AS Dialog dengan ASEAN, Singapura Batasi Akses Junta Myanmar ke Dana
2021.10.21
Bangkok, Kuala Lumpur dan Washington

Washington berdialog dengan anggota ASEAN, Singapura, tentang membatasi akses rezim militer Burma ke aliran dana, sebagai bagian dari upaya menekan pimpinan junta yang telah dilarang hadir dalam pertemuan puncak regional mendatang, demikian pernyataan seorang pejabat senior Departemen Luar Negeri AS, Kamis (21/10).
Keputusan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) pekan lalu untuk tidak mengundang kepala junta Min Aung Hlaing ke KTT mereka pada akhir Oktober, dan kemudian diikuti dengan dibebaskannya ribuan tahanan oleh militer Naypyitaw, menunjukkan betapa efektifnya tekanan internasional, demikian kata Penasihat Departemen Luar Negeri AS Derek Chollet kepada wartawan, dalam konferensi pers melalui telepon dari Jakarta.
Menteri luar negeri Malaysia juga mengatakan pada hari Kamis bahwa blok regional itu perlu menggunakan posisinya untuk menekan mereka yang melanggar hak asasi manusia – dan karena itu harus mengkaji kembali prinsip non-intervensi sesama anggota ASEAN.
“Memperdalam kemitraan dengan ASEAN adalah tujuan utama dari perjalanan kami, misalnya … Singapura memiliki pengaruh keuangan yang signifikan atas rezim (Junta Myanmar) dan kami membahas bagaimana kami dapat bermitra secara efektif dengan memanfaatkan pengaruh itu,” kata Chollet tentang lawatannya ke negara kota tersebut.
Chollet berada di Jakarta, sebagai bagian terakhir dari kunjungan tiga negara di Asia Tenggara bersama delegasi antar-lembaga Amerika, yang dipimpinnya.
“Di setiap negara, kami menegaskan kembali dukungan kami untuk rakyat Burma dan aspirasi mereka untuk demokrasi,” katanya kepada wartawan, “kami telah menggarisbawahi bahwa masyarakat internasional memiliki tanggung jawab untuk menekan rezim militer untuk menghentikan kekerasan dan menghormati kehendak rakyat. Ini adalah titik kritis dalam krisis.”
Saat mengunjungi Singapura, Chollet mentweet, dia mengadakan “pertemuan produktif” dengan Ho Hern Shin, wakil direktur pelaksana Otoritas Moneter Singapura.
“Kami membahas cara untuk membatasi akses rezim militer Burma ke aset keuangan luar negeri,” katanya.
Singapura menyalip China untuk menjadi investor terbesar di Myanmar pada 2019, demikian laporan The Myanmar Times saat itu. Dari Oktober 2018 hingga Februari 2019, Singapura menginvestasikan US$20,6 miliar di sana, menurut lembaga pemerintah bernama Enterprise Singapore.
Chollet juga mencontohkan kerjasama AS dengan Thailand yang memiliki perbatasan dengan Myanmar.
“Thailand adalah mitra bantuan kemanusiaan yang penting karena perbatasannya yang panjang dengan Burma dan ini menjadi salah satu hal yang kami diskusikan di Thailand,” katanya.
Selain itu, Washington, selama beberapa bulan ini, telah mengadakan pembicaraan dengan anggota Pemerintah Persatuan Nasional sipil bayangan (NUG) di Myanmar, kata Chollet.
“Kami sangat berkomitmen untuk terlibat dengan mereka … mendorong mereka untuk menyatukan gerakan [pro-demokrasi]. Dan kami akan terus terlibat dengan mereka.”
ASEAN harus melakukan 'pencarian jati diri'
Sementara itu, di Amerika, seorang anggota senior Dewan Keamanan Nasional AS (NSC) mengatakan bahwa, selain keputusan ASEAN untuk melarang kepala junta Burma hadir di KTT pada 26-28 Oktober, tindakan lebih lanjut perlu diambil untuk menanggapi tantangan pascakudeta di Myanmar secara efektif.
“Tentu saja, kami memuji ASEAN atas kepemimpinan yang telah ditunjukkannya, tetapi jelas ini tidak cukup,” Edgard Cagan, direktur senior Asia Timur dan Oseania di NSC, mengatakan dalam sebuah acara di Pusat Studi Strategis dan Internasional di Washington, Rabu malam.
