YLBHI: Aparat di Balik Penyerangan Jemaah Ahmadiyah di Lombok Timur

Ketika Indonesia tengah menikmati kebebasan era reformasi, pengikut Ahmadiyah justru mendapat perlakuan diskriminasi.
Zahara Tiba
2018.06.06
Jakarta
180606_ID_ahmadi_1000.jpg Tim YLBHI dan GP Ansor memotret rumah jemaah Ahmadiyah yang dirusak massa di Desa Greneng, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 17 Mei 2018.
Dok. YLBHI

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan GP Ansor menyebut pemerintah daerah dan aparat keamanan bertanggung jawab atas penyerangan dan perusakan rumah jemaah Ahmadiyah di Desa Greneng dan Desa Montong Tangi, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), Mei 2018 lalu.

Kesimpulan ini diumumkan YLBHI dan GP Ansor dalam keterangan pers di Jakarta, Rabu, 6 Juni 2018, terkait hasil temuan tim gabungan pencari fakta kedua organisasi selama empat hari, mulai 27 Mei lalu.

“Awal Mei, tiga penganut Ahmadiyah di Montong Tangi menjadi korban persekusi. Mereka lantas diundang Kapolres dan kepala desa setempat dan diminta bertobat,” kata Muhammad Isnur, Ketua Bidang Advokasi YLBHI dalam kesempatan tersebut.

“Sementara di Greneng, sejumlah rapat digelar warga pada Februari di depan masjid. Dalam rapat itu, warga menyepakati jemaah Ahmadiyah harus diusir dari kampung,” tambahnya, seraya menyebutkan rencana itu sudah ada sejak tahun 2017.

Pada 19 – 20 Mei 2018 sekelompok massa menyerang dan merusak sembilan rumah dalam tiga kali penyerangan. Akibatnya 24 penduduk dievakuasi polisi dan hingga kini masih ditampung di sebuah balai latihan kerja.

“Kenapa didiamkan ketika penyerangan pertama terjadi. Ketika ada peristiwa seperti itu, polisi seharusnya cepat mencari provokator dan pelaku. Ini sudah 19 hari, tidak ada pelaku ditangkap. Kami khawatir ini seperti peristiwa-peristiwa penyerangan lain dimana pelaku tidak ditangkap,” papar Isnur.

Ditambahnya bahwa mediasi di Mapolres Lombok Timur berujung pada petugas kepolisian yang justru menyalahkan mereka karena menganut keyakinan Ahmadiyah.

Mediasi berlanjut di Kodim pada 21 Mei dan dihadiri sejumlah pejabat negara seperti Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) dan Penanggung Jawab Sementara Bupati Lombok Timur.

“Kajari justru menyalahkan Jemaah Ahmadiyah. Kajari bahkan menanyakan soal shalat lima waktu dan syahadat,” ujar Isnur.

Penyelidikan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), lanjut Isnur, juga terkesan dilakukan setengah hati karena tim hanya berada di lapangan kurang dari 30 menit.

“Korban kecewa. Bagaimana mau dapat fakta sebenarnya dari korban kalau polisi saja tidak berbuat lebih,” tutur Isnur.

“Kalau pemerintah bersikap tegas dan bupati turun tangan, melarang penyerangan dan tidak melakukan persekusi, korban bisa dilindungi,” tambahya.

YLBHI telah mengirimkan hasil investigasi penyerangan atas Ahamdiyah bulan Mei tersebut kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Amnesty International (AI) untuk memberikan tekanan kepada pemerintah, khususnya Pemda NTB.

AI Indonesia dalam Siaran Pers tertanggal 2 Juni 2018 juga mengonfirmasi bahwa aparat berwenang terlibat dalam serangan terhadap Ahmadiyah.

“Pemerintah Indonesia harus memastikan bahwa insiden tersebut diselidiki dan pelaku - termasuk pejabat yang terlibat - dibawa ke pengadilan. Langkah-langkah konkret, termasuk perubahan pada hukum, keputusan, kebijakan dan pelaksanaannya, harus diambil untuk melindungi komunitas minoritas seperti Ahmadiyah dari diskriminasi, kekerasan, dan penggusuran paksa. masyarakat harus diizinkan untuk mempraktikkan iman mereka bebas dari diskriminasi dan ketakutan, demikian pernyataan AI.

Gubernur NTB Muhammad Zainal Majdi yang dikonfirmasi BeritaBenar terkait temuan YLBHI dan GP Ansor tidak menjawab panggilan. Begitu juga dengan Kapolda NTB, Brigjen Pol. Firli.

Pengikut Ahmadiyah menganggap dirinya bagian dari Islam. Namun demikian banyak kelompok Muslim yang tidak bisa menerima hal itu, seperti juga pemerintah, yang pada tahun 2008 menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, menyatakan Ahmadiyah sebagai ajaran menyimpang dan melarang komunitas itu menyebarkan aktivitas mereka.

Tim YLBHI dan GP Ansor bertemu warga di Desa Greneng, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 17 Mei 2018. (Dok. YLBHI)
Tim YLBHI dan GP Ansor bertemu warga di Desa Greneng, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 17 Mei 2018. (Dok. YLBHI)

Menyepelekan masalah

Direktur LBH GP Ansor, Abdul Qodir, mengatakan bahwa ketika Indonesia tengah menikmati kebebasan era reformasi, pengikut Ahmadiyah justru mendapat perlakuan diskriminasi oleh warga dan aparat negara.

“Perlu melihat latar belakang peristiwa. Kejadian itu diikuti hal-hal sepele menurut aparat. Ini menurut saya menyepelekan masalah,” katanya.

“Temuan kami, persoalan yang ada jauh lebih besar. Ada kebencian sudah lama terpendam di masyarakat yang bisa diaktivasi oleh kelompok-kelompok yg bisa memanfaatkannya.”

Ditambah lagi, lanjut Abdul, insiden yang terjadi banyak melibatkan anak-anak sebagai pelaku.

“Apakah ini modus atau strategi. Ketika masuk ranah hukum, aktor intelektualnya justru bisa lepas tangan. Kita harus cari tahu siapa pelaku yang memanfaatkan anak-anak untuk kekerasan,” papar Abdul.

GP Ansor, tambahnya, juga mengecam penggunaan masjid sebagai tempat pemufakatan jahat untuk menyerang sesama warga, dan bahkan melakukan provokasi dan persekusi terhadap jemaah Ahmadiyah.

“Kita cemas jika insiden-insiden kekerasan ini berlanjut karena kita masuk ke tahun-tahun politik. Saya khawatir kejadian-kejadian seperti ini akan direplikasi di daerah-daerah lain,” ujar Abdul.

Pola berulang

Wakil Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, mengatakan temuan-temuan tersebut memperlihatkan pola yang selama ini terjadi terulang kembali.

“Dari 2007, kami melihat Ahmadiyah paling rentan mendapat persekusi. Pemerintah daerah tak hanya gagal melindungi, namun terkadang jadi sponsor dalam aksi persekusi,” katanya.

“Ini kenapa problem kekerasan beragama terus terjadi, karena pemda jadi aktor terutama era otonomi daerah. Ada glorifikasi terhadap aksi kekerasan dan menyalahkan korban.”

Bonar meminta agar aparat keamanan, khususnya Kapolri, mau berupaya menghentikan diskriminasi tersebut.

“Harus diingat, diskriminasi ini bisa menjadi potensi radikalisme yang mengancam Pancasila. Ahmadiyah bagaimanapun juga sesama warga, harus dilindungi. Negara masih diskriminasi terhadap minoritas tertentu,” ujarnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.