Enam Aktivis Papua Segera Jalani Sidang Dugaan Makar

Polisi disebut kerap mempersulit kuasa hukum dan keluarga untuk membesuk para tersangka yang ditahan Mako Brimob Depok.
Arie Firdaus
2019.11.19
Jakarta
191119_ID_Papua_1000.jpg Mahasiswa Papua dengan wajah dilukis gambar bintang kejora, simbol pergerakan Papua Merdeka, berdemonstrasi di depan Istana Merdeka Jakarta, 28 Agustus 2019.
AP

Enam aktivis Papua yang ditahan atas dugaan makar akan segera menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat setelah Kepolisian Metro Jaya melimpahkan berkas mereka kepada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.

"Setelah pelimpahan berkas dan tersangka, dalam dua pekan biasanya akan persidangan dimulai," kata kuasa hukum keenam tersangka, Tigor Hutapea dalam jumpa pers di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Selasa, 19 November 2019.

Keenam aktivis Papua tersebut: Surya Anta, Charles Kossay, Dano Tabuni, Isay Wenda, Ambrosius Mulait, dan Arina Elopere, dijerat pasal makar setelah menggelar unjuk rasa damai menuntut referendum Papua --disertai pengibaran bendera Bintang Kejora-- di seputaran Istana Kepresidenan pada 28 Agustus 2019.

Mereka ditangkap pada 30-31 Agustus 2019, dan sejak itu mendekam di rumah tahanan Mako Brimob Kelapa Dua di Depok, Jawa Barat.

Meski sudah akan menjalani persidangan, Tigor mengaku, kuasa hukum masih mencari celah agar kliennya dapat lepas dari jerat makar.

Selain telah mengajukan praperadilan untuk menggugurkan status tersangka ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Tigor mengatakan juga akan melaporkan hakim Agus Widodo yang memimpin sidang praperadilan ke Komisi Yudisial.

Sidang praperadilan sejatinya digelar pada 11 November, tapi ditunda lantaran pihak tergugat yakni Kepolisian Daerah Metro Jaya tidak hadir. Sebagai gantinya, sidang digelar pada 25 November 2019.

"Menurut kami, penundaan dua minggu itu tidak wajar karena dapat menghambar proses keadilan bagi tersangka. Seharusnya penundaan cukup satu minggu, bahkan sidang korupsi melawan KPK bisa dua hari saja," kata Tigor.

"Bagi kami praperadilan ini salah satu hal untuk membuktikan bahwa ada sisi gelap dalam proses penanganan kasus ini. Kami harap kepolisian hadir (25 November). Mereka harus bertindak profesional."

Kesulitan besuk

Kuasa Hukum dan keluarga para tersangka beberapa kali mengaku mendapati kesulitan untuk berinteraksi serta kerap merasa terintimidasi ketika membesuk para tahanan --yang mereka sebut sebagai sisi gelap proses hukum kasus makar.

Yumilda Kaciana yang merupakan istri Dano Tabuni, mengisahkan bagaimana waktu besuk yang tadinya sudah disepakati dibatalkan secara sepihak oleh polisi.

"Kekecewaan kami bertambah ketika Forum Kerja Sama DPR dan DPD asal Papua menemui para tahanan, padahal tidak ada waktu kunjungan," kata Yumilda.

"Mengapa ada perbedaan perlakuan? Apakah posisi mereka sebagai elit politik harus dibedakan dengan kuasa hukum dan keluarga?"

Tak sesuai aturan

Ditambahkan kuasa hukum LBH Jakarta Oky Wiratama, kepolisian memang sering bersikap tak sesuai aturan dalam menangani kasus Surya Anta dkk.

Selain kerap mempersulit pendampingan hukum dan kunjungan keluarga, polisi juga tidak mengirim surat resmi terkait pelimpahan berkas para tersangka ke Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.

Padahal merujuk Pasal 75 Peraturan Kapolri No 14 Tahun 2012 tentang penyidikan, penyerahan tersangka wajib disertai surat resmi kepada kuasa hukum dan keluarga.

"Tapi kami hanya diberitahu hanya melalui pesan singkat WhatsApp. Malah, kami menerimanya baru pada Minggu (17 November)," kata Oky.

Unjuk rasa berujung penangkapan Surya Anta Cs adalah buntut intimidasi berbumbu ujaran rasial ke asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, jelang peringatan kemerdekaan 17 Agustus.

Aksi ini berujung demonstrasi di sejumlah daerah, termasuk Jakarta yang digelar Surya Anta Cs. Buntut rangkaian unjuk rasa, 33 orang meninggal di Wamena, daerah dengan korban jiwa terbesar. Setidaknya 40 orang tewas di Papua selama rangkain kerusuhan tersebut. Sekitar 30 orang ditahan di Papua -- tujuh di antaranya dipindah ke rumah tahanan di Balikpapan, Kalimantan Timur.

"Tapi sampai hari ini, polisi belum juga mengungkap penyebab kematian 33 orang itu," kata Ketua Bidang Jaringan dan Kampanye YLBHI, Arif Yogiawan.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divhumas Polri Brigadir Jenderal Argo Yuwono menyangkal kepolisian menghalangi waktu besuk keluarga dan kuasa hukum.

"Kami bekerja profesional, sesuai aturan," kata Argo, seraya menambahkan bahwa pihaknya siap menghadapi gugatan praperadilan.

Peneliti Human Rights Watch (HRW), Andreas Harsono menyatakan bahwa sejak Agustus lalu ada penambahan 22 tahanan politik (Tapol) yang semuanya terkait Papua, padahal sebelumnya hanya tersisa tiga narapidana politik (Napol) karena terlibat Republik Maluku Selatan (RMS)

Menanggapi persidangan Surya Cs yang akan segera digelar, Andreas menyebutkan hal itu bisa saja akan memancing protes dari masyarakat internasional.

"Pemerintah harus membebaskan semua tahanan politik, karena akan merepotkan Indonesia di forum internasional. Pasti akan banyak yang bertanya hal itu,” katanya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.