Aman Abdurrahman Mengaku Siap Dihukum Mati
2018.05.30
Jakarta

Terdakwa kasus terorisme Aman Abdurrahman alias Oman Rachman (46) mengaku siap jika divonis mati sesuai tuntutan jaksa, asal dikaitkan dengan pandangannya yang anti pemerintah Indonesia dan bukan dengan dakwaan mendalangi sejumlah aksi teror.
"Jika berkaitan dengan prinsip, mengkafirkan pemerintah, silakan pidanakan berapa pun hukumannya. Mau hukuman mati, silakan," katanya saat membacakan duplik atau jawaban atas tanggapan jaksa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu, 30 Mei 2018.
"Tapi kalau dikaitkan dengan kasus-kasus semacam itu (teror), dalam persidangan satu pun tidak ada saksi yang menyatakan keterlibatan saya," tambahnya.
Aman sebelumnya dinilai jaksa penuntut umum (JPU) mendalangi dan menggerakkan serangkaian teror di Indonesia sepanjang 2016 hingga 2017.
Aksi itu mulai dari serangan di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat; pelemparan bom ke Gereja Oikumene di Samarinda, Kalimantan Timur; bom bunuh diri di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur; penembakan polisi di Bima, Nusa Tenggara Barat; hingga pembunuhan polisi di Mapolda Sumatera Utara.
Semua aksi tersebut dilancarkan Aman dari balik jeruji penjara di Nusakambangan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Ihwal yang kemudian membuat jaksa menuntut mati dirinya, Jumat dua pekan lalu.
Tetap hukuman mati
Sebelum Aman membacakan dupliknya dalam persidangan yang dijaga ketat aparat kepolisian bersenjata, jaksa terlebih dahulu diberi kesempatan membacakan replik atau respons atas pembelaan Aman di persidangan sebelumnya.
Kala itu, Aman menilai dirinya dikriminalisasi aparat hukum dan pemerintah Indonesia karena dikaitkan dengan beberapa aksi teror. Padahal, akunya, dia sama sekali tidak mengetahui insiden-insiden tersebut.
Terkait pembelaan Aman, jaksa Anita Dewayani, tidak sependapat.
Ia mengatakan, rangkaian teror yang terjadi sejatinya terkoneksi dengan Aman melalui JAD (Jamaah Ansharut Daulah), jaringan kelompok militan yang telah berbaiat kepada Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), yang sengaja dibentuk oleh terdakwa.
"Bukan suatu kebetulan," kata Anita, "apalagi terdakwa juga mengeluarkan imbauan tertulis yang beredar di media sosial pada 2015."
Imbauan Aman tersebut berisi soal seruan berjihad di tempat masing-masing, jika tidak mampu hijrah ke Suriah. Mulai dari jihad dalam bentuk dorongan semangat hingga menyumbangkan harta.
"Seruan tersebut telah menghasut dan memprovokasi para pengikutnya untuk melakukan jihad, sehingga terjadilah peristiwa bom dan pembunuhan," tambah jaksa.
Walhasil, tim jaksa meminta majelis hakim untuk menolak keseluruhan nota pembelaan yang disusun Aman dan kuasa hukumnya, serta mengabulkan tuntutan hukuman mati.
"Berdasarkan teori hukum, seorang penggerak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana jika yang digerakkan telah melakukan pidana," pungkas jaksa Anita.
Adapun kuasa hukum Aman, Asludin Hatjani, menilai jawaban jaksa mengada-ada.
Pasalnya, ujar Asludin, tidak pernah ada fakta persidangan yang menunjukkan bahwa kliennya terlibat dalam teror-teror seperti didakwakan.
"Beliau (Aman) hanya menganjurkan pengikutnya untuk hijrah, bukan dengan cara menebar teror di negara sendiri," kata Asludin, seusai persidangan.
Larangan teror itu, lanjutnya, sudah tergambar lewat pernyataan Aman di persidangan sebelumnya yang menilai serangan teror baru-baru ini di Surabaya, Jawa Timur, tidak sejalan dengan pemahamannya.
"Kejadian di Surabaya itu, yang melakukan atau merestuinya, adalah orang-orang yang sakit jiwa," terang Aman dalam persidangan Jumat pekan lalu.
Vonis usai Lebaran
Setelah mendengar pembelaan Aman dan tanggapan jaksa, persidangan akan memasuki tahap akhir yakni pembacaan putusan oleh majelis hakim. Menurut rencana, pembacaan vonis akan digelar pada Jumat, 22 Juni mendatang.
"Sidang setelah Lebaran, pukul 09.00 WIB," kata Ketua Hakim Akhmad Jaini.
Mengenai harapan untuk vonis nanti, Asludin enggan berkomentar lebih lanjut.
"Kami serahkan kepada majelis hakim untuk mengungkap fakta yang ada selama persidangan," tuturnya.
Bagi Aman, vonis nanti akan menjadi hukuman ketiga terkait tindak pidana terorisme sepanjang hayatnya.
Pada Februari 2005, dia dihukum tujuh tahun penjara setelah sebuah bom rakitan meledak di rumah kontrakannya di Cimanggis, Depok, Jawa Barat.
Ia bebas setelah mendapatkan remisi, tapi kembali ditangkap aparat Detasemen Khusus Antiteror 88 pada awal 2010, dan selanjutnya divonis sembilan tahun penjara atas keterlibatan dalam pelatihan militer kelompok Jamah Islamiyah di Aceh.
Namun ketika hendak menghirup udara bebas pada Agustus 2017 — setelah mendapat remisi, ia kembali ditangkap dan diseret ke pengadilan.
Ketika terjadi kerusuhan di penjara Mako Brimob Depok pada 8 -10 Mei lalu, bertemu dengan Aman yang dipenjara di blok terpisah, menjadi salah satu persyaratan yang diajukan para narapidana terorisme dalam negosiasi dengan polisi.
Kerusuhan yang dilakukan oleh 155 narapidana tersebut menewaskan lima polisi dan seorang narapidana. Seorang polisi juga sempat disandera dalam bentrokan yang berlangsung lebih dari 30 jam tersebut.