ASEAN Lobi untuk Hapus Seruan Embargo Senjata Resolusi PBB Terhadap Myanmar
2021.05.27
Washington

ASEAN ingin Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membatalkan seruan untuk menangguhkan penjualan senjata ke militer Myanmar, yang telah menewaskan ratusan warga sipil sejak melakukan kudeta di negara tersebut, demikian kata seorang diplomat Eropa kepada BenarNews, Kamis.
Dalam sebuah surat kepada negara-negara inti yang mensponsori rancangan resolusi Sidang Umum PBB tentang Myanmar, Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara itu - minus Myanmar - meminta mereka untuk menghapuskan kalimat yang menyerukan "penangguhan segera" atas penjualan atau pengalihan semua senjata dan amunisi militer ke Naypyidaw, kata seorang diplomat dari Liechtenstein, yang ikut menyeponsori dokumen itu.
“ASEAN mengirim surat kepada kami dan di antara amandemen [terhadap draf] yang mereka usulkan adalah paragraf penghapusan senjata [embargo],” kata Georg Sparber, wakil perwakilan tetap di misi Liechtenstein untuk PBB di New York, kepada BenarNews.
“Tidak ada alasan yang diberikan dalam surat itu… dan ketika saya mengatakan surat ASEAN, yang saya maksud bukan Myanmar yang juga merupakan anggota ASEAN, tetapi surat itu dari sembilan negara anggota lainnya,” ujarnya melalui telepon.
Namun, dia menolak untuk merilis salinan surat tersebut.
Sementara itu, seorang pejabat tinggi dari salah satu negara sponsor resolusi itu, mengatakan kepada BenarNews bahwa ASEAN ingin draf itu direvisi karena blok tersebut percaya harus memimpin dalam menyelesaikan krisis di Myanmar, di mana lebih dari 800 warga tewas dalam kekerasan pasca kudeta.
Misi Indonesia dan Malaysia untuk PBB tidak segera merespons email dari BenarNews untuk memberikan komentar tentang klausul senjata dalam resolusi tersebut.
Di Jakarta, juru bicara kementerian luar negeri Indonesia menolak berkomentar, dan sekretariat ASEAN, yang berkantor pusat di ibu kota Indonesia, tidak menanggapi panggilan atau pesan teks dari BenarNews.
Bulan lalu, para pemimpin negara-negara ASEAN menyetujui konsensus lima poin tentang Myanmar yang, antara lain, meminta utusan blok itu untuk dikirim ke Myanmar. Tapi lebih dari sebulan kemudian, ASEAN tidak membuat kemajuan dalam menunjuk utusan tersebut, dan pemerintah militer Myanmar telah mengabaikan konsensus bahwa mereka menjadi pihak dalam pertemuan di Jakarta yang dihadiri oleh kepala junta Naypyidaw.
Rancangan resolusi tersebut, sejatinya, menekankan "dukungan kuat untuk peran sentral Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara" dalam memfasilitasi "solusi damai untuk kepentingan rakyat Myanmar."
Human Rights Watch (HRW) mengecam ASEAN karena melobi untuk mencabut ketentuan embargo senjata dari resolusi PBB itu.
“Terus terang: ASEAN [sedang] mencoba menolak seruan resolusi Majelis Umum PBB untuk embargo senjata terhadap Myanmar, yang mutlak diperlukan untuk menghentikan kekerasan junta Burma terhadap rakyatnya sendiri,” demikian cuitan Phil Robertson, wakil direktur HRW divisi Asia melalui Twitter pada Rabu.
“Upaya memalukan oleh @MFAsg, @MFAThai & pemerintah ASEAN lainnya,” tambahnya, menandai akun Twitter kementerian luar negeri anggota ASEAN Singapura dan Thailand.
Rancangan resolusi tersebut “menyerukan penangguhan segera atas pasokan langsung dan tidak langsung, penjualan atau transfer semua senjata, amunisi dan peralatan terkait militer lainnya ke Myanmar,” di antara sejumlah seruan lain untuk tindakan internasional terhadap Myanmar.
Resolusi PBB: 'Barometer penting'
ASEAN, dengan "pendekatan non-interferensi yang dibanggakan", kemungkinan besar memandang embargo senjata sebagai campur tangan dalam urusan dalam negeri suatu negara anggota, menurut Hunter Marston, pakar hubungan internasional yang berbasis di Canberra.
Meski begitu, dia berharap Malaysia dan Filipina mendukung resolusi ini.
“Thailand kemungkinan akan memberikan suara menentangnya, mengingat dukungannya untuk militer,” kata Marston, seorang peneliti Asia dan Pasifik di Universitas Nasional Australia, kepada BenarNews.
Pemungutan suara yang dijadwalkan untuk resolusi di Majelis Umum PBB pada 18 Mei telah ditunda, sehingga tindakan itu bisa mendapatkan lebih banyak dukungan, terutama dari negara-negara ASEAN, kata Sparber, menambahkan bahwa tanggal baru untuk pemungutan suara belum ditetapkan.
HRW mengatakan bahwa negara-negara seperti Amerika Serikat, Prancis, Inggris, Kanada, Jerman - di antara 49 sponsor resolusi - harus memastikan bahwa pemungutan suara itu dijadwalkan ulang sesegera mungkin, dengan resolusi termasuk seruan untuk menghentikan penjualan senjata ke junta Burma.
“Mereka seharusnya tidak bermain-main dengan mengatakan ini adalah masalah regional dan bersembunyi di balik ASEAN untuk menghindari tanggung jawab mereka sendiri; ASEAN dibangun di atas prinsip non-interferensi dan tidak akan pernah menuntaskan masalah Myanmar,” kata HRW dalam sebuah pernyataan minggu ini.
Resolusi yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB tidak mengikat para anggotanya, tetapi mereka adalah "barometer penting kesediaan internasional untuk mengutuk kudeta tersebut," kata Marston.
Sementara itu pada Kamis, Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin mengatakan kepada sekretaris jenderal PBB bahwa masalah utusan ASEAN untuk Myanmar akan segera diselesaikan, tanpa memberikan informasi kapan, kata pejabat pemerintah.
Banyak analis dan aktivis hak asasi mengkritik blok ASEAN karena tidak mengambil tindakan cepat terhadap Myanmar.
Selama ketidakpastian tindakan ASEAN dalam empat bulan terakhir, pasukan keamanan Myanmar telah menewaskan 831 orang, sebagian besar adalah pengunjuk rasa anti-kudeta pasca perebutan kekuasaan oleh junta 1 Februari 2021.
Aktivis Burma dan banyak warganya kecewa dengan komunitas internasional, kata Aaron Connelly, seorang analis di Institut Internasional untuk Kajian Strategis yang berbasis di Singapura yang berspesialisasi dalam politik Asia Tenggara.
“Ketika saya berbicara dengan orang-orang di Myanmar sekarang, ada kekecewaan yang luar biasa dengan Amerika Serikat dan Eropa, dan permusuhan yang membara terhadap China, ASEAN, dan negara-negara anggota ASEAN,” kata Connelly di Twitter.
“Kerusakan reputasi akibat tanggapan komunitas internasional akan berlangsung lama.”
Ika Inggas dan Nani Yusof di Washington serta Ahmad Syamsudin di Jakarta berkontribusi dalam laporan ini.