ASEAN Gagal Terapkan Konsensus 5 Poin, Malaysia Hubungi Pemerintah Bayangan Myanmar
2022.04.25
Washington

Menteri luar negeri Malaysia telah menyatakan bahwa dia telah melakukan kontak dengan pemerintah bayangan Myanmar. Ia menjadi perwakilan negara ASEAN pertama yang mengakui interaksi semacam itu, sementara para aktivis mengecam blok regional itu pada hari peringatan rencana lima poin yang gagal untuk memulihkan demokrasi di Myanmar.
Menteri Luar Negeri Malaysia Saifuddin Abdullah pada Minggu menanggapi surat terbuka yang dikeluarkan pada hari yang sama oleh ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR) kepada para pemimpin Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara, yang mengatakan blok itu harus “segera dan swecara terbuka bertemu dengan NUG (National Unity Government),” atau Pemerintah Persatuan Nasional, yang merupakan pemerintahan paralel yang dikuasai sipil di Myanmar.
Malaysia adalah negara pertama yang mengungkapkan telah berhubungan dengan NUG dan telah mengakui surat APHR.
“Saya telah bertemu secara informal (melalui konferensi virtual) menteri luar negeri NUG Myanmar dan ketua NUCC sebelum Retret Menteri Luar Negeri ASEAN terakhir. Mari bertemu dan berdiskusi," tulis Saifuddin di Twitter, menandai APHR, dan merujuk pada retret para menteri yang berlangsung 16-17 Februari 2022 yang diadakan dalam format hibrid.
NUCC Myanmar, atau Dewan Konsultatif Persatuan Nasional, termasuk di dalamnya antara lain, perwakilan NUG, kelompok masyarakat sipil, organisasi etnis bersenjata, dan kelompok pembangkang sipil.
Menteri luar negeri Malaysia itu Oktober lalu mengatakan bahwa dia akan membuka pembicaraan dengan NUG jika junta Burma masih tidak mau bekerja sama dalam upaya resolusi konflik ASEAN.
Dua analis memuji Saifuddin yang memisahkan diri dari ASEAN dan mengambil sikap yang berbeda.
“Malaysia memimpin dalam mendesak peninjauan atas pendekatan ASEAN ke Myanmar (setelah satu tahun gagalnya konsensus lima poin ASEAN), mengakui pertemuan informal dengan NUG Myanmar,” cuit analis politik Bridget Welsh, dari Universitas Nottingham Malaysia.
Analis lain, Aizat Khairi, dosen senior di Universiti Kuala Lumpur, sependapat.
“Reaksi Menteri Luar Negeri Malaysia Saifuddin Abdullah terhadap surat terbuka APHR ini merupakan sesuatu yang menyegarkan,” ujarnya kepada BenarNews.
Entitas saudara BenarNews, Radio Free Asia (RFA), telah menghubungi kementerian luar negeri Kamboja, ketua ASEAN tahun ini, untuk memberikan komentar tetapi tidak segera mendapat tanggapan.
Perwakilan khusus NUG untuk ASEAN, Bo Hla Tint mengatakan, ASEAN tampaknya tidak serius menyelesaikan krisis di Myanmar.
“Mereka telah gagal menerapkan, selama setahun terakhir, poin dasar dari Kesepakatan Bersama ASEAN – untuk mengakhiri kekerasan. Dan kemudian, mereka gagal mematuhi poin kedua – distribusi bantuan kemanusiaan yang sistematis,” katanya kepada RFA.
“Saya akan mengatakan kepemimpinan ASEAN tidak menganggap serius kebijakan atau kerangka kerja yang ditetapkan oleh kepemimpinan ASEAN itu sendiri, dimana para pemimpin tidak mengambil tindakan yang efektif (melawan junta).”
Konsensus lima poin yang dicapai antara para pemimpin ASEAN dan kepala militer Myanmar Min Aung Hlaing pada 24 April tahun lalu termasuk diakhirinya kekerasan, pemberian bantuan kemanusiaan, penunjukan utusan ASEAN, dialog semua pihak, dan mediasi oleh utusan ASEAN.
ASEAN belum berhasil menerapkan salah satu dari poin-poin ini, kata Joshua Kurlantzick, rekan senior untuk Asia Tenggara di lembaga think-tank Dewan Hubungan Luar Negeri Washington.
“Saya pikir tidak ada keraguan bahwa setiap bagian dari (konsensus) telah gagal, dan dengan Kamboja sebagai ketua dan junta yang semakin didukung oleh China, tidak mungkin konsensus tersebut akan berhasil, atau bahwa ASEAN akan melakukan sesuatu yang serius terkait Myanmar,” kata Kurlantzick kepada BenarNews.
