Ketua HAM PBB Desak ASEAN Tunjuk Utusan Khusus untuk Myanmar
2021.07.07
Washington

Kepala hak asasi manusia PBB pada hari Rabu (7/7) mendesak ASEAN untuk segera menunjuk seorang utusan untuk Myanmar, setelah belum ditunjuknya utusan khusus dari blok tersebut lebih dari dua bulan pasca para pemimpin Asia Tenggara itu memutuskan hal itu.
Secara terpisah, Singapura mengatakan sedang bekerja dengan anggota lain dari Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara itu untuk mempercepat implementasi yang diakui lambat dari konsensus lima poin tentang Myanmar pasca-kudeta yang telah disepakati para pemimpin ASEAN dalam KTT khusus tentang Myanmar April lalu.
ASEAN harus memulai dialog baik dengan militer, yang menggulingkan pemerintah terpilih pada Februari, dan juga pemerintah sipil bayangan negara itu, kata Michelle Bachelet, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia.
“Sangat mendesak bagi ASEAN untuk menunjuk utusan atau tim khusus untuk melakukan semacam dialog politik,” kata Bachelet dalam komentar yang direkam dalam video selama pertemuan di Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa.
“Saya mendorong ASEAN untuk terlibat dengan kepemimpinan demokratis dan masyarakat sipil, bukan hanya militer.”
Ini adalah kedua kalinya dalam sebulan Bachelet mendesak ASEAN untuk bergerak lebih cepat dalam membantu menyelesaikan krisis pasca-kudeta di Myanmar.
Pada hari Rabu, Bachelet mengatakan dia telah bekerja sama dengan sebagian besar negara ASEAN, dan sementara dia menyambut konsensus lima poin itu, pihak Myanmar “sayangnya … memperlihatkan ketidakpedulian untuk mematuhinya.”
Namun demikian, “sangat penting untuk mendukung ASEAN dalam persatuan,” katanya.
Myanmar adalah salah satu dari 10 anggota ASEAN.
Tom Andrews, pelapor khusus PBB tentang situasi hak asasi manusia di Myanmar, mengatakan pada pertemuan itu bahwa pihaknya terbuka untuk blok regional itu dan dia “ingin bekerja dengan utusan khusus ASEAN.”
Namun, komunitas internasional secara keseluruhan telah mengecewakan rakyat Myanmar dengan ketidakmampuannya menghentikan “pemerintahan teror” junta, katanya.
Andrews menyerukan pembentukan Koalisi Darurat untuk Rakyat Myanmar, yang akan mencakup negara-negara yang bersedia berdiri bersama rakyat Myanmar melalui tindakan terkoordinasi.
“Itu bisa mengurangi kemampuan junta untuk menyerang warganya, menyelamatkan nyawa mereka yang berada dalam krisis akut, dan mendapatkan pengaruh politik sehingga krisis di Myanmar dapat mencapai kesimpulan yang adil dan permanen,” kata Andrews.
“Tapi waktunya terbatas dan tak ada yang bisa dipertaruhkan lagi.”
Blok yang terbelah
Walaupun persatuan ASEAN etrus digaungkan, namun kenyataannya perhimpunan ini cukup terbelah, seperti terlihat dalam pemungutan suara Majelis Umum PBB bulan lalu tentang resolusi Myanmar. Resolusi tersebut mendesak militer Burma untuk memulihkan pemerintahan demokratis, dan mendesak anggota PBB untuk "mencegah aliran senjata" ke negara itu, di aparat keamanannya telah menewaskan hampir 900 orang - kebanyakan para pengunjuk rasa - sejak kudeta 1 Februari.
Empat dari 10 negara anggota ASEAN abstain dalam pemungutan suara untuk resolusi tersebut. Negara-negara tersebut adalah Kamboja, Laos, Thailand, dan ketua ASEAN tahun ini Brunei.
Malaysia, Indonesia, dan Singapura sebelumnya menyatakan frustrasi mereka atas penundaan penunjukan utusan blok itu, di tengah laporan adanya perbedaan pendapat antara negara-negara anggota mengenai masalah ini dan bahkan tentang bagaimana menangani Myanmar.
Kyodo News Jepang melaporkan pada hari Selasa, tanpa menyebutkan sumbernya, bahwa Thailand, Indonesia dan Malaysia ingin calon mereka sendiri ditunjuk sebagai utusan.
Dalam tanggapan tertulis atas pertanyaan parlemen, Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan mengakui pada hari Selasa bahwa keterlambatan ASEAN dalam mengimplementasikan konsensus “lambat dan sedikit mengecewakan.”
Namun, dia mengatakan kepada parlemen, “[kami] bekerja di dalam ASEAN untuk mempercepat proses ini” untuk menjadikan Myanmar berada di tengah kenormalan melalui negosiasi dengan semua pemangku kepentingan.
“Ini tidak akan menjadi proses yang mudah atau cepat, dan keberhasilannya pada akhirnya terletak di tangan rakyat Myanmar. Meskipun demikian, ASEAN tidak akan goyah dalam komitmennya untuk memfasilitasi dan mendukung proses ini sejalan dengan konsensus lima poin itu,” kata Balakrishnan.
Namun, para kritikus melihat ASEAN telah kehilangan momentum yang dihasilkannya pada KTT 24 April di Jakarta. Kelambanan kolektif blok tersebut terhadap Myanmar, dalam pandangan mereka, telah mempertaruhkan legitimasi ASEAN, bahkan ketika blok tersebut bersikeras memainkan peran utama untuk menemukan solusinya.
Di antara para kritikus, Kenneth Roth, direktur eksekutif Human Rights Watch, mempertanyakan gagasan tentang apa yang disebut sentralitas ASEAN dalam menyelesaikan krisis Myanmar.
“Mengapa masih menunggu ASEAN untuk memimpin dalam mengembalikan keadaan di Myanmar ketika, lima bulan kemudian, ASEAN, terpecah dalam keputusasaan, bahkan tidak bisa membuahkan kesