AS Menguatkan Sikapnya di Laut Cina Selatan, Sebut Klaim Cina Ilegal

Washington melibatkan diri dalam sengketa antara Beijing dan negara-negara Asia Tenggara dengan alasan hukum internasional
Drake Long
2020.07.13
Washington
200713-pompeo-620.jpg Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo saat jumpa pers di Kementerian Luar Negeri AS di Washington, AS, 1 Juli 2020.
AP

Amerika Serikat mengumumkan sikap yang lebih keras terhadap klaim Cina di Laut Cina Selatan pada hari Senin, dengan menyatakan klaim tersebut ilegal dan menuduh Beijing memperlakukan perairan sengketa tersebut sebagai "kerajaan maritim."

Menteri Luar Negeri Mike Pompeo mengatakan dalam pernyataannya bahwa "tidak ada dasar hukum" atas klaim ekspansif maritim Cina. Pompeo juga secara resmi menyelaraskan posisi AS dengan keputusan pengadilan internasional pada 2016 atas sengketa antara Filipina dan Cina .

"Dunia tidak akan membiarkan Beijing untuk memperlakukan Laut Cina Selatan sebagai kerajaan maritimnya," kata Pompeo. "Amerika mendukung sekutu dan mitra kami di Asia Tenggara untuk melindungi hak kedaulatan mereka atas sumber daya lautnya, yang sejalan dengan hak dan kewajiban mereka berdasarkan hukum internasional."

Menurut Departemen Luar Negeri, AS sekarang menganggap klaim Cina atas bebatuan dan terumbu karang di Kepulauan Spratly, di sebelah selatan Laut Cina Selatan, adalah melanggar hukum, dan klaim maritim Cina yang didasarkan pada dugaan kepemilikan fitur-fitur laut juga sebagai pelanggaran hukum internasional.

Pernyataan itu secara khusus merujuk pada sikap Beijing yang berkeras untuk menguasai hak ekonomi atas perairan di sekitar Scarborough Reef, Mischief Reef dan Second Thomas Shoal, yang juga diklaim semuanya oleh Filipina.

Pernyataan itu juga menyebutkan bahwa AS juga menolak klaim Cina atas Vanguard Bank di lepas pantai selatan Vietnam, Luconia, dan James Shoals yang berada di zona ekonomi eksklusif Malaysia, dan perairan di lepas pantai Brunei dan pulau-pulau Natuna di Indonesia.

“Ini adalah perubahan besar dari kebijakan AS yang tradisional akan Laut Cina Selatan. Sebelum pengumuman ini, Washington menentang klaim Beijing yang berlebihan atas wilayah-wilayah di Laut Cina Selatan, tetapi tidak secara resmi mengambil posisi atas klaim-klaim individu itu sendiri,” ujar Derek Grossman, analis pertahanan senior di RAND Corp., sebuah lembaga kajian AS.

Reaksi beragam?

Sebelumnya, AS menghindari sikap berpihak dalam sengketa kawasan di Laut Cina Selatan, meskipun berulangkali menyerukan kebebasan navigasi dan terbang di atas wilayah maritim strategis tersebut.

Walaupun AS tidak pernah menerima sembilan garis imajiner atau “nine-dash-line” yang digambarkan Cina pada tahun 2009 sebagai batas maritimnya di Laut Cina  Selatan, Washington tidak secara eksplisit merujuk pada hukum internasional saat membahas klaim-klaim yang lain, termasuk interpretasi Beijing tentang apa yang dianggapnya sebagai pulau di Laut Cina Selatan dan kemampuan mereka untuk menghasilkan zona ekonomi eksklusif demi hak sumber daya.

Greg Poling, rekan senior untuk Asia Tenggara di Center for Strategic and International Studies yang berbasis di Washington, DC, mengatakan bahwa pernyataan itu dengan jelas menunjukkan AS selaras dengan putusan Pengadilan Arbitrase Permanen di tahun 2016 yang menggagalkan banyak klaim Cina di Laut Cina  Selatan, setelah Filipina membawa kasus ini ke pengadilan.

