Cara Polisi Aceh Tangani Kelompok Din Minimi Dikecam
2015.08.28

Cara polisi Aceh menangani kelompok bersenjata pimpinan Nurdin bin Ismail Amat atau lebih populer dikenal sebagai Din Minimi dikecam sejumlah pihak karena aparat keamanan terkesan lebih mengedepankan kekerasan daripada penegakan hukum.
Dalam insiden bersenjata terbaru, polisi menembak mati Junaidi alias Beurijuek (30) yang diklaim anggota kelompok Din Minimi di Stasiun Pompa Bensin Umum (SPBU) Batuphat, Kecamatan Muara Satu, Kota Lhokseumawe, Kamis sore, 27 Agustus.
Sepekan sebelumnya, polisi juga menembak mati Ridwan (31) dalam penyergapan di rumah korban di Desa Pulo Meuria, Kecamatan Gereudong Pasee, Kabupaten Aceh Utara. Sejak operasi memburu kelompok Din Minimi digencarkan pada bulan Mei lalu enam orang tewas.
Keenam korban tewas itu diyakini sebagai mantan petempur Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang diklaim polisi terlibat dalam serangkaian tindakan kriminal bersenjata.
Din Minimi adalah seorang mantan gerilyawan GAM yang memutuskan mengangkat senjata untuk “menuntut keadilan” pada Pemerintah Aceh pimpinan Gubernur Zaini Abdullah dan Wakilnya, Muzakir Manaf. Keduanya merupakan bekas pimpinan GAM.
Dalam beberapa pernyataan kepada wartawan, Din Minimi menegaskan bahwa jika tuntutan keadilan bagi masyarakat Aceh, janda-janda dan anak-anak korban konflik serta mantan kombatan GAM telah dipenuhi seperti dijanjikan Pemerintah Aceh, dia bersedia meletakkan senjata.
Sesalkan pendekatan polisi
Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakya Aceh (DPRA), Abdullah Saleh, menyesalkan cara polisi yang lebih mengedepankan kekerasan dalam menangani pelaku kriminal. Komisi I DPRA membidangi masalah keamanan dan hukum.
“Dalam dua kasus seminggu terakhir sepertinya ada pelanggaran prosedur dilakukan polisi karena menurut laporan media kedua korban tak bersenjata, tapi kenapa harus ditembak mati,” katanya kepada BeritaBenar di Banda Aceh, Jumat, 28 Agustus.
“Bisa jadi ada pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam kasus penembakan itu meski korban pelaku kriminal. Tampaknya polisi seperti tidak menghargai nilai-nilai kemanusiaan karena menembak mati orang tanpa perlawanan bersenjata.”
Politisi Partai Aceh – partai lokal yang didirikan oleh bekas kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) – mendesak Komisi Nasional (Komnas) HAM untuk menginvestigasi kasus-kasus kekerasan terbaru yang terjadi di Aceh.
Otto Nur Abdullah, seorang anggota Komnas HAM yang dikonfirmasi melalui telepon menyebutkan bahwa pihaknya baru bisa menyelidiki satu kasus jika ada permintaan dari masyarakat. Sejauh ini, belum ada permintaan resmi tersebut.
“Untuk Aceh, Komnas HAM saat ini sedang menangani lima kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi ketika masa konflik dulu,” katanya.
Kelima kasus itu adalah Rumoh Geudong di Kabupaten Pidie, pembunuhan massal di Simpang PT Kertas Kraft Aceh (KKA) Aceh Utara, aksi penembakan di PT Bumi Flora Kabupaten Aceh Timur, pembantaian di Jambo Keupok Kabupaten Aceh Selatan, dan penghilangan orang secara paksa dan kuburan massal di Kabupaten Bener Meriah.
Tetapi, hingga sejauh ini tidak ada satu pun kasus tersebut yang sudah dibawa ke pengadilan HAM. “Kalau dikatakan Komnas HAM tak bekerja, tidak benar. Tapi kalau dibilang lamban, iya,” kata Otto, yang juga seorang pegiat HAM asal Aceh.
Abdullah Saleh berjanji segera membicarakan dengan anggota Komisi I DPRA terkait langkah yang akan diambil parlemen Aceh menyikapi operasi polisi karena terkesan mengedepankan kekerasan dalam penegakan hukum terhadap kelompok kriminal.
“Jika nanti anggota Komisi I sepakat, kami panggil Kapolda Aceh untuk memberikan penjelasan apa sebenarnya yang terjadi,” ujarnya.
Seharusnya, tambah Abdullah Saleh, polisi bisa lebih mengedepankan prinsip-prinsip humanis dalam menangani kelompok bersenjata. Kalaupun harus melumpuhkan tak harus menembak mati karena tindakan kekerasan dapat mengganggu perdamaian di Aceh yang telah dirasakan masyarakat selama satu dekade.
“Sangat disayangkan karena rakyat kita terus berjatuhan menjadi korban,” tegasnya. Dia menduga ada skenario yang disengaja untuk menggiring kembali Aceh ke dalam konflik.
“Sudah berikan peringatan”
Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Aceh, Inspektur Jenderal Polisi (Irjen Pol) Husein Hamidi dalam konferensi pers, Jumat pagi, mengaku sebelum melumpuhkan korban, polisi sudah memberikan tembakan peringatan.
"Kita berusaha menangkap pelaku hidup, tapi di lapangan karena medan dan berbagai macam kendala, karena mereka nyata-nyata tidak mau menyerahkan diri. Kita berikan tindakan peringatan namun tidak dihiraukan, akhirnya kita arahkan untuk melumpuhkannya," jelasnya.
Husein menyebutkan bahwa Junaidi dan Ridwan terlibat dalam beberapa kejahatan dan masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) polisi.
Sejauh ini, polisi telah menangkap hidup 19 orang yang diduga bagian kelompok Din Minimi dan menyita 22 pucuk senjata api berbagai jenis serta 4.320 butir amunisi.
“Beberapa orang lagi terus kita lakukan pengejaran. Saya imbau lebih baik menyerah saja karena toh akan tertangkap juga,” katanya.
Ditanya kenapa Din Minimi terkesan begitu sulit ditangkap, Kapolda Aceh menjawab, “Sebetulnya yang bersangkutan belum naas saja.”
“Beberapa kali kita sanggong (sergap), yang lain dapat, dia tidak. Mungkin dia masih diberikan umur panjang. Kita harap lebih bagus dia menyerahkan diri supaya dia tetap hidup sehat dan kembali kepada masyarakat,” ujar Husein.
Kontras bantah klaim Kapolda Aceh
Sementara itu, Hendra Saputra, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) Aceh, membantah klaim Kapolda Aceh karena dari keterangan saksi mata diketahui bahwa sebelum ditembak, Junaidi sempat minta ampun pada polisi yang menodongkan senjata.
Begitu juga kasus yang menimpa Ridwan dari keterangan keluarga, tidak ada kontak senjata seperti diklaim pihak kepolisian. Korban ditembak dari jarak dekat saat mau melarikan diri setelah disergap di rumahnya.
“Yang dilakukan polisi bukanlah tindakan melumpuhkan. Kalau untuk melumpuhkan seharusnya bukan ditembak di dada dan leher, tetapi pada kaki. Apalagi korban tidak bersenjata, seharusnya polisi dapat melumpuhkan dengan tangan kosong,” tuturnya kepada BeritaBenar.
Untuk membuktikan klaim polisi bahwa korban melawan, Hendra mendesak Kapolda Aceh agar berani membuka kepada publik rekaman CCTV yang ada di SPBU Batuphat sebagai bentuk transparansi dalam penuntasan kasus yang mengakibatkan seorang warga tewas.
Aryos Nivada, seorang pengamat Politik dan Keamanan Aceh dari Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, menyatakan, tindakan polisi yang menembak tersangka kriminal telah menyalahi prosedur penanganan ketentraman dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam Peraturan Kapolri tentang tahapan kepolisian dalam upaya penggunaan kekuatan karena senjata api ada langkah terakhir.
“Harus dipahami kelompok Din Minimi kriminalitas biasa. Ini terkesan polisi dalam bertindak menganggap kelompok Din Minimi seperti teroris yang harus ditembak mati,” ujarnya kepada BeritaBenar, Jumat petang.
Aryos menilai polisi sudah kehilangan sifat humanis dalam menumpas kelompok Din Minimi karena lebih mengedepankan kekerasan daripada pendekatan polisi yang profesional.
“Jangan sampai publik menilai cara bertindak polisi Aceh dalam mengatasi masalah kelompok Din Minimi sudah hilang kontrol dan terkesan paranoid,” ujarnya.