“Mengatasi tantangan kudeta dan kesulitan yang dihadapi karena kudeta, hal-hal itu membutuhkan upaya yang lebih luas dan lebih efektif.”
Cagan tidak merinci upaya apa yang bisa dilakukan. Tetapi banyak analis mengatakan bahwa ASEAN harus menangguhkan keanggotaan Myanmar, menghentikan perdagangan dengannya – dan tidak mengambil langkah-langkah seperti melobi untuk mempermudah resolusi PBB yang menyerukan embargo senjata di negara itu.
Memang, ada kritik terhadap ASEAN, bahkan dari dalam anggotanya sendiri, tentang lambatnya pengambilan keputusan dan karena butuh lebih dari 100 hari bagi blok tersebut untuk menunjuk utusan khusus ke Myanmar.
Dalam beberapa minggu terakhir, Menteri Luar Negeri Malaysia Saifuddin Abdullah telah berterus terang tentang kkeurangan ASEAN dan apa yang perlu dilakukan.
Pada hari Kamis, dia mengatakan bahwa “prinsip keramat” ASEAN untuk tidak mencampuri urusan internal negara-negara anggotanya “dalam banyak situasi, berguna dan praktis.”
“Tetapi ketika kita dihadapkan pada situasi seperti yang terjadi di Myanmar saat ini, maka mungkin ASEAN harus benar-benar melakukan ‘pencarian jati diri’,” katanya.
Saifuddin mengacu pada kekerasan yang terjadi setelah kudeta oleh pasukan keamanan yang telah menewaskan hampir 1.180 orang, kebanyakan dari mereka adalah pengunjuk rasa pro-demokrasi.
“Mungkin sekarang saatnya bagi ASEAN untuk melakukan soul searching secara serius atas penerapan prinsip non-interferensi dan melihat pengalaman lain dari kawasan lain,” ujarnya. Saifuddin mengutip Uni Afrika, yang menangguhkan anggotanya Mali setelah kudeta militer di sana pada akhir Mei.
Saifuddin mengatakan bahwa pada pertemuan minggu lalu dengan rekan-rekan ASEAN-nya, beberapa negara anggota telah menunjukkan keengganan atas isu pengucilan Min Aung Hlaing.
“Saya menyatakan fakta bahwa kita tidak dapat menggunakan prinsip non-intervensi sebagai tameng untuk menghindari masalah yang ditangani,” kata Saifuddin.
“Prinsip non-intervensi tidak dapat diterapkan secara terpisah dari, atau di atas, prinsip-prinsip ASEAN lainnya untuk memperkuat demokrasi, mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia, pemerintahan yang baik, dan supremasi hukum.”
Pada tahun-tahun sebelumnya, anggota ASEAN telah berbicara tentang “keterlibatan konstruktif” daripada non-interferensi, kata para analis regional.
“Saya pikir ASEAN mulai menjauh dari non-intervensi yang ketat, tetapi … para anggota baru mungkin merasa terintimidasi jika ASEAN memilih untuk ‘menghukum’ Myanmar,” Tunku Mohar Mokhtar, seorang akademisi di Universitas Islam Internasional Malaysia, mengatakan kepada BenarNews.
“Namun, ASEAN juga harus menjelaskan kepada Myanmar bahwa asosiasi tersebut tidak mentolerir pelanggaran hak asasi manusia secara terang-terangan oleh salah satu anggotanya.”
Namun, poin terbesar dalam proses pengambilan keputusan ASEAN tetap pada prinsip “konsensus” – semua keputusan yang diambil oleh blok tersebut harus disetujui oleh semua anggota.
“Masalahnya adalah pada mekanisme itu sendiri, karena seperti yang kita ketahui, untuk mereformasi ASEAN perlu konsensus di antara semua anggota, termasuk negara-negara yang tidak ingin berubah. Karena itu, tidak mungkin tercapai konsensus.”
“Ini ironi – untuk mengubah sistem Anda membutuhkan orang-orang dalam sistem yang ingin berubah. Inilah kesulitannya.”