Amien Rais: Setiap Kejadian Cari Sebabnya

Tokoh reformasi ini mengungkapkan pandangannya tentang berbagai hal setelah 20 tahun reformasi.
Nisita Kirana Pratiwi
2018.05.18
Jakarta
180518_ID_AmienRais_1000.jpg Amien Rais saat diwawancara di kediamannya di kawasan Gandarai, Jakarta Selatan, 15 Mei 2018.
Nisita Kirana Pratiwi/BeritaBenar

Amien Rais (74) dikenal sebagai sosok yang kerap melontarkan kritikan keras terhadap pemerintah. Bukan hanya sekarang, tetapi jauh menjelang tumbangnya pemerintahan Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun.

Bersama gerakan mahasiwa, reformasi didengungkan. Bersama tokoh-tokoh lain, Amien mengeluarkan dua isu yaitu turunkan Soeharto dan tolak Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN). Amien pun disebut sebagai “Bapak Reformasi.”

Setelah Orde Baru tumbang dan pemilu yang diikuti banyak partai politik digelar, Amien didapuk sebagai Ketua Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR) periode 1999-2004. Lima tahun kemudian, dia mencalonkan diri sebagai presiden, tapi kalah dari Susilo Bambang Yudhoyono.

Di usia senja, mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan juga salah satu pendiri Partai Amanat Nasional (PAN) itu tetap semangat dan kadang ikut turun ke jalan, terutama saat “Aksi Bela Islam” yang digelar berjilid-jilid pada 2016 menyusul pernyataan Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama yang dianggap menghina Alquran.

Selasa, 15 Mei 2018, Amien menerima BeritaBenar di kediamannya di daerah Gandarai, Jakarta Selatan. Banyak hal diceritakan mulai dari tantangan setelah 20 tahun reformasi hingga alasannya mengkritik pemerintah. Berikut petikannya:

Apa kegiatan dan kesibukan Anda selama ini?

Sekarang saya penasihat di sebuah sekolah pendidikan anak-anak di Yogyakarta dan Jakarta. Di usia saya yang lanjut tidak lagi berpolitik, kadang-kadang saya nongol lagi kalau perlu.

Sebagai tokoh bergelar “Bapak Reformasi”,  bagaimana Anda melihat Indonesia setelah 20 tahun?

Saya melihat dengan rasa syukur kepada Allah, karena reformasi sudah membawa bangsa ini ke era di mana pembangunan lebih cepat lagi.

Dulu ketika sentralisasi kekuasaan, gubernur, walikota dan bupati tidak punya kewenangan apa-apa, semua tergantung pusat. Sekarang daerah mampu membangun perumahan, perkantoran pelabuhan, jalan yang mulus, bandara dan lain sebagainya.

Kemudian dulu ada dwi fungsi ABRI, seperti kata teman saya Hary Sabarno bahwa TNI akan mundur seperti caranya Matahari. Waktu itu mereka siap mental dulu, lalu didrop dan tidak ada lagi di DPR. Ini juga kebaikan reformasi. Selanjutnya kebebasan berbicara, sekarang kan sudah kita nikmati.

Sesungguhnya kemajuan Indonesia juga terasa bahwa kita sudah join in, ikut dengan gelombang globalisasi, dan saya lihat betul-betul otak Indonesia tidak kalah dengan mereka. Seperti Olimpiade Sains, Matematika, Biologi, kita dapat nomor satu.

Kemudian yang kita syukuri juga bahwa kesadaran berRepublik, ber-NKRI itu makin jelas, apalagi setelah Timtim (Timur Leste) hilang.

Amien Rais (tengah) menutup mulutnya dari gas airmata yang ditembak polisi di kampus Universitas Trisakti, Jakarta, 13 Mei 1989. (AFP)
Amien Rais (tengah) menutup mulutnya dari gas airmata yang ditembak polisi di kampus Universitas Trisakti, Jakarta, 13 Mei 1989. (AFP)
AFP /Choo Youn-Kong

Apakah tuntutan reformasi sudah tercapai?

Masih ada yang belum. Pemulihan ekonomi, pengangguran masih berat, kemiskinan masih meluas, utang makin menggunung, ketergantungan terhadap luar negeri juga makin hebat.

Infrastruktur yang kita kagumi, tapi uangnya kan dari luar negeri, seperti membangun bandara juga utang dari luar. Ini dilematis. Kalau mau utang boleh asal jangan terlalu banyaklah. Jadi ada batasnya.

Apa tantangan terbesar yang dihadapi bangsa ini?