“Washington mendukung proses putusan arbitrase di 2016 tetapi tidak pernah secara jelas mendukung substansinya. Sekarang jelas,” ujarnya,"dan itu berarti tidak saja akan mengecam kegiatan Cina  di perairan wilayah Asia Tenggara sebagai pemicu ketegangan atau berbahaya, tetapi dapat dengan jelas mengatakan mereka ilegal."

Pengumuman posisi AS yang baru ini keluar saat Cina terus menekan negara-negara Asia Tenggara agar tidak mengeksplorasi sumber daya di perairan mereka, dengan mengerahkan kapal penjaga pantai, termasuk di Vanguard Bank, di mana Cina terlibat dalam kebuntuan konflik selama berbulan-bulan dengan Vietnam pada tahun lalu dan sepertinya akan terjadi lagi tahun ini.

Foto pada 22 Juli 2019 ini menunjukkan pendemo di Manila menyerukan Cina untuk angkat kaki dari Laut Barat Filipina, nama yang Filipina berikan pada Laut Cina Selatan. (Sepe/BenarNews)
Foto pada 22 Juli 2019 ini menunjukkan pendemo di Manila menyerukan Cina untuk angkat kaki dari Laut Barat Filipina, nama yang Filipina berikan pada Laut Cina Selatan. (Sepe/BenarNews)

Pernyataan tegas Pompeo keluar setelah Menteri Luar Negeri Filipina mengeluarkan pernyataan tegas untuk memperingati empat tahun dikeluarkannnya putusan arbitrase pada tahun 2016, yang tidak pernah diakui oleh Cina yang memboikot proses arbitrasenya.

“Putusan pengadilan arbitrase pada 12 Juli 2016 merupakan kemenangan bukan hanya bagi Filipina tapi juga bagi semua negara-negara yang konsisten mematuhi aturan,” ujar Menteri Luar Negeri Teodoro Locsin pada hari Minggu, dan menyerukan Cina untuk patuh pada putusan tersebut.

“Filipina, sebagai bagian komunitas internasional yang patuh pada hukum dan mencintai perdamaian, menegaskan kembali pada kesempatan ini, kepatuhannya pada putusan tersebut dan penegakkannya tanpa kompromi dan kemungkinan untuk merubahnya,” ujar Locsin.

Pemerintah Filipina belum lama ini mengambil sikap yang lebih kritis terhadap Beijing. Tetapi seorang analis yang berbasis di Manila menyebut pernyataan Locsin tersebut sebagai langkah yang sudah diperhitungkan untuk menunjukkan sikap Filipina yang selama dalam pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte tidak pernah memberlakukan atau menegakkan putusan itu.

"Pemerintah Filipina tidak melakukan apa yang dikatakannya," ujar Jose Antonio Custodio, seorang sejarawan militer dan analis politik di Institute of Policy, Strategy and Development Studies. "Dengan kata lain, dia adalah pengganti Beijing," ujarnya tentang Duterte.

“Filipina tidak menegaskan hak maritimnya di wilayah tersebut dan bahkan ragu untuk berpartisipasi dalam latihan maritim multilateral di sana,” ujar Custodio kepada BenarNews. "Itu karena pengaruh kuat Cina pada pemerintahan Duterte."

Pendahulu Locsin, Albert del Rosario, mengatakan bahwa Duterte telah memutuskan untuk "mengesampingkan" putusan itu "untuk meraih dengan penuh harapannya untuk dapat pinjaman dan investasi dari Beijing, yang tidak terwujud."

Menurut Grossman, analis RAND, keputusan AS untuk berpihak pada negara-negara Asia Tenggara dalam masalah Laut Cina Selatan kemungkinan akan memperburuk hubungan AS-Cina , dan mendapatkan tanggapan beragam dari negara-negara yang terlibat,.

“Beberapa negara, seperti Vietnam dan Filipina, sangat mungkin akan senang dengan langkah AS karena mereka selama ini mencari dukungan. Tetapi yang lain, seperti Malaysia dan mungkin Indonesia ... mungkin tidak senang. Hanya waktu yang akan menjawab,” katanya.

Basilio Sepe dan Dennis Jay Santos di Manila dan Davao, Filipina berkontribusi dalam laporan ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.