AS Sebut Tindakan Cina di Laut Cina Selatan ‘Melanggar Hukum’
2021.06.16

Menteri Pertahanan (Menhan) AS Lloyd Austin menyorot tindakan Cina yang disebutnya sebagai pelanggaran hukum di Laut Cina Selatan, sementara Menteri Pertahanan Cina mengatkan bahwa Beijing bertekad untuk menjaga kepentingan utamanya. Hal ini disampaikan keduanya hari Rabu dalam pertemuan menteri pertahanan negara anggota ASEAN dengan negara mitra wicara.
Menteri pertahanan dari 10 negara anggota ASEAN bertemu secara virtual dengan rekan-rekannya dari delapan negara mitra wicara ASEAN untuk membahas tentang keamanan maritim dalam forum ASEAN Defense Ministers’ Meeting (ADMM) Plus.
Menurut pernyataan yang dikeluarkan oleh Pentagon, Austin menjelaskan dalam sambutannya di pertemuan tersebut, tentang visi Amerika untuk kawasan Indo Pasifik yang “menggarisbawahi pentingnya sekutu dan mitra, prinsip bersama, dan pendekatan multilateral terhadap tantangan keamanan”.
“Dia juga menyoroti perilaku Cina yang melanggar hukum di Laut Cina Selatan,” ujar Austin dalam pernyataan tersebut.
Pertemuan tahunan itu berlangsung ketika kelompok kapal induk Amerika melakukan "misi rutin" di Laut Cina Selatan, ujar Angkatan Laut AS pada hari Selasa, dan di tengah ketegangan yang meningkat karena persaingan teritorial di jalur laut strategis tersebut.
Sementara itu, di ujung utara Laut Cina Selatan, pada hari Selasa Taiwan mengeluhkan adanya 28 pesawat Angkatan Udara Cina yang telah memasuki zona identifikasi pertahanan udaranya. Menurut Taipei, hal itu adalah pelanggaran yang terbesar dalam serangkaian manuver militer provokatif yang terjadi baru-baru ini di dekat wilayahnya.
Cina menganggap Taiwan, yang memiliki pemerintahan sendiri, sebagai wilayah pemberontak yang menunggu untuk dipersatukan kembali dengan wilayah daratan utama Cina. Taiwan selalu mengatakan pihaknya sebagai negara yang resmi merdeka bernama Republik Cina.
Menurut pernyataan yang dikeluarkan Beijing hari Rabu, Menteri Pertahanan Cina Jendral Wei Fenghe mengatakan saat forum ADMM Plus bahwa Cina mengerti dan menghormati kekhawatiran yang sah atas masalah keamanan dari negara lain.
“Kepentingan nasional Cina juga harus sepenuhnya dihormati dan dijaga,” ujar Wei seperti yang dikutip dalam pernyataan itu. “Mengenai masalah yang berkaitan dengan Taiwan, Xinjiang, Hong Kong, dan Laut Cina Selatan, Cina bertekad untuk melindungi kepentingan inti negara kami.”
‘Koersi’
Awal Juni lalu, Malaysia mengatakan bahwa 16 pesawat militer Cina telah terbang dalam formasi melintasi wilayah udara maritimnya di atas perairan Laut Cina Selatan di utara Pulau Kalimantan, dan nyaris melanggar wilayah udara teritorialnya. Cina mengatakan pesawat-pesawat itu melakukan “aktivitas penerbangan rutin.”
Pada bulan April, Vietnam mengecam sikap unilateral Cina yang memaksakan larangan penangkapan ikan yang dilakukan setiap tahun di Laut Cina Selatan. Vietnam mengatakan larangan itu melanggar kedaulatannya atas Kepulauan Paracel, Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), dan Deklarasi Perilaku Para Pihak di Laut Cina Selatan yang disepakati pada tahun 2003.
Di sisi lain, hubungan Beijing dan Manila mengalami kebuntuan sejak Maret ketika Filipina mengatakan pihaknya mendeteksi keberadaan lebih dari 200 kapal dengan awak kapal yang sebenarnya adalah personil angkatan laut Cina di Whitsun Reef, di zona ekonomi eksklusif Filipina.
Beijing mengklaim kawasan terumbu karang itu adalah bagian dari “Kepulauan Nansha” atau nama lain untuk Kepulauan Spratly versi Cina. Sejak itu, Cina terus menjaga keberadaannya di perairan Filipina. Akibatnya, Manila telah berkali-kali melayangkan nota diplomatik berisi protes kepada Beijing
Menurut pihak Filipina, dalam pertemuan hari Rabu itu, beberapa peserta rapat juga menyebutkan kekhawatiran mereka atas Undang-undang (UU) Penjaga Pantai Cina yang baru disahkan.
“Terkait Laut Cina Selatan, beberapa negara Plus (mitra dialog ASEAN) menyatakan keprihatinan pada penerapan yang ambigu dari UU Penjaga Pantai Cina, sambil menekankan pentingnya kebebasan navigasi dan penerbangan serta penyelesaian negosiasi kode etik (code of conduct/COC),” ujar Kementerian Pertahanan Filipina dalam pernyataannya.
“Negara-negara Plus” merujuk pada negara peserta non-ASEAN, yang terdiri dari Australia, Cina, India, Jepang, Selandia Baru, Korea Selatan, Rusia dan Amerika Serikat.
Undang-undang yang disahkan akhir Januari lalu itu menyatakan bahwa pasukan penjaga pantai dan institusi-institusi lain yang penegak hukum UU tersebut dapat menggunakan senjata seperti senapan, atau senjata perlengkapan kapal seperti senjata yang dipasang di dek, saat menangani kapal asing yang melanggar perairan yang diklaim Cina sebagai miliknya.
Dalam pernyataan yang dikeluarkan Kementerian Pertahanan Jepang, Menteri Pertahanan Jepang Nobuo Kishi mendesak agar semua pihak berupaya menyelesaikan sengketa di perairan secara damai dan patuh terhadap hukum internasional.
“Menteri Kishi menyampaikan bahwa ada upaya terus-menerus untuk mengubah status quo dengan paksaan di Laut Cina Timur dan Laut Cina Selatan,” ujar pernyataan tersebut, yang dengan jelas merujuk kepada Cina.
Pernyataan itu juga menyebutkan Kishi menggarisbawahi agar UU Penjaga Pantai Cina itu “jangan sampai pernah merusak kepentingan sah negara-negara yang relevan.”
Cina dan Jepang telah terlibat sejak lama dalam sengketa teritorial atas Kepulauan Senkaku, yang disebut Cina sebagai Diaoyu Dao. Pulau-pulau tak berpenghuni itu terletak di bagian selatan Laut Cina Timur dan merupakan lokasi sumber sengketa yang terus berulang antara kedua negara.
‘Sangat lamban’
Cina menegaskan wilayah yang diklaim sebagai yurisdiksinya melalui pengerahan pasukan penjaga pantai dan angkatan lautnya. Menurut Laporan Kekuatan Militer Cina 2020 oleh Departemen Pertahanan AS, kedua pasukan ini merupakan armada penjaga pantai dan angkatan laut terbesar di dunia.
Beijing mengklaim hampir semua wilayah Laut Cina Selatan sebagai miliknya, sementara Filipina, Brunei, Malaysia, Vietnam, dan Taiwan memiliki klaim teritorialnya masing-masing.
Indonesia bersikap sebagai pihak yang tidak bersengketa di Laut Cina Selatan, namun Beijing mengklaim hak historis atas sebagian wilayah maritim yang bertumpang tindih dengan zona ekonomi eksklusif Indonesia.
Negosiasi antara Cina dan ASEAN untuk kode etik (CoC) yang akan mengatur perilaku antara penuntut di Laut Cina Selata berlangsung berlarut-larut.
Minggu lalu, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi menyebut kemajuannya “sangat lambat” dan meminta ASEAN dan Cina untuk segera melanjutkan negosiasi.
Dalam pernyataan Kementerian Pertahanan Malaysia, Menteri Pertahanan Malaysia Sri Ismail Sabri meminta dalam pertemuan hari Rabu agar semua pihak untuk berperilaku “imbang” di Laut Cina Selatan.
Ismail juga menekankan bahwa “Malaysia tidak akan berkompromi dengan keamanan nasional dan kedaulatan negaranya”.
Teuku Rezasyah, dosen hubungan internasional dari Universitas Padjajaran di Bandung mengatakan bahwa dalam kompetisi teritorial ini, Cina tidak berkontribusi dalam keamanan wilayah.
“Memang agak sulit menunjuk mana pihak yang menimbulkan masalah di ASEAN. Cina, meski ada pengaruh ekonomi, tidak memiliki kontribusi terhadap keamanan di kawasan,” kata Rezasyah kepada BenarNews.
Pakar politik internasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dewi Fortuna Anwar, mengatakan perseteruan di Laut Cina Selatan tidak akan selesai dalam waktu cepat.
“Saya kira isu ini tidak akan betul-betul selesai, karena situasinya menjadi zero sum game, dan saya pikir tidak ada pihak yang mau kalah,” kata Dewi kepada BenarNews.
Dewi mengatakan kode etik di Laut Cina Selatan dapat mencegah situasi saat ini memburuk menjadi konflik.
“Yang paling mungkin dilakukan saat ini adalah mengelola potensi konfliknya agar tidak menciptakan gesekan terbuka. Untuk itu, CoC menjadi sangat penting bagi ASEAN sebagai kepastian di perairan,” katanya.
Sedikit menyinggung tentang Myanmar
Pernyataan Pentagon juga menyebutkan bahwa Menhan Austin, dalam sambutannya di forum tersebut hari Rabu, meminta militer Myanmar untuk “mengubah arah.” Austin merujuk pada kudeta 1 Februari yang diikuti dengan pembunuhan ratusan warga sipil.
Menurut kelompok hak asasi yang berbasis di Thailand, Assistance Association for Political Prisoners, pasukan keamanan Burma telah membunuh sedikitnya 863 akibat tindakan kerasnya terhadap protes anti-kudeta massal dan menahan, mendakwa, atau menghukum 4.880 orang sejak 1 Februari.
Kudeta itu dikabarkan juga dibahas dalam pertemuan hari Rabu, dan pada pertemuan menteri pertahanan ASEAN, yang dihadiri oleh Jenderal Mya Tun Oo dari Myanmar, menteri pertahanan yang ditunjuk junta.
Pernyataan bersama yang dikeluarkan setelah rapat tersebut, yang dirilis di situs web Kementerian Pertahanan Singapura, tidak menyebutkan tentang krisis di Myanmar.
Kate Beddall di Washington, Ronna Nirmala di Jakarta, Pimuk Rakkanam di Bangkok, Jason Gutierrez di Manila dan Muzliza Mustafa du Kuala Lumpur berkontribusi pada laporan ini.