Amnesty International: Pemerintah Gagal Lindungi Waria di Aceh
2018.02.15
Banda Aceh

Pemerintah benar-benar telah gagal melindungi wanita pria (waria) yang diperlakukan sewenang-wenang dan dipermalukan setelah ditangkap polisi di Aceh Utara, 27 Januari lalu, sehingga ada yang harus bersembunyi karena khawatir akan keselamatan mereka, kata Amnesty International (AI) Indonesia.
Namun, Pemerintah Aceh menyatakan, yang dilakukan Kapolres Aceh Utara terhadap 12 waria itu adalah “salah satu upaya pembinaan bidang akhlak dimana dalam syariat Islam seorang pria dilarang berperilaku seperti wanita dan sebaliknya.”
Dalam pernyataan yang dirilis, Rabu, 14 Februari 2018, AI menyebutkan pihaknya telah mewawancara beberapa waria di lokasi rahasia dekat Aceh, usai mereka melarikan diri dan kehilangan pekerjaan sementara, juga menderita penganiayaan fisik dan verbal dari anggota keluarga serta masyarakat setelah “dibina untuk kembali menjadi laki-laki”.
Menurut AI, mereka berbicara secara rinci tentang pengalaman mengerikan saat polisi bersenjata lengkap menggerebek salon tempat mereka bekerja, dipermalukan di depan umum dan dipotong rambut mereka sebagai upaya "menyingkirkan transgender dari Aceh".
"Wanita transgender ini tak hanya ditangkap dan diperlakukan sewenang-wenang oleh polisi, tanpa alasan selain menjadi diri sendiri, beberapa dari mereka sekarang masih menderita karena kehilangan pekerjaan dan harus meninggalkan rumah. Ini kegagalan total pemerintah dalam melindungi hak asasi mereka," kata Direktur Eksekutif AI Indonesia, Usman Hamid.
Dia mendesak Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk menginstruksikan Mabes Polri agar memerintahkan polisi Aceh Utara berhenti menangkap dan mulai melindungi para waria itu jika mereka mendapat ancaman dan intimidasi dari masyarakat.
“Bersama aparat berwenang lain, polisi harus memastikan ke-12 waria itu segera diberi perlindungan yang dibutuhkan dan bisa kembali selamat ke rumah dan mendapatkan lagi pekerjaan mereka."
Kabid Humas Polda Aceh, Kombes. Pol. Misbahul Munauwar yang dikonfirmasi BeritaBenar menegaskan, “Polda Aceh mendukung Pemerintah Aceh dalam menertibkan penyakit masyarakat. Itu statemen yang sudah disampaikan. Udah selesai sampai di situ.”
Terkait hasil investigasi tim Profesi dan Pengamanan (Propam) yang memeriksa Kapolres Aceh Utara, AKBP Ahmad Untung Surianata, Misbahul menyebutkan, tim sudah bekerja dan laporannya diserahkan kepada Kapolda Aceh.
“Apa hasilnya, ya Kapolda. Nanti kan, belum ada penyampaian. Tidak semua yang dilakukan internal itu harus di-publish,” ujar Misbahul.
‘Hidup dalam ketakutan’
Usman menyebutkan saat berbicara dengan AI, para waria mengakui mengalami trauma dan beberapa dari mereka dalam perjalanan untuk mencari tempat lebih aman di daerah lain di Indonesia karena “mereka hidup dalam ketakutan, dimana polisi dapat datang kapan saja untuk menangkap mereka”.
Beberapa waria saat ditemui BeritaBenar di Banda Aceh mengaku mereka takut dengan kondisi belakangan ini, apalagi setelah aksi demonstrasi aktivis organisasi massa Islam di Banda Aceh pada 2 Februari lalu, untuk mendukung Kapolres Aceh Utara dan menolak Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT).
“Takut kalau keadaan sudah begini. Dari pada ngak nyaman, mendingan di rumah saja,” tutur seorang waria berumur 33 tahun yang menolak dituliskan namanya karena alasan keamanan.
“Untuk sementara, saya menghindari keluar malam karena khawatir terjadi hal-hal yang tak diinginkan.”
Perasaan sama juga dikatakan dua waria berusia 42 dan 27 tahun yang membuka salon di pinggiran Banda Aceh.
“Mau gimana lagi, saya harus bekerja yang halal. Dari pada jadi pencuri, atau pengedar narkoba, lebih baik bekerja di salon,” kata seorang dari mereka.
Meski khawatir, mereka belum berniat meninggalkan Aceh. Mereka mendengar kabar sejumlah waria sudah keluar daerah menyusul penangkapan di Aceh Utara.
‘Tidak sesuai syariat Islam’
Kepala Biro Humas dan Protokol Pemerintah Aceh, Mulyadi Nurdin ketika dikonfirmasi, Kamis, terkait pernyataan AI mengatakan Aceh sebagai daerah yang menerapkan syariat Islam mengharuskan warga dan pendatang untuk menghormati nilai-nilai syariat Islam.
“Bagi lembaga asing yang ikut melakukan kajian dan pengamatan terhadap penegakan syariat Islam di Aceh supaya objektif dalam melakukan penilaian, bukan hanya membela korban sepihak, tetapi juga harus menghormati penegakan hukum, sosial, dan budaya di Aceh,” katanya.
“Pastinya masing-masing daerah memiliki kekhususan dan budaya yang berbeda dengan daerah lain. Persoalan LGBT mendapat penolakan yang kuat dari masyarakat Aceh.”
Menurut Mulyadi, ‘pembinaan’ terhadap 12 waria yang dilakukan Kapolres Aceh Utara, “sudah sejalan dengan norma hukum yang berlaku di Aceh.”
“Bagi Aceh, LGBT tidak sesuai dengan budaya dan syariat Islam, sehingga jika ada orang yang melakukannya akan dilakukan pencegahan dan pembinaan, sesuai aturan berlaku,” imbuhnya.
“Jadi tidak ada yang perlu dibesar-besarkan. Bagi warga yang telah terbukti melakukan pelanggaran syariat akan diproses secara hukum.”
Larangan kerja di salon
Sementara itu, Bupati Aceh Besar, Mawardi Ali telah mengeluarkan instruksi yang isinya melarang waria mengelola salon dan rumah kecantikan di daerahnya karena dianggap sebagai LBGT.
“Kita sudah sampaikan ke semua supaya tidak ada LBGT, tidak ada rumah kecantikan yang dikelola waria. Kita sosialisasi dulu selama sebulan. Setelah itu baru penegakan,” katanya kepada BeritaBenar.
Apabila ditemukan ada waria yang bekerja di salon atau rumah kecantikan, jelasnya, tim Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah/Polisi Syariah melakukan pembinaan – baik di lokasi maupun dibawa ke kantor polisi syariah.
“Pembinaan dilakukan secara kemanusiaan, tidak memaksa dan minta mereka jangan seperti itu. Jangan lagi dengan perilaku menyimpang,” katanya.
Mawardi menambahkan jika Maret nanti masih ditemukan salon atau rumah kecantikan memperkerjakan waria, izin usahanya akan dicabut.
Dia juga mengakui pada Januari lalu ada sebuah salon ditutup oleh pemiliknya setelah didatangi pemuda desa yang tak bisa menerima keberadaan waria di kampung mereka.