Aktivis Kecam Reaksi Antikomunis Pemerintah
2016.05.13
Jakarta

Kelompok aktivis mengecam tindakan pemerintah beberapa pekan terakhir yang melakukan pelarangan, intimidasi dan penangkapan pada tindakan yang dicurigai menyebarkan ideologi komunis. Mereka menganggap reaksi pemerintah itu berlebihan.
“Penangkapan yang dicap sebagai bagian menangkap komunis sebenarnya bentuk teror dan penyebaran ketakutan diciptakan agar warga bereaksi negatif pada aktivis, gerakan rakyat, kelompok minoritas, sehingga mengaburkan upaya penyelesaian persoalan masa lalu pada 1965-1969 dan pelanggaran HAM lainnya,” kata Asep Komarudin, juru bicara Gerakan Masyarakat untuk Demokrasi (Gema Demokrasi) dalam pernyataan tertulis yang diterima BeritaBenar, Kamis, 12 Mei 2015.
Gema Demokrasi ialah gabungan 26 organisasi masyarakat sipil (OMS) dan sejumlah individu, termasuk di dalamnya, LBH Jakarta, KontraS, Elsam, YLBHI, Imparsial, LBH Pers, AJI Indonesia dan beberapa OMS lain.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar menegaskan bahwa maraknya operasi antikomunisme “adalah rekayasa dan tindakan yang berlebihan.”
“Tindakan ini sungguh aneh, karena PKI yang merupakan Partai Komunis Indonesia sudah dibubarkan. Komunisme harus dilihat sebagai pengetahuan umum di antara pengetahuan lain, yang dipelajari sebagai pengetahuan sosial,” ujarnya.
Dia menambahkan ketidakwarasan terlihat dari tindakan akan ketakutan kepada PKI diwujudkan dengan mengamankan, menangkap, menyita atau melarang pemakaian kaos bergambar Palu Arit, film yang membahas pelanggaran HAM, dan intimidasi ke penerbit buku.
‘Tidak berangus kebebasan berpendapat’
Jurubicara presiden Johan Budi ketika dikonfirmasi BeritaBenar, Jumat, menyatakan Presiden Jokowi telah memerintahkan Kapolri dan Panglima TNI agar tak kebablasan dalam menangani masalah isu penyebaran komunisme dan menghormati kebebasan berpendapat.
"Direction Presiden itu clear bahwa aparat di bawah jangan juga dalam rangka untuk menertibkan dugaan kebangkitan PKI disalahartikan. Kebebasan berpendapat, untuk menyampaikan ide-ide jangan sampai diberangus," tuturnya.
Ia menambahkan Jokowi tetap concern terhadap hak berpendapat masyarakat. Untuk itu, aparat penegak hukum harus memberi jaminan agar tak akan melanggar HAM serta menghilangkan hak berpendapat karena alasan pemberantasan paham komunisme.
Namun demikian, Johan Budi mengatakan Presiden Jokowi tetap berkomitmen tidak membiarkan bibit PKI tumbuh kembali di Indonesia. Oleh karena itu sudah menjadi tugas Polri, TNI, BIN dan Kejaksaan Agung untuk menangani masalah tersebut.
"Perintah Presiden kepada Jaksa Agung, Kapolri adalah menindak tegas upaya-upaya membangkitkan PKI. Karena itu dilarang dalam TAP MPR Nomor 1/2003 dan masih berlaku sampai hari ini. Tidak boleh ada PKI di bumi pertiwi Indonesia," tegasnya.
‘Musuh palsu’
Asep menyebutkan dari hasil pemantauan diketahui data pelanggaran atas hak berkumpul dan berpendapat mencapai 41 kasus sejak 2015. Bentuknya mulai dari pelarangan, intimidasi, pembubaran paksa, penangkapan, pembredelan hingga pencekalan – dimana angkanya meningkat dalam tahun ini yaitu seminggu satu kasus.
Melihat berbagai tindakan di lapangan, Gema Demokrasi menduga ada upaya untuk menciptakan "musuh palsu” dengan memunculkan dan menyebarkan rasa takut di tengah masyarakat terhadap komunisme.
“Upaya-upaya ini justru dilakukan dengan melawan hukum yang merupakan wujud pengulangan sejarah kelam bangsa Indonesia di masa pemerintahan otoriter Orde Baru, yang nyatanya adalah musuh sejati rakyat,” tegas Asep.
Koalisi yang peduli terhadap masa depan demokrasi ini mengharapkan tegaknya supremasi sipil atas militer dan kepolisian sesuai konstitusi dengan mandat reformasi sektor keamanan agar militerisme yang menghambat kebebasan berekspresi dan berpendapat warga bisa dihancurkan.
Polisi diminta tak berkompromi dengan massa atau ormas “vigilante”, dan menindak siapa pun yang melakukan aksi penyerangan, menggeledah, menangkap, melakukan kekerasan dan kejahatan lain.
Ketua Setara Institute Hendardi dalam rilis yang diterima BeritaBenar mengatakan selama ini tuduhan kebangkitan komunisme tak pernah diverifikasi dan dibuktikan oleh pemerintah karena ia merupakan propaganda tanpa indikasi dan bukti kuat.
“Sementara radikal dan intoleran justru memanifes dalam bentuk kekerasan yang nyata. Jika propaganda kebangkitan komunisme terus dilanjutkan, yang jadi korban utama adalah kebebasan sipil,” katanya.
“Propaganda mendaur ulang ketakutan terhadap komunisme kuat dugaan didorong oleh pihak tertentu yang selalu menciptakan hantu di kepala rakyat seolah PKI akan bangkit kembali,” tambahnya.
Pernyataan Menhan
Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu mengingatkan masyarakat tentang bahaya laten komunis dan mengajak semua kalangan membangun Indonesia berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
"Sebagai komponen bangsa, (kita) harus senantiasa waspada terhadap bahaya laten komunis," katanya dalam pertemuan dengan persatuan purnawirawan TNI AD serta organisasi masyarakat anti-PKI di Jakarta, Jumat.
"Dulu sering sekali kita dengar bahaya laten ditertawakan, enggak ada itu bahaya laten, kemudian komunis sudah tidak ada lagi, tapi disebut-sebut sekarang muncul," tambahnya.
Ryamizard menyebutkan kalau ada pihak menganggap PKI tidak ada, mereka yang beranggapan begitu adalah seorang komunis. "Jadi kita patut curigai itu yang bilang enggak ada (PKI), mungkin dia yang komunisme," tegasnya.
Sebelumnya dalam pertemuan dengan aktivis Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965, 9 Mei lalu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Luhut Binsar Pandjaitan, mengatakan bahwa pemerintah menjamin keamanan korban tragedi 1965 dalam upaya rekonsiliasi bersama.