Senin Pekan Depan, Ahok Jalani Sidang PK Perdana

Penentang Ahok mengancam akan melancarkan unjuk rasa besar bila Peninjauan Kembali dikabulkan MA.
Arie Firdaus
2018.02.20
Jakarta
180220_ID_AhokCourt_1000.jpg Para pendukung Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama berunjuk rasa di luar gedung Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 16 Mei 2017, setelah mantan gubernur Jakarta tersebut dihukum dua tahun penjara atas dakwaan penistaan agama.
AP

Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, pada Senin depan, 26 Februari 2018, akan menggelar sidang perdana pemeriksaan permohonan Peninjauan Kembali (PK) mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama, atas kasus penistaan agama yang didakwakan padanya.

"Kami sudah menunjuk majelis hakimnya, tiga orang," kata juri bicara PN Jakarta Utara, Jootje Sampaleng kepada BeritaBenar, Selasa, 20 Februari 2018.

Ketiganya adalah Mulyadi selaku ketua majelis, Salman Alfaris serta Sugiyanto sebagai anggota. Mereka merupakan hakim-hakim di PN Jakarta Utara.

Dalam pertimbangan permohonan, jelas Jootje, kubu Ahok menilai terdapat kekeliruan dalam putusan majelis hakim PN Jakarta Utara pada 9 Mei 2017 lalu, yang menjatuhkan hukuman dua tahun penjara dalam kasus penistaan agama.

Namun, Jootje tak merinci lebih lanjut kekeliruan yang dimaksud kubu Ahok.

"Pokoknya mereka menilai ada kekhilafan hakim. Mereka juga merujuk putusan Buni Yani," ujar Jootje.

"Nanti akan dibacakan pertimbangan dan alasan selengkapnya pada sidang perdana. Tunggu saja," tambahnya seraya menyebutkan bahwa persidangan yang digelar terbuka untuk publik.

Buni adalah orang yang mengedit video pidato Ahok kala menyitir surat Al Maidah ayat 51 ketika berkunjung di Kepulauan Seribu pada September 2016.

Potongan video itu yang kemudian menjadi pemicu rangkaian unjuk rasa dalam jumlah besar untuk mendesak Ahok dipenjara karena dinilai telah menistakan agama Islam.

Atas tindakannya ini, Buni Yani dihukum 1,5 tahun penjara oleh PN Bandung, Jawa Barat, tetapi masih mengupayakan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) sampai saat ini.

Belum tentu hadir

Serupa dengan Jootje, seorang kuasa hukum Ahok, Josefina Agatha Syukur, juga enggan merinci pertimbangan dan alat bukti (novum) baru yang diajukan dan disertakan dalam permohonan peninjauan kembali.

"Seluruhnya nanti akan kami buka di sidang perdana," ujar Josefina.

Pun, soal kemungkinan Ahok menghadiri sidang perdana permohonan PK.

"Belum tahu (hadir)," kata Josefina.

Menurut juru bicara MA, Abdullah, terpidana yang mengajukan permohonan PK memang diperbolehkan tidak menghadiri persidangan. Hal itu termaktub dalam Surat Edaran MA Nomor 4 Tahun 2016.

"Pada dasarnya terpidana akan diminta hadir. Tapi itu tergantung majelis hakim dan kuasa hukum (butuh menghadirkan terpidana atau tidak)," kata Abdullah kepada BeritaBenar.

Permohonan PK didaftarkan Ahok melalui kuasa hukum ke PN Jakarta Utara pada 2 Februari lalu.

Sesuai aturan, majelis hakim pengadilan negeri akan membahas permohonan tersebut dan membuat pertimbangan, lalu melimpahkannya ke MA. Mahkamah yang nantinya memutuskan apakah PK dapat diterima atau ditolak.

"Tidak dapat dipastikan berapa lama (terbit keputusan MA). Mungkin di PN akan memakan waktu tiga-empat pekan," tambah Abdullah.

Pro kontra

Pengajuan PK Ahok menuai berbagai reaksi.

Aldwin Rahadian, kuasa hukum Buni Yani menanggapi sinis.

"Enggak bisa (menjadi pertimbangan),” katanya.

Dikatakan Aldwin, kasus Ahok dan Buni Yani berbeda perkara. Ahok dijerat pasal penistaan agama, sedangkan Buni Yani dijerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

"Tidak ada kaitan dengan Ahok. Lagipula (kasus Buni Yani) belum inkcracht (berkekuatan hukum tetap)," ujarnya.

Juru bicara Front Pembela Islam (FPI) Novel Bakmumin berharap MA menolak permohonan PK Ahok. Ia beralasan, mengabulkan permohonan tersebut akan memanaskan situasi jelang pemilihan umum.

"Bangsa bisa makin terpecah belah," kata Novel, yang bersama kelompoknya menjadi motor rangkaian unjuk rasa mendesak Ahok dipenjara sepanjang 2016-2017 lalu.

"Apalagi ini masalah penistaan agama yang sensitif. Bisa menyinggung umat Islam," tambahnya.

Sedangkan, anggota Tim Pembela Ulama dan Aktivis, Eggi Sudjana, mengancam akan menggelar demonstrasi besar jika MA mengabulkan PK yang diajukan Ahok.

"Karena ada akal-akalan hukum yang tidak sesuai, bukan karena kebencian," kata Eggi, dikutip dari laman Tempo.co.

Adapun pengamat hukum dari Universitas Al Azhar Jakarta, Suparji Ahmad tak mempermasalahkan permohonan PK Ahok.

Menurutnya, Ahok memang berhak melakukan peninjauan kembali karena vonisnya telah berkekuatan hukum tetap, yang merupakan prasyarat pengajuan PK. Hal itu didapat Ahok setelah dirinya mencabut banding atas hukuman dua tahun penjara yang dijatuhkan PN Jakarta Utara.

"Bagian dari upaya dia bebas dari penjara. Wajar saja," kata Suparji saat dihubungi.

Namun, Suparji enggan memprediksi potensi Ahok bebas lewat permohonan peninjauan kembali ke MA.

Ia berdalih, potensi itu tergantung dari alat bukti baru yang diajukan Ahok di persidangan nanti.

"Akan sangat dipengaruhi itu (bukti baru)," ujar Suparji lagi.

MA pernah memvonis bebas sejumlah terpidana yang mengajukan PK. Salah satunya ialah terpidana korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Sudjiono Timan.

Sempat beroleh hukuman 15 tahun penjara, ia kemudian diputus bebas setelah mengajukan PK ke MA.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.