ASEAN, Beijing Sepakat Saling Menahan Diri di Laut Cina Selatan

Sementara itu Cina memastikan kepada junta Myanmar bahwa situasi dalam negeri Myanmar tidak pengaruhi hubungan bilateral.
Shailaja Neelakantan
2021.06.08
Washington
ASEAN, Beijing Sepakat Saling Menahan Diri di Laut Cina Selatan Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi memberikan sambutan dalam sebuah acara di Kementerian Luar Negeri Cina di Beijing, 12 April 2021.
AFP

Beijing dan negara-negara Asia Tenggara mengeluarkan kesepakatan bersama yang menyatakan kedua belah pihak telah sepakat untuk tidak menambah ketegangan di Laut Cina Selatan, setelah Cina baru-baru ini melakukan penyerangan di wilayah-wilayah maritim yang diklaim oleh Filipina dan Malaysia.

Media nasional Cina melaporkan Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi telah memberitahu kepada rejim junta militer Myanmar bahwa situasi dalam negeri di Myanmar tidak akan berpengaruh pada hubungan baik kedua negara, namun pernyataan Wang Yi ini terlihat bertolak belakang dengan sikap Cina yang menyatakan dukungan kepada Asean untuk menyelesaikan pertikaian yang terjadi pasca kudeta di Myanmar.

Dalam pernyataan bersama yang dikeluarkan setelah pertemuan tingkat menteri luar negeri ASEAN dan Cina di Chongqing, kedua pihak mengatakan telah sepakat untuk “meningkatkan dan mempromosikan keamanan maritim” serta “menahan diri untuk tidak melakukan kegiatan yang akan memperumit atau meningkatkan perselisihan dan mempengaruhi perdamaian dan stabilitas, dan mengupayakan penyelesaian sengketa secara damai.”

Namun, diplomat-diplomat Filipina menggambarkan bahwa ada pembicaraan yang “tegang” antara para diplomat tinggi Cina dan ASEAN di Chongqing pada Senin lalu, sebelum kedua belah pihak mengeluarkan pernyataan bersama di hari yang sama. Para diplomat tersebut mengindikasikan bahwa Malaysia, Filipina dan Vietnam berada di satu sisi melawan Cina, sementara negara-negara anggota ASEAN lainnya tetap bungkam.

Pernyataan bersama itu juga menyebutkan bahwa setiap perselisihan dengan Cina akan diselesaikan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang diakui secara universal, termasuk Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982, atau UNCLOS.

Namun pernyataan tersebut tidak menyebutkan adanya fakta bahwa UNCLOS tidak mengakui klaim historis, yang merupakan sikap Cina atas klaimnya di jalur maritim yang disengketakan. Beijing menolak putusan pengadilan internasional di tahun 2016 terhadap klaimnya yang  ekspansif di Laut Cina Selatan.

Dalam pernyataan terpisah mengenai hasil dari pertemuan itu, Cina mengatakan bahwa kedua belah pihak telah sepakat untuk “menangani dan mengelola perbedaan melalui konsultasi.”

“Hal yang wajar jika negara-negara bertetangga mengalami masalah,” kata Wang Yi, menurut pernyataan dari kementerian luar negeri Cina.

Perairan yang bermasalah

Namun akhir-akhir ini, masalah tersebut semakin memburuk.

Minggu lalu, Malaysia mengatakan bahwa ada intrusi 16 pesawat militer ke wilayah udaranya di atas Laut Cina Selatan dekat Pulau Kalimantan. Sebagain dari wilayah Malaysia ada di pulau tersebut.

Pemerintah Malaysia di Putrajaya mengatakan akan memanggil duta besar Cina dan mengirim nota diplomatik untuk memprotes Beijing atas “ancaman terhadap kedaulatan nasional” Malaysia.

Cina mengatakan bahwa pesawat-pesawat militer tersebut hanya melakukan “aktivitas penerbangan rutin” dan tidak melanggar masuk ke wilayah udara Malaysia.

Dalam pertemuan di Chongqing, Malaysia mengatakan kepada Cina bahwa pihaknya “keberatan dengan kehadiran aset militer asing yang berlawanan dengan kebebasan bernavigasi dan perlintasan udara menurut hukum internasional, dan tanpa persetujuan lebih dahulu dari Pemerintah Malaysia.”

April lalu, media Radio Free Asia yang berada dalam satu grup dengan BenarNews melaporkan bahwa Vietnam mengecam sikap unilateral Cina yang memaksakan pelarangan untuk menangkap ikan di Laut Cina Selatan yang dilakukannya setiap tahun.

Vietnam mengatakan larangan tersebut melanggar kedaulatannya di Kepulauan Paracel, UNCLOS, dan Deklarasi Perilaku Para Pihak di Laut Cina Selatan yang disepakati tahun 2003.

Di lokasi lain dalam wilayah maritim yang sama, Beijing dan Manila telah mengalami kebuntuan sejak Maret ketika Filipina mengatakan pihaknya mendeteksi keberadaan lebih dari 200 kapal dengan awak kapal yang sebenarnya adalah personil angkatan laut Cina di Whitsun Reef, di zona ekonomi eksklusif Filipina.

Beijing mengklaim kawasan terumbu karang itu adalah bagian dari “Kepulauan Nansha” atau nama lain untuk Kepulauan Spratly versi Cina.

Sejak itu, Cina terus menjaga keberadaannya di perairan Filipina. Hal ini mencetus Manila untuk melayangkan nota diplomatik berisi protes kepada Beijing setiap harinya sejak April hingga minggu lalu.

Posisi Cina terhadap Myanmar

Pertemuan ASEAN-Cina di Chongqing di wilayah barat daya Cina, juga melibatkan Wunna Maung Lwin, menteri luar negeri Myanmar yang diangkat oleh junta militer setelah kudeta pada 1 Februari lalu yang menggulingkan pemerintahan terpilih.

Menurut laporan situs berita Cina, CGTN, Wang Yi bertemu dengam Wunna Maung Lwin pada Selasa dan mengatakan kepadanya bahwa “Cina akan selalu mendukung Myanmar dalam memilih jalur pembangunan yang paling sesuai dengan kondisi nasionalnya.”

Wang juga mengatakan kepada Wunna Maung Lwin bahwa “kebijakan Beijing yang bersahabat terhadap Myanmar tidak terpengaruh oleh perubahan situasi domestik dan eksternal Myanmar,” CGTN menyebutkan dalam laporannya.

Selama pertemuan hari Senin, Singapura, Malaysia dan Indonesia mengatakan bahwa mereka frustrasi dengan kurangnya kemajuan dalam penerapan konsensus lima poin ASEAN tentang Myanmar.

Konsensus tersebut, yang disetujui oleh pemimpin junta Myanmar Min Aung Hlaing dalam pertemuan puncak spesial para pemimpin ASEAN di Jakarta pada akhir April, mencakup desakan untuk segera diakhirinya kekerasan, mengadakan dialog di antara semua pihak di Myanmar dan penunjukan utusan khusus ASEAN untuk Myanmar. Namun konsensus tersebut diabaikan oleh junta militer Myanmar.

Perwakilan Myanmar itu membalas komentar negara-negara anggota ASEAN melalui media pemerintah Myanmar, dengan mengatakan junta berkomitmen terhadap rencana dengan lima poin, namun bukan lima poin yang disepakati ASEAN, tetapi “lima poin program masa depan” yang diumumkan pihak militer Februari lalu setelah kudeta.

Menurut laporan media milik negara, The Global New Light of Myanmar, Wunna Maung Lwin mengatakan program itu adalah “satu-satunya cara untuk memastikan sistem demokrasi yang disiplin dan asli” dan akan “meneliti kecurangan pemilu.”

Militer Myanmar mengklaim bahwa pemilihan umum November 2020, yang dimenangkan oleh partai pemimpin sipil Aung San Suu Kyi dengan gemilang, telah dicurangi.

Komentar Wang dikeluarkan sehari setelah Indonesia mengatakan bahwa bantuan Cina sangat penting dalam menerapkan konsensus lima poin ASEAN tentang Myanmar.

Menteri luar negeri Cina tersebut mengatakan pada hari Selasa bahwa Beijing mendukung ASEAN dalam "memainkan peran konstruktif dalam menangani masalah domestik Myanmar dengan benar."

Dia juga mengatakan Cina mendukung “implementasi bertahap dari konsensus lima poin,” dan mendesak semua negara untuk “menghindari sanksi sepihak dan campur tangan yang tidak semestinya” di Myanmar.

Kritik dari NUG

Dalam kunjungan ke Naypyidaw akhir pekan lalu, pejabat-pejabat ASEAN bertemu dengan pemimpin junta militer Myanmar Min Aung Hlaing, namun tidak bertemu dengan anggota pemerintahan sipil bayangan yang terdiri dari mantan anggota parlemen terpilih.

Pemerintah sipil paralel Myanmar, National Unity Government (NUG), mengkritik Cina dan ASEAN karena mengabaikan perwakilannya di pertemuan di Chongqing.

“Cina dan ASEAN telah kembali gagal mengundang NUG untuk hadir di Pertemuan Luar Negeri dan Pertemuan Peringatan 30 Tahun Cina-ASEAN,” ujar Menteri Luar Negeri NUG Zin Mar Aung dalam siaran persnya yang diunggah di Facebook hari Senin.

“Menteri Luar Negeri dan menteri-menteri lain NUG telah berharap dapat berpartisipasi dalam diskusi bilateral atau multilateral yang positif.”

Analis politik mengatakan bahwa Cina dapat memainkan peran untuk mengembalikan perdamaian dan demokrasi di Myanmar.

Thein Tun Oo, dari Thayningha Strategic Studies Institute, mengatakan tidak ada tekanan internasional yang cukup kuat terhadap pihak junta.

“Kami sekarang melihat adanya keinginan untuk bekerja sama untuk solusi politik. Jadi saya yakin kita akan melihat hasil konstruktif yang positif untuk Myanmar dari pertemuan Cina-ASEAN di Chongqing ini,” kata Thein Tun Oo kepada RFA Myanmar.

Analis lain, Than Soe Naing, mengatakan Cina sepertinya tidak mau berurusan dengan krisis yan terjadi di Myanmar.

Cina “telah menghindar untuk terlibat dalam masalah tersebut namun memindahkan bebannya kepada ASEAN,” ujar Than Soe Naing kepada RFA.

“Bukannya menemukan solusi dari masalah tersebut, kita dapat melihat sekarang ini bahwa kedua belah pihak sepertinya mendorong adanya kudeta dan bersedia mengakui dewan militer secara resmi dan melangkah ke depan.”

Jason Gutierrez di Manila, Ahmad Syamsudin di Jakarta, dan Radio Free Asia berkontribusi pada laporan ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.