Nasib Ahok Ditentukan Pekan Depan
2016.11.07
Jakarta

Setelah diperiksa di Mabes Polri hari Senin, status hukum Gubernur DKI Jakarta non-aktif, Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama, akan ditentukan minggu depan dalam gelar perkara dugaan penistaan agama yang rencananya digelar secara terbuka, demikian disampaikan Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
"Soal peningkatan status hukum (Ahok), ditunggu saja gelar perkara pekan depan," kata Analis Kebijakan Madya Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri, Kombes Pol. Rikwanto di Mabes Polri, Senin, 7 November 2016, tanpa merinci tanggal pasti pelaksanaan gelar perkara.
Dalam pemeriksaan hari Senin selama sembilan jam tersebut, Ahok dicecar 22 pertanyaan.
Seusai pemeriksaan, Ahok terlihat enggan berkomentar kepada wartawan.
"Saya kira tadi sudah jelas semua. Kalau mau tahu yang lain, silakan tanya ke penyidik," ujarnya, yang kemudian bersama kuasa hukumnya berlalu meninggalkan Mabes Polri.
Ini bukan pertama kalinya Ahok diperiksa sebagai terlapor dalam kasus ini, karena pada 24 Oktober 2016, Ahok atas inisiatif sendiri telah datang ke Bareskrim Polri.
Pada 4 November lalu, sekitar 100.000 demonstran memenuhi kawasan Monas Jakarta untuk menuntut polisi memproses hukum Ahok atas dugaan penistaan Al-Quran.
Dalam aksi damai yang kemudian berubah ricuh pada malam harinya itu, seorang pendemo meninggal dunia dan sekitar 100 orang lainnya terluka —79 di antaranya aparat kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Juru bicara Polda Metro Jaya Komisaris Besar Awi Setiyono mengatakan korban meninggal adalah akibat asma dan telah dimakamkan di Tangerang, Banten.
"Sebelas anggota polisi masih dirawat inap di rumah sakit," kata Awi.
Kericuhan itu membuat Presiden Joko "Jokowi" Widodo membatalkan kunjungan kerja ke Australia, yang sedianya berlangsung 5-8 November. Menurut Jokowi, situasi negara masih membutuhkan perhatian, meskipun secara umum sudah stabil dan tenang.
‘Supaya terang’
Gelar perkara terbuka digelar Mabes Polri pekan depan bakal menjadi yang pertama sepanjang sejarah hukum Indonesia.
Gelar perkara adalah istilah dalam proses penyelidikan untuk menentukan apakah seseorang terbukti melakukan tindak pidana yang dituduhkan kepadanya.
Ahok diduga melakukan penistaan agama ketika menyitir ayat 51 surat Al Maidah, bagian dari Al-Quran yang melarang umat Islam memilih pemimpin dari kalangan Yahudi dan Nasrani, saat kunjungan kerja di Kepulauan Seribu, 27 September lalu.
Ahok telah meminta maaf atas ucapannya tersebut dan mengatakan tidak berniat menistakan Al-Quran.
Sehubungan dengan gelar perkara itu, juru bicara Front Pembela Islam (FPI) Munarman, dalam laman Tribunews.com mengkritik langkah kepolisian tersebut dengan menyebutnya sebagai siasat membentuk opini publik.
"Saya dapat informasi, polisi akan menghadirkan 80 persen saksi yang nyatakan Ahok tak bersalah. Kalau tetap digelar terbuka, hanya membodohi publik," kata Munarman.
Namun, Kombes Pol. Rikwanto menepis aggapan ini. Menurutnya, gelar perkara terbuka itu justru bermaksud baik.
"Supaya semua terang. Silakan publik menilai, tapi kesimpulan tetap di tangan penyidik, katanya.
Sementara itu, kepolisian mengatakan secara keseluruhan telah memeriksa 25 saksi. "Delapan orang saksi lain akan diperiksa minggu ini," kata Rikwanto.
‘Khawatir tragedi 1998 berulang’
Meski Jokowi menyebut kondisi telah kembali stabil, kekhawatiran masih menyelimuti warga Jakarta, khususnya etnis Tionghoa.
"Khawatir bakal seperti 1998? Pastilah. Kemarin (4 November), saya juga enggak keluar rumah," kata Wendy Putra (24) kepada BeritaBenar.
Ketika terjadi kerusuhan 1998, warga etnis Tionghoa menjadi sasaran amuk massa dan ratusan orang tewas terbakar saat terjadi penjarahan. Puncaknya, Presiden Soeharto mundur setelah berkuasa 32 tahun.
Pendapat yang sama diungkapkan Kevin Hariyono (23) yang juga warga keturunan.
"Pas demonstrasi, orang tua saya bahkan akhirnya menginap di kantor dan baru pulang keesokannya karena khawatir," ujarnya.
Perihal demo yang ditujukan kepada Ahok, Wendy dan Kevin tidak mempermasalahkan, menyebutnya sebagai hak setiap warga negara.
Soal tudingan penistaan agama yang dialamatkan kepada Ahok, mereka juga enggan menanggapinya. Keduanya menyerahkan permasalahan itu kepada penegak hukum.
Pendapat hampir sama dikatakan seorang pendukung Ahok, Linda Glamour (32). Ia mengatakan, kepolisian adalah pihak paling berwenang untuk menentukan apakah Ahok bersalah atau tidak.
"Biar jelas semua dan masalah selesai," kata Linda, yang datang ke Mabes Polri bersama rekan-rekannya dari Relawan Ahok.
Buni Yani sangkal mengedit
Dugaan penistaan agama mendadak ramai setelah tersebar video pidato Ahok di Kepulauan Seribu yang diunggah seseorang bernama Buni Yani.
Meski sempat mengakui teledor dalam menyalin isi pidato, belakangan pria yang berprofesi sebagai dosen itu menyangkalnya.
Jumat lalu, Buni mengatakan memang menghilangkan kata ‘pakai’ sehingga kalimat Ahok yang seharusnya berbunyi 'dibohongi pakai surat Al-Maidah' berubah menjadi 'dibohongi surat Al-Maidah’.
"Klarifikasi saya, semua itu tidak benar, bohong. Saya bersaksi demi Allah, dunia akhirat, tidak mengubah apa-apa dalam video itu," ujar Buni kepada wartawan, Senin.
Buni kini terancam terseret kasus dugaan penistaan agama yang menimpa Ahok, setelah Relawan Ahok-Djarot melapornya ke polisi setelah dianggap sengaja mengedit video itu.
Polisi mengagendakan pemeriksannya Kamis pekan ini.
"Meminta keterangannya terkait video dan terjemahan rekaman pidato Ahok ketika di Pulau Seribu," jelas Rikwanto.
Kepada BeritaBenar, kuasa hukum Buni, Aldwian Rahadian, mengatakan bahwa kliennya siap datang memenuhi panggilan polisi.