Kalau sekarang ini beralihnya kedaulatan ekonomi kita ke tangan kelompok tertentu, ya teman-teman pengusaha dari dalam negeri sendiri berlatar belakang China. Misalnya, ada empat orang paling kaya, kekayaannya sama dengan 100 juta rakyat miskin. Inikan ugal-ugalan. Orang kaya dibela, orang miskin ditinggalkan dan hanya untuk tontonan, itu tidak boleh.

Korupsi masih merajalela, kenapa hal itu bisa terjadi?

Korupsi itu, yang paling besar mesti di pusat kekuasaan. Bukan korupsi yang paling besar itu terjadi di Papua, Pacitan atau Manado tapi sekitar kepresidenan. Karena itu ayo yang di pusat kasih contoh, bersihkan dulu Istana dan sekelilingnya.

BLBI [skema pinjaman yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas] ratusan triliun aman, karena dulu orang yang melindungi ada di Istana. Bank Century juga tidak bisa apa-apa, Rumah Sakit Sumber Waras, Reklamasi Teluk Jakarta tidak diapa-apakan, karena dekat dengan Istana. Tidak hanya di Indonesia, di mana-mana baik di India, Meksiko, Brazil seperti itu.

Dimana kelemahan penegakan hukum selama ini?

Sekarang hukum bukan lagi seperti Dewi Fortuna, tapi hukum sudah diambil alih oleh kepentingan politik. Mana ada KPK berani membedah korupsi yang triliunan karena di situ ada kekuasaan. Sekarang cuma bupati, sekda di-OTT (operasi tangkap tangan) yang sebetulnya bukan tugas KPK. OTT hanya dagelan supaya rakyat terhibur.

Bagaimana Anda melihat politik identitas?

Sudah terkait nature manusia. Amerika yang sangat super identitas adalah negara yang super demokrasi. Saya 7 tahun di AS, di sana demokrasi penuh dengan rasialisme, penuh diskriminasi. Kalau kau kulit putih its okay, if you are kulit coklat, you stay around, kamu tidak boleh maju, if you are black, kamu mundur. (Barack) Obama hanya sisipan saja dan kembali lagi, Trump itukan antihitam dan rasis banget.

Kalau di Indonesia menggunakan kaidah-kaidah identitas, misalnya orang Islam, pantas dong memilih pemimpin Muslim, lebih aman, dapat dipercaya, tidak boleh orang Islam memilih pemimpin yang bekas PKI. Jadi itu tidak bagus.

Seiring bangkitnya Islam di Indonesia, tetapi di sisi lain intoleransi dan radikalisme juga muncul, tanggapan Anda?

Karena dimulai. Islam itu, ajarannya tidak boleh intoleran. Tapi kalau didahului dihina, Al Maidah 51, si Ahok yang penista agama menghina, kami bangkit. Ulama dibunuh, masjid dirusak, kami tidak bodoh. Semua ini ada yang memulai.

Kenapa partai politik berbasis Islam sulit bersatu?

Coba lihat partai berbasis nasionalis, Gerindra, Demokrat, PDIP katanya Bung Karno, jadi mereka menuding diri sendiri. Di sini, partai Islam jadi partai sekuler, juga saling berebut jabatan, berebutan posisi sehingga pecah belah.

Anda sering mengeluarkan kritikan keras terhadap Jokowi. Apa ada sentimen pribadi?

Tidak… tidak, semua saya kritik. Cuma kritik saya terukur. Misal pada Pak SBY saya kritik, saya pakai yang ringan. Saat Gus Dur saya katakan begini ‘Gus jangan lagi pakai Bendera Papua, berbahaya’.

Tapi yang ini bukan lagi jep, kadang-kadang hook, karena sudah terlalu sekali. Sekarang penguasa ekonomi sudah mencekik politik, saya khawatir kalau diteruskan.

Saya dikatakan cari popularitas, wah saya sudah populer kok, saya sudah dimuliakan jadi ketua lembaga tertinggi negara (MPR).

Terkait terorisme dan teror bom, komentar Anda?

Kalau jaman Ali Moertopo, terorisme di-create. Sekarang bisa kreasi dari kekuasaan yang bingung atau ada orang-orang merasa frustasi pendidikan agama yang ekstrem.

Tapi apapun, setiap kejadian cari sebabnya, mengapa terjadi terorisme, mengapa rakyat demo, pasti ada sebabnya. Mengapa tiba-tiba orang mengamuk, harus dicari akarnya.

Harapan Anda setelah reformasi berjalan 20 tahun?

Saya ingin melihat dengan jernih, saya yakin Indonesia bangsa yang dirahmati Allah. Jadi banyak loh bangsa yang sudah pecah. Saya melihat Indonesia, Insya Allah, tiap kali akan hancur kita akan kembali kuat lagi.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.