Anak-anak Peserta Latihan di Suriah Potensi Ancaman
2016.03.04
Jakarta

Anak-anak Indonesia berusia tujuh hingga belasan tahun yang kini diyakini sedang berlatih sebagai pejuang militan kelompok radikal Negara Islam (ISIS) di Suriah berpotensi menjadi ancaman keamanan pada masa depan setelah mereka kembali ke tanah air saat sudah dewasa nanti.
Hal ini dikatakan Ketua Forum Komunikasi Alumni Afghan Indonesia (FKAAI) Ahmad Sajuli dalam acara pelatihan akreditasi Certified Counter Terrorism Practitioner (CCTP) cabang Indonesia, Kamis, 3 Maret 2015.
Sebagai mantan pejuang di Afganistan awal 1980-an selama tiga tahun, Ahmad dapat memahami potensi ancaman yang dapat ditimbulkan oleh mereka yang pernah ikut pelatihan paramiliter kelompok bersenjata di luar negeri.
"Ketika sudah dewasa, mereka akan kembali dengan mengganti identitas. Mereka tidak langsung kembali ke Indonesia namun akan masuk melalui negara ketiga, misalnya Malaysia atau melalui cara-cara ilegal, seperti yang saya dulu lakukan dengan naik perahu," ujarnya.
Ahmad, yang pernah menjadi anggota Jemaah Islamiyah, tinggal di Malaysia selama 20 tahun. Kemudian, pemerintah negeri jiran itu mendeportasinya ke Indonesia. Di tanah air, dia dihukum lima tahun penjara atas tuduhan terlibat terorisme.
Ahmad sempat memperlihatkan anak-anak – yang menurut dia berasal dari Indonesia – sedang melakukan pelatihan paramiliter di Suriah. Jumlah anak-anak dalam video tersebut diperkirakan berjumlah 20-an orang.
Tetapi jumlah pasti anak-anak Indonesia yang ikut bersama orang tua mereka hidup di Suriah tidak ada angka resmi. Diperkirakan jumlah mereka mencapai puluhan orang.
Apalagi sebelumnya pada pertengahan Februari lalu, Presiden Joko “Jokowi’ Widodo sempat menyatakan warga Indonesia yang pergi ke Suriah berjumlah 329 orang. Angka itu, menurut dia, relatif kecil dibandingkan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 252 juta.
Dalam beberapa kasus warga Indonesia yang ditangkap di luar negeri ketika hendak pergi ke Suriah, sering ditemukan anak-anak ikut bersama orang tua mereka. Dalam kasus terakhir yang ditangkap di Singapura pada 21 Februari lalu, juga terdapat anak-anak.
Direktur Perlindungan Warga Negara dan Badan Hukum Indonesia, Lalu Muhammad Iqbal, Selasa pekan lalu, menyatakan bahwa terdapat 217 warga Indonesia yang telah ditangkap di luar negeri karena diyakini ingin bergabung dengan kelompok IS.
Revisi UU Terorisme
Potensi ancaman seperti dikhawatirkan Ahmad ini tercantum dalam pasal 12B yang merupakan salah satu usulan pasal baru dalam revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Terorisme).
Pasal itu berbunyi, "Setiap orang yang menyelenggarakan, memberikan, atau mengikuti pelatihan militer, pelatihan paramiliter, atau pelatihan lain, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dengan maksud merencanakan, mempersiapkan, atau melakukan tindak pidana terorisme, atau merekrut, menampung, atau mengirim orang untuk mengikuti pelatihan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 15 tahun."
Lembaga pemerhati demokrasi dan perdamaian Setara Institute mengatakan bahwa pasal 12B adalah bagian dari perluasan bentuk-bentuk tindak pidana terorisme.Tapi pasal ini juga dianggap menggambarkan adanya kriminalisasi berlebih yang berpotensi mengancam kebebasan berekspresi.
"Karena itu, akuntabilitas penindakan dugaan tindak pidana terorisme menjadi kata kunci untuk memastikan pemberantasannya supaya tidak melanggar hak asasi manusia," ujar Hendardi, Ketua Setara Institute dalam siaran pers yang diterima BeritaBenar, Jumat.
Perlu pengawasan
Untuk menjaga akuntabilitas penindakan terhadap terduga teroris dan operasi penanggulangan terorisme, Setara Insitute mengusulkan agar pemerintah mempertimbangkan mekanisme pengawasan bagi kinerja pemberantasan terorisme, termasuk mempertegas peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos mengatakan selama ini tidak ada struktur pengawasan atas kinerja BNPT atau lembaga lain yang terlibat dalam upaya pemberantasan terorisme.
Selain itu juga tidak ada mekanisme yang dapat dipertanggungjawabkan untuk memastikan operasi Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri dalam pemberantasan terorisme sudah akurat sesuai peraturan perundang-undangan atau belum, katanya.
Apalagi, tambah Bonar, selama ini berdasarkan laporan masyarakat sering terjadi salah tangkap terhadap mereka yang diduga terlibat tindak terorisme atau penggunaan kekuatan yang berlebihan.
"Perlu dibentuk komisi pengawas yang khusus mengawasi lembaga-lembaga pemerintah yang bekerja menangani tindak pidana terorisme," ujar Bonar kepada BeritaBenar, 4 Maret 2015.
Menurut dia, hal ini perlu untuk memastikan tidak ada pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam penanggulangan terorisme. Tindakan represif dan melanggar HAM dapat memicu reproduksi pelaku teroris baru, akibat kinerja aparat hukum dalam menangani kasus-kasus terorisme yang tidak adil dan tak akuntabel.
"Ada kesan teroris yang sudah dipidana atau diperiksa malah semakin keras karena merasa diperlakukan semena-mena. Ini potensi reproduksi aktor baru, yang timbul dari lingkungan atau keluarga pelaku teror atau mereka-mereka yang mempunyai peranan kecil dalam tindakan teror," ujar Bonar.
"Apalagi ada usulan penambahan masa penahanan. Ini potensi melanggar hak sipil," tambahnya.
Draft revisi UU Terorisme pasal 28 mengubah limitasi waktu penahanan dari tujuh hari menjadi 30 hari sebelum seseorang ditetapkan menjadi tersangka tindak pidana terorisme.
"Kita semua setuju untuk memerangi terorisme tapi jangan menggunakan kewenangan yang berlebihan," ujarnya.
Pengamat masalah terorisme Rakyan Adibrata juga mengatakan revisi UU Terorisme berpotensi hanya memperkuat satu lembaga saja yaitu polisi.
Menurutnya, usulan revisi UU Terorisme tak mempertimbangkan keberadaan UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara dan tidak ada jembatan penghubung antara peran intel polisi dan intel Badan Intelijen Negara (BIN).
"Bila revisi ini sampai disahkan, akan menjadi hal yang konyol. Seharusnya undang-undang ini menjadi undang-undang yang menjamin adanya check and balance," kata Rakyan.