1.700 Sarjana Islam Dunia Bahas Radikalisme di Palu
2018.09.18
Jakarta

Sebanyak 1700 sarjana studi Islam dari seluruh dunia membahas masalah radikalisme dan inklusifisme dalam Islam serta berusaha berkontribusi melawan propaganda dan kekerasan kelompok militan.
"Diskusi ini mengukur sejauh mana kita bisa merespon serta memberikan solusi atas persoalan sosial keagamaan yang belakangan mengganggu kerukunan umat beragama," ujar Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin saat membuka Konferensi Internasional Studi Islam (AICIS) ke-18 di Palu, Sulawesi Tengah, Selasa, 18 September 2018.
Mengusung tema “Islam In Southeast Asia and the Global World: Text, Knowledge and Practice", para peserta datang dari 23 negara asing seperti Jepang, Malaysia, Singapura, Jerman dan Australia ini membahas 361 makalah permasalahan dalam Islam hingga 20 September mendatang.
Menurut Lukman seperti disebutkan dalam rilis yang diterima BeritaBenar, akademisi Islam tidak boleh terlalu asyik dengan penelitian yang hanya bermanfaat untuk pribadi dan tidak berkontribusi dalam menyelesaikan masalah sosial, politik, kebangsaan, baik di Indonesia maupun dunia.
"Pengalaman kasus kehidupan umat beragama, interaksi mayoritas-minoritas dan sebaliknya, bahkan gesekan-gesekan yang terjadi akibat beragamnya keyakinan serta pemahaman keagamaan pun dapat menjadi studi kasus untuk merumuskan hipotesis, melakukan riset, dan kemudian memproduksi pengetahuan dalam bentuk makalah, artikel, atau buku, dan dipakai di dunia akademik nasional maupun internasional," ujarnya.
Selama ini, tambahnya, kasus radikalisme dan terorisme bermula dari intoleransi karena masyarakat banyak bersumber dari bacaan primer.
"Kasus intoleransi, penodaan agama, persekusi, hingga kasus radikalisme dan terorisme membutuhkan respon yang tidak bersifat reaktif belaka, tetapi membutuhkan kajian dan penelitian empirik hasil riset," katanya.
Lukman menambahkan, era globalisasi melahirkantangan di kalangan masyarakat Muslim, tak terkecuali di Indonesia dan Asia Tenggara.
Beberapa contoh dinamika masyarakat yang dalam level tertentu telah mengakibatkan terciptanya segregasi sosial antara lain menguatnya politik identitas, menularnya gagasan populisme dari belahan bumi lain, bergesernya kecenderungan keagamaan menjadi lebih konservatif, ditambah dengan kepentingan-kepentingan politik yang menunggangi.
"Dengan berbagai kearifan yang kita miliki, kita wajib merespon tantangan semacam itu. Dunia kini semakin menyadari bahwa Muslim Nusantara memiliki kekhasan tersendiri dalam merespon konservatisme dan radikalisme berbasis keagamaan," imbuhnya.
Bermanfaat
Direktur Pendidikan Islam Kementerian Agama, Arskal Salim, mengatakan radikalisme menjadi isu utama karena merupakan masalah yang dihadapi tak hanya Indonesia, tapi juga dunia.
"Peneliti tidak bisa mengabaikan hal ini mereka harus memperhatikan apa yang terjadi. Isu ini harus mendapatkan perhatian, diteliti dan diseminasikan," katanya.
Beberapa makalah yang dihadirkan berisi mengenai radikalisme dan penanggulangan radikalisme yang disusun berdasarkan hasil wawancara, mengumpulkan dokumen dari berbagai sumber.
"Makalah tersebut berikan penjelasan terkait, pemaparan gerakan tersebut, ini bisa dimanfaatkan pengambil kebijakan, ataupun penegak hukum, pimpinan perguruan tinggi merumuskan pembelanjaran yang tepat," katanya.
"Dalam hal kebijakan kampus misalnya, jika ditemukan hal yang dianggap mengganggu potensi dikampus, kampus akan mengeluarkan kebijakan tertentu untuk meredam mengeliminir."
Eksklusif
Peneliti Habibie Center bidang Countering Terorism dan Capacity Building Program, Mohammad Hasan Ansori, mengatakan selama ini hambatan peneliti dalam berkontribusi pada penanggulangan terorisme karena sulitnya kolaborasi antar peneliti dan pemerintah.
"Problemnya itu ada gap antara riset dan policy making. Banyak sekali riset mengenai radikalisme tapi tidak berpengaruh terhadap kebijakan pemerintah atau sebaliknya policy making yang dibuat tidak begitu mengambil penelitian mereka sebagai bahan pertimbangan terkait penanganan terorisme," katanya kepada BeritaBenar.
Alasannya, tidak ada kerjasama antara peneliti dengan pemerintah sehingga kebanyakan peneliti mengadakan riset kemudian diseminasi dan selesai.
"Hasilnya masuk rak begitu saja,” ujarnya.
Seharusnya, lanjur dia, ada upaya influencing policy dari para peneliti, instansi dan NGO mengundang kelembagaan atau badan pemerintah untuk berbagi hasil penelitian.
"Itu jarang dilakukan, terutama jika proyek penelitian. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sangat eksklusif dan bekerja sendiri. Mereka merasa bisa kerja sendiri dan tahu segala hal. Susah sekali bekerjasama dengan BNPT," tuturnya.
Menanggapi pernyataan Hasan tersebut, juru bicara BNPT, Irfan Idris menampiknya.
"Mungkin mereka tidak mau menerapkan SOP (Standard Operating Procedure) yang diterapkan BNPT mereka maunya hasil jadi," ujarnya kepada BeritaBenar.
Selama ini, kata dia, pihaknya justru mengharapkan hasil penelitian terbaru.
"Mungkin bukan masalah penelitiannya tapi orangnya atau organisasinya yang tidak bisa kita terima," katanya.
Di setiap provinsi, tambahnya, BNPT punya ketua bidang penelitian dan telah melakukan penelitian berkala mengenai kontra terorisme dan radikalisme.
"Mungkin yang dimau kita lain, karena memang lain SOP nya, kami ada produk sendiri kecuali ada kerjasama bisa sharing data, bukan berarti sulit bekerja sama dengan BNPT," pungkasnya.