AJI: 2017, Kekerasan Fisik Masih Ancaman Serius Bagi Jurnalis

Data mengungkapkan penyelenggara negara banyak terlibat dalam kekerasan tersebut.
Arie Firdaus
2017.12.27
Jakarta
171227_ID)AJI_1000.jpg Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Abdul Manan (kiri) didampingi Sekretaris Jenderal AJI, Revolusi Riza, saat memaparkan catatan akhir tahun AJI di Jakarta, 27 Desember 2017.
Arie Firdaus/BeritaBenar

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyebutkan kekerasan fisik masih menjadi ancaman serius bagi jurnalis di Indonesia sepanjang 2017.

Dalam catatan AJI, setidaknya terjadi 30 kasus kekerasan fisik yang menimpa wartawan – dari keseluruhan 61 kasus kekerasan yang terdata.

"Meski itu (kekerasan fisik) agak purba untuk era modern, tapi masih paling dominan," kata Ketua AJI Indonesia, Abdul Manan, dalam pemaparan catatan akhir tahun AJI di Jakarta, Rabu, 27 Desember 2017.

Kekerasan fisik yang disebut AJI melingkupi pemukulan, penamparan, atau pitingan terhadap jurnalis.

Angka kekerasan fisik tersebut sejatinya masih lebih rendah dari 2016 yakni sekitar 36 kasus, dari total laporan 81 kasus kekerasan.

Namun angka tahun ini masih lebih tinggi dari 2014 dan 2015, yakni masing-masing 18 (dari total 40 kasus kekerasan) dan 20 kasus (total 42 laporan kekerasan).

"Meski lebih rendah (dari 2016), tapi pola kekerasan masih sama. Bahwa publik masih memilih menyelesaikan perbedaan pendapat dengan jurnalis, ibaratnya, lewat main kayu," tambah Manan.

Selain kekerasan fisik, bentuk kekerasan lain yang menimpa jurnalis pada 2017 adalah pengusiran atau pelarangan liputan yang tercatat 13 laporan, ancaman kekerasan atau teror sebanyak enam kasus, kriminalisasi dan perusakan alat liputan masing-masing sejumlah lima kasus, dan satu kasus penyerangan kantor redaksi.

Penyelenggara negara terlibat

Kendati angka kekerasan menurun dibanding 2016, namun Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Hesthi Murthi, menyebut terdapat fenomena yang mengkhawatirkan terkait kekerasan terhadap wartawan.

Musababnya, kata Hesthi, ”Penyelenggara negara termasuk menjadi pelaku kekerasan yang besar.”

Penyelenggara negara tersebut meliputi pejabat pemerintahan, kepolisian, dan tentara.

Menilik data AJI Indonesia dalam tiga tahun terakhir, keterlibatan penyelenggara negara dalam kekerasan terhadap wartawan memang terus meningkat.

Pada 2014, misalnya, laporan kekerasan terhadap wartawan yang dilakukan oleh pejabat publik, polisi, dan tentara tercatat sebanyak sebelas kasus.

Jumlah itu meningkat pada 2015 dengan total mencapai 19 kasus kekerasan, dan terus naik menjadi 28 laporan kekerasan pada 2016.

"Artinya, penyelenggara negara belum paham apa tugas jurnalis. Pelaku bahkan sampai ke pucuk, tak cuma yang bawahan," ujar Hesthi.

Ia mencontohkan kekerasan oleh salah seorang bupati di Nusa Tenggara Timur terhadap seorang wartawan, dengan menginstruksikan sejumlah anak buahnya untuk menangkap jurnalis tersebut dan melakukan kekerasan fisik.

"Ini mengkhawatirkan karena yang dianggap mengetahui undang-undang justru mengambil langkah layaknya preman ketika ada sengketa pemberitaan," katanya.

Selain mengkritisi keterlibatan penyelenggara negara dalam kekerasan, Hesthi juga menyoroti lamban dan lemahnya penyelesaian kasus kekerasan terhadap jurnalis.

Ia merujuk pada insiden kekerasan terhadap tujuh wartawan oleh anggota TNI Angkatan Udara di Medan, Sumatera Utara; dan kekerasan terhadap wartawan Radar Madura oleh pegawai Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Bangkalan, Madura. Keduanya terjadi pada 2016.

Dalam kasus kekerasan anggota TNI AU, tambah Hesthi, baru seorang yang divonis. Sementara berkas tersangka lain mandek.

"Sedangkan kasus di Bangkalan, perkembangan sangat lambat. Sudah setahun sampai sekarang, baru ada satu tersangka," lanjutnya.

Terkait laporan dari AJI Indonesia ini, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigadir Jenderal Muhammad Iqbal enggan berkomentar lebih lanjut. Pun, mengenai kelambanan penuntasan kasus kekerasan terhadap wartawan.

"Saya belum melihat datanya," kata Iqbal singkat, saat dikonfirmasi BeritaBenar.

Belum ada komentar dari juru bicara Mabes TNI, Mayor Jenderal Mohammad Sabrar Fadhilah atas rilisan ini.

Waspada tahun politik

Manan memprediksi kekerasan terhadap jurnalis kemungkinan besar akan terus terjadi tahun depan karena beberapa daerah akan memasuki "Tahun Politik” dengan menggelar pemilihan kepala daerah.

Termasuk daerah-daerah yang selama ini rawan terjadi kekerasan kepada wartawan, semisal Papua, Sulawesi, dan Sumatera Utara.

"Apalagi ada unsur militer aktif yang mencalonkan diri dalam Pilkada di daerah rawan tersebut," kata Manan.

Salah satunya ialah Pangkostrad Letnan Jenderal Edy Rahmayadi yang telah menyatakan bakal maju dalam Pemilihan Gubernur Sumatera Utara.

Menurut Manan, Pilkada dan aksi kekerasan wartawan selama ini memang berkaitan. Ia mencontohkan insiden pengusiran terhadap sejumlah wartawan televisi saat meliput “Aksi Bela Islam” pada 2 Desember 2016.

Unjuk rasa yang lebih dikenal sebagai Aksi 212 tersebut memang berkorelasi dengan Pilkada DKI Jakarta, yang bertujuan untuk menentang calon petahana Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama.

"Pengusiran itu karena mereka dianggap tidak berpihak pada kelompok mendukung aksi," kata Manan.

“Itu warning bagi kita. Meski di sisi lain, wartawan juga harus menjaga kode etik agar meminimalkan kekerasan.”

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.