilan yang tidak direncanakan.
KUHP dan isu aborsi
Di bawah Kitab Undang-Undang Hukum Pidanan (KUHP) yang baru disahkan tahun lalu, seorang perempuan yang melakukan aborsi menghadapi hukuman empat tahun penjara dan siapa pun yang membantu dalam proses tersebut dapat dipenjara selama lima tahun.
Peraturan tersebut juga menyebutkan bahwa selain pihak berwenang atau petugas kesehatan, mereka yang mempromosikan alat kontrasepsi bisa diancam enam bulan penjara.
Pemerintah berpendapat bahwa revisi ini diperlukan untuk melindungi kehidupan, menjaga martabat manusia, serta untuk menegakkan nilai-nilai moral dan norma agama.
Namun, kelompok hak asasi mengkritik hal itu sebagai pelanggaran hak asasi dan otonomi perempuan, serta campur tangan pemerintah atas tubuh perempuan, terhadap pilihan pribadi dan seksual individu. Ketentuan kontroversial lainnya dalam KUHP termasuk mengkriminalisasi seks di luar nikah dan hidup bersama.
Sebuah studi yang diterbitkan pada 2020 dalam jurnal International Perspectives in Sexual and Reproductive Health memperkirakan bahwa di Jawa sebanyak 1,7 juta perempuan menggugurkan kandungannya pada tahun 2018.
Jumlah tersebut menunjukkan ada 43 aborsi per 1.000 perempuan berusia 15 hingga 49 tahun.
Sebagai perbandingan, tingkat aborsi global adalah 39 per 1.000 perempuan berusia 15-49 tahun, menurut Institut Guttmacher. Tingkat aborsi regional untuk Asia Tenggara adalah 34 per 1.000 perempuan. Dan di antara negara-negara mayoritas Muslim, tingkat aborsi sangat bervariasi, mulai dari 3 per 1.000 perempuan di Iran hingga 50 per 1.000 perempuan di Azerbaijan.
Studi di Jawa itu menemukan bahwa sebagian besar perempuan yang memilih aborsi melakukannya sendiri, menggunakan metode seperti jamu tradisional atau pijat.
Hanya sebagian kecil yang melakukannya melalui operasi atau pil dari penyedia layanan kesehatan, kata laporan itu. Sekitar 12 persen yang melakukan aborsi mengalami komplikasi dan berobat di fasilitas kesehatan.
Dilihat sebagai isu moral ketimbang isu kesehatan
Kajian PKBI tahun 2021 tentang persepsi kesehatan reproduksi remaja di Bali menemukan banyak anak muda yang tidak paham tentang seks dan kehamilan.
Sekitar 36 persen dari 373 responden percaya bahwa mereka tidak akan hamil setelah berhubungan seks untuk pertama kali. Sekitar 26 persen mengatakan perempuan dapat menggunakan pengobatan herbal untuk mencegah kehamilan.
Ni Putu Indah Mas Pratiwi, konselor Kita Sayang Remaja program penjangkauan remaja di Bali, mengatakan dia sering menerima pertanyaan online dari anak muda yang tidak yakin apakah mereka hamil atau bagaimana mencegah kehamilan.
“Kondom saja masih tabu, malu sekedar menyebutkan. Kadang kami takut dikriminalisasi jika menyebut data hubungan seksual,” keluh Indah kepada BenarNews.
Kondom diasosiasikan dengan seks pranikah dan pergaulan bebas, praktik yang dinilai buruk dalam masyarakat Indonesia yang sebagian besar konservatif.
Kehamilan tidak direncanakan di Bali juga tinggi di kalangan anak muda yang menikah, menurut data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Data menunjukkan bahwa hampir 9 persen kehamilan setelah menikah tidak direncanakan pada 2021. Hal ini dapat menimbulkan risiko kesehatan bagi ibu dan anak, seperti stunting dan malnutrisi, kata para ahli.
Made Oka Negara, dokter dan aktivis kesehatan reproduksi mengatakan banyak orang di Indonesia melihat aborsi sebagai “isu moral ketimbang isu kesehatan”.
“Orang tidak merasakan pentingnya membicarakan hal ini,” kata Made.
Tapi kasus Wiantara menunjukkan bahwa ada permintaaan tinggi untuk pelayanan aborsi dan dengan begitu pemerintah harus memberikan pelayanan segara legal dana aman, tambahnya.
“Tidak semua orang ingin menikah (dan punya anak), jadi akhirnya mereka melakukannya dengan tidak aman,” kata Made kepada BenarNews.