Aktivis: Kembalikan Semua Sampah Plastik Ke Negara Asal

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengusulkan penerapan bea cukai senilai Rp30.000 perkilogram dalam upaya mengurangi jumlah kantong plastik di Indonesia.
Tia Asmara
2019.07.03
Jakarta
20190703-ID-Reekspor-Sampah-620.jpg Petugas memeriksa satu dari 49 kontainer yang berisikan sampah plastik dan limbah berbahaya di Pelabuhan Batam, Kepulauan Riau, 19 Juni 2019.
AFP

Pegiat lingkungan hidup mendesak pemerintah untuk mengembalikan semua kontainer berisi sampah plastik terkontaminasi yang diimpor melalui pelabuhan Batam, Kepulauan Riau, ke sejumlah negara asal, termasuk Amerika Serikat (AS).

"Kami sangat mendukung kalau dikembalikan semuanya, tak hanya 49 kontainer saja sehingga tidak masuk lagi sampah dalam bentuk apapun," kata Dwi Sawung, Pengkampanye Energi dan Perkotaan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) kepada BeritaBenar di Jakarta, Rabu, 3 Juli 2019.

Menurut dia, aturan pemerintah yang mengizinkan limbah plastik non-bahan berbahaya dan beracun (B3) memungkinkan kejadian serupa terulang di masa depan.

"Pemerintah harusnya memikirkan bagaimana pembuangannya, memang seharusnya dibalikin lagi, kami menolak impor sampah," ujarnya.

Dwi menilai lebih tepat jika pemerintah mengimpor produk plastik tercacah (pallets) karena jika dalam bentuk kemasan tidak ada yang utuh, semua sudah dipress dengan aneka plastik lain.

"Kalau sudah bercampur tidak bisa di daur ulang, faktanya banyak yang masuk adalah plastik sampah rumah tangga," katanya.

Hal senada disampaikan pendiri Ecoton Foundation, Prigi Arisandi, yang mengatakan kontainer berisi sampah tersebut memang harus dikembalikan namun butuh komitmen kuat dari pemerintah.

"Presiden harus deklarasi kalau Indonesia bukan tempat sampah global. Itu penting," ujarnya.

"Kami menuntut Presiden Joko Widodo segera menghentikan sepenuhnya kegiatan impor sampah plastik di Indonesia."

Menurut Prigi, dalam perjanjian ekspor sampah, hanya koran atau kertas bekas yang seharusnya dikirim, namun faktanya sampah plastik dimasukkan secara diam-diam.

"Kami temukan sampah plastik seperti kemasan deterjen, sabun, sampo, makanan, dan popok bekas. Sampah itu mengandung zat berbahaya yang bisa mengontaminasi lingkungan kita," ujarnya.

Pada 2018, data BPS menunjukkan ada peningkatan impor kertas bekas yang tercampur sampah plastik sebesar 283.152 ton.

Ini angka tertinggi impor sampah plastik dalam 10 tahun terakhir. Tercatat, pada 2013 impor sampah plastik Indonesia masih di angka 124.433 ton.

49 Kontainer Dikembalikan

Sebelumnya, pemerintah memutuskan untuk mengembalikan 49 kontainer yang berisi sampah plastik, sampah rumah tangga, dan limbah berbahaya yang melanggar aturan impor dari pelabuhan internasional Batam ke sejumlah negara asal.

"Ya betul sudah terkonfirmasi, semuanya 49 kontainer sudah kami segel dan siap dikembalikan. Saat ini sedang menunggu jadwal kapal," kata Kepala Sub Direktorat Komunikasi dan Publikasi Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Deni Sujantoro kepada BeritaBenar.

Kontainer-kontainer tersebut akan dikembalikan ke sejumlah negara seperti AS, Jerman, Perancis, Australia dan Hongkong.

"Sedang dalam proses, waktunya belum bisa saya sampaikan," ujar Deni.

Ia menjelaskan dari total 65 kontainer yang masih tertahan, 16 di antaranya dinyatakan lolos dari limbah B3, sementara sisanya dinyatakan terkontaminasi sampah.

"Di dalam 49 kontainer itu banyak berisi barang bekas nggak jelas, seperti oli, kantong plastik, sampah rumah tangga, mainan yang dinilai terkontaminasi limbah," jelasnya.

Bulan lalu, pemerintah Indonesia telah mengembalikan lima kontainer impor sampah plastik ke AS melalui pelabuhan Surabaya.

Sejumlah negara ASEAN telah menyatakan khawatir wilayahnya dijadikan sebagai lokasi pembuangan sampah dari negara maju.

Malaysia pada Mei lalu mengirimkan balik ratusan ton sampah plastik. Selain itu, Filipina juga mengembalikan sekitar 69 kontainer sampah ke Kanada bulan lalu.

Keputusan China menutup keran impor sampah plastik dari negara maju telah membuat mereka kesulitan mencari tempat untuk mengirimkan limbah plastik.

Akibatnya negara-negara Asia Tenggara menjadi alternatif pilihan tempat pembuangan sampah plastik.

Menurut data WWF, sekitar 300 juta ton sampah plastik diproduksi setiap tahun yang berakhir di lokasi pembuangan sampah atau tercemar di laut.

Cukai

Sementara itu, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengusulkan penerapan bea cukai senilai Rp30.000 perkilogram atau Rp200 setiap lembar jika dihitung 1 kilogram terdiri dari 150 lembar dalam upaya mengurangi jumlah kantong plastik di Indonesia.

"Insya Allah kami akan menerapkannya tahun ini, instrumen fiskal yang tepat untuk mengurangi kecenderungan memakai plastik yang tercemar adalah tugas cukai," ujarnya.

Menurut dia, Indonesia yang terdiri dari 17.000 pulau menghasilkan 9,85 miliar kantong sampah setiap tahun, sehingga hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai kontributor polutan plastik terbesar kedua di lautan.

Namun rencana itu mendapat perlawanan dari beberapa anggota parlemen.

Anggota Komisi XI DPR RI, Misbakhun mengatakan masih banyak hal lain yang juga berbahaya.

"Kenapa plastik? Tidak adil jika hanya plastik, banyak hal lainnya yang merusak seperti karet," katanya seperti dikutip dari Reuters.

Sekjen Asosiasi Industri Plastik Indonesia (Inaplas), Fajar AD Budiyono menilai rencana pemerintah menaikkan cukai plastik perlu ditelaah.

Ia menilai kebijakan tersebut tidak tepat dilakukan karena justru akan membebani pengusaha daur ulang.

"Pelaku daur ulang seharusnya diberikan insentif karena selama ini kita sudah bayar pajak, restribusi dan pungutan-pungutan jadi jika ditambah dengan masalah larangan impor plastik makan industri resycle bisa mati," katanya.

Menurut Fajar, selama ini pengelolaan sampah di Indonesia sangat bermasalah sehingga menghambat proses daur ulang.

"Bank sampah sebaiknya diperbaiki, masyarakat harus ubah budayanya dari pakai - kumpul - buang menjadi  pilah-proses-jual," ujarnya.

Dia menambahkan jika pemerintah hanya menerapkan kenaikan cukai dan membebani konsumen dengan membayar plastic, maka itu bukan langkah tepat dalam penanganan sampah plastik.

"Masalah sampah tidak akan selesai, karena recycle adalah jalan keluar utama menuju zero waste. Lebih baik diperbaiki management waste-nya," pungkas Fajar.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.