PPATK: Danai Terorisme di Indonesia, Bahrun Naim Gunakan Paypal dan Bitcoin
2017.01.09
Jakarta

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan risiko besar penyalahgunaan kemudahan yang disediakan teknologi keuangan untuk mendanai kegiatan terorisme melalui sistem pembayaran dalam jaringan (daring/online).
“Bahrun Naim, seorang tokoh yang mendalangi aksi teror di Indonesia, menggunakan akun pembayaran daring PayPal atau dengan Bitcoin,” ujar Ketua PPATK, Kiagus Ahmad Badaruddin dalam jumpa pers di Jakarta, Senin, 9 Januari 2017.
PayPal ialah jenis alat pembayaran virtual yang bisa dipakai untuk transaksi oleh pengguna internet dari negara mana saja, sementara Bitcoin merupakan mata uang digital yang diciptakan dan diedarkan secara daring tanpa otoritas tertentu yang mengaturnya.
Kiagus tidak menyebutkan jumlah uang yang dikirim Bahrun kepada jaringan teroris di Indonesia yang terafiliasi dengan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Untuk menanggapi perkembangan yang sudah menjadi isu global tersebut, Kiagus mengaku PPATK telah membentuk sejumlah desk khusus yaitu fiskal, narkotika, terorisme serta teknologi keuangan dan kejahatan siber, bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) serta aparat penegak hukum dan kementerian atau lembaga terkait.
Direktur Pemeriksaan dan Riset PPATK, Ivan Yustiavandana, mengatakan resiko penggunaan teknologi keuangan untuk pendanaan terorisme mulai terpetakan sejak PPATK mengadakan penilaian risiko nasional yang dimulai 2013 dan selesai tahun 2015.
Dalam penilaian tersebut, ujarnya, ditemukan wilayah abu-abu pada teknologi keuangan yang rawan digunakan untuk pendanaan terorisme.
Hal ini bukannya tidak bisa dipantau, tetapi memerlukan pemeriksaan beberapa lapis karena berada di lapisan terbawah dalam sistem transaksi keuangan.
“Mereka pilih ini agar tidak terdeteksi seperti bila menggunakan cara konvensional. Namun untuk cara ini ada tahapan-tahapan yang harus dilalui tidak semudah sistem perbankan,” ujar Ivan.
“Anomalinya adalah ketika pemantauan kita semakin canggih, mereka akan berinovasi untuk menggunakan sistem lain yang belum terpantau,” tambahnya.
Dari dulu
Ridlwan Habib, pengamat terorisme dari Universitas Indonesia membenarkan jika Bahrun, militan asal Indonesia yang bergabung dengan ISIS di Suriah dan disebut polisi sebagai dalang aksi teror di Jalan Thamrin, Jakarta 14 Januari 2016, memanfaatkan teknologi keuangan untuk mengirim uang ke jaringannya di Indonesia.
“Bahrun Naim dan kelompoknya sudah dari dulu menggunakan ini sejak dia berada di Suriah,” ujar Ridlwan kepada BeritaBenar.
Bahrun, papar Ridlwan, pernah mengirim uang melalui PayPal dan Bitcoin kepada istri Arif Hidayatullah, terpidana teroris yang ditangkap pasukan anti-teror Detasemen Khusus (Densus) 88 di Bekasi, Jawa Barat, Desember 2015.
Arif divonis enam tahun penjara oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada Oktober 2016 atas pemufakatan jahat dan mencoba membantu aksi terorisme.
Menurut Ridlwan, teknologi ini juga umum digunakan militan ISIS untuk mengirimkan uang kepada anggota sel-sel di negara asal mereka masing-masing.
Dia menambahkan, Bahrun adalah sosok yang paling melek teknologi di antara para militan asal Indonesia sehingga sering memanfaatkan cara ini.
Cara ini juga digunakan sebagai pengganti sistem hawala, atau sistem tradisional pengiriman uang tanpa ada pemindahan uang, yang sering digunakan untuk pendanaan terorisme.
Ridlwan menyebutkan, Bahrun pernah menggunakan sistem hawala untuk mengirim uang kepada Arif melalui tenaga kerja wanita Indonesia di Malaysia yang merupakan bagian dari jejaringnya, namun berhasil dibongkar polisi.
“Sistem hawala sudah ditinggalkan ISIS karena deteksi internasional fokus pada sistem ini sehingga mereka beralih menggunakan sistem teknologi keuangan,” ujar Ridlwan.
Meningkat
Mantan Kepala Densus 88, Komjen Pol. (Purn) Saud Usman Nasution mengakui bahwa pemberantasan terorisme terus berpacu dengan kemajuan operasi kelompok itu dan perkembangan teknologi informasi dan dinamika internasional.
“Analis teknologi informasi kita harus kuat untuk mengikuti perkembangan dari waktu ke waktu. Pengawasan dilakukan melalui semua jalur, baik manual maupun teknologi, online dan offline,” ujarnya kepada BeritaBenar, 30 Desember 2016 lalu.
PPATK juga telah menyerahkan 105 hasil analisis transaksi keuangan yang diduga terkait terorisme kepada penyidik sejak Januari 2013 hingga November 2016. Dalam periode yang sama, PPTAK mendapatkan 267 laporan transaksi keuangan mencurigakan dari penyedia jasa keuangan.
Ada 25 transaksi mencurigakan yang terdeteksi selama 2016. Angka itu meningkat dari 12 kasus pada 2015. Tahun 2014, PPATK mendeteksi 26 transaksi mencurigakan, sedangkan pada 2013 ditemukan 13 transaksi dan tahun 2012 terdeteksi 33 kasus.
Untuk mendeteksi dinamika pendanaan terorisme, Kiagus mengatakan PPATK sudah membentuk tim khusus yang berinteraksi setiap hari dengan Densus 88.
“Polisi melakukan analisis bersama dengan negara lain, kami juga melakukan hal yang sama dengan unit intelijen keuangan di negara lain dan hal ini kami lakukan secara paralel,” ujar Kiagus.