“Blok Myanmar dari ASEAN sampai kembali ke pemerintahan demokratis.... Tapi ASEAN tidak akan melakukan itu.”
Pakar Asia Tenggara itu mengacu pada Phnom Penh yang memegang jabatan ketua bergilir ASEAN tahun ini, dan dukungan Beijing untuk Naypyidaw di forum internasional, termasuk di PBB, sejak Min Aung Hlaing menggulingkan pemerintahan terpilih dari Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pada 1 Februari 2021.
ASEAN terkenal dengan cara kerja melalui konsensus, yang berarti bahkan jika satu negara anggota menentang langkah yang diusulkan, maka usulan itu tidak akan dilakukan. Analis juga melihat bahwa tidak setiap anggota ASEAN memilih melakukan tindakan yang lebih tegas terhadap Myanmar selain melarang perwakilan junta menghadiri pertemuan puncak ASEAN.
Dewan Penasihat Khusus untuk Myanmar (SAC-M) sekelompok pakar internasional independen, menyebut konsensus lima poin ASEAN sebagai “kegagalan lima poin”.
“Junta tidak berpegang pada satu pun poin dari konsensus itu. Kesepakatan telah gagal dan perubahan arah dari ASEAN diperlukan,” kata anggota SAC-M Marzuki Darusman dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan Jumat.
Bahkan, kata SAC-M, sejak bergabung dengan konsensus, Min Aung Hlaing telah meningkatkan serangan militer terhadap rakyat Myanmar, dan terus menargetkan dan menahan lawan politik. Hampir 1.800 orang, sebagian besar pengunjuk rasa pro-demokrasi, telah dibunuh oleh pasukan keamanan Burma, sejak kudeta.
Pengawas hak asasi Amnesty International mengatakan bahwa aliran senjata ke pasukan keamanan Myanmar perlu dihentikan.
“Para aktivis ini sangat membutuhkan dukungan masyarakat internasional dalam bentuk embargo senjata global untuk menghentikan militer Myanmar menggunakan senjata perang untuk membunuh warga yang berunjuk rasa damai,” kata Emerlynne Gil, wakil direktur regional Amnesty International, dalam sebuah pernyataan, Jumat.
Kelompok hak asasi lainnya, Human Rights Watch (HRW), mengkritik pemerintah Barat dengan mengatakan konsensus lima poin telah “menjadi dalih bagi pemerintah seperti Inggris, Amerika Serikat, Australia, dan negara-negara anggota Uni Eropa untuk menunda tindakan nyata dengan kedok menunggu kepemimpinan ASEAN.”
“Junta telah mengeksploitasi rasa hormat komunitas internasional kepada blok regional itu, yang telah lama mengabaikan tanggung jawabnya untuk melindungi rakyat Asia Tenggara di bawah prinsip non-intervensi dan konsensus,” kata HRW.
Para pendukung junta Burma, bagaimanapun, mengatakan bahwa segala sesuatunya bergerak ke arah yang benar.
Thein Tun Oo, direktur eksekutif Studi Strategis Thayningha, yang dibentuk oleh sekelompok mantan perwira militer, mengatakan militer bergerak ke arah yang benar.
“Seberapa banyak yang bisa dilakukan pemerintah dalam tawar-menawar untuk perdamaian? … Proses perdamaian tidak dapat diselesaikan oleh satu pihak saja,” kata Thein Tun Oo kepada RFA.
“Pemerintah serta militer telah mengumumkan gencatan senjata sepihak dan membuat tawaran untuk pembicaraan damai. …kami belum melihat tanggapan yang memuaskan dari EAO (Organisasi Bersenjata Etnis). Pertanyaan kami sekarang adalah – apa komentar komunitas internasional tentang ini?”
Namun APHR yakin bahwa pemimpin kudeta Myanmar Min Aung Hlaing “tidak memiliki niat sama sekali untuk mematuhi konsensus kecuali dia merasakan tekanan kuat untuk melakukannya,” dan bahwa ASEAN perlu menerima hal itu.
“Mengingat kegagalan ini, sudah saatnya ASEAN bergerak untuk memberikan sanksi kepada Aung Hlaing. …Kredibilitas ASEAN tergantung pada kemampuannya untuk bertindak sesuai dengan realitas situasi di Myanmar,” kata APHR kepada para pemimpin ASEAN dalam suratnya.
“Pertanyaannya … sekarang adalah: apakah Anda akan membiarkan militer terus melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, dan mengancam keamanan manusia dan pembangunan ekonomi kawasan selama satu tahun lagi?”
Nisha David dan Suganya Lingan di Kuala Lumpur, dan Zin Mar Win dari Myanmar Service di Radio Free Asia, berkontribusi dalam laporan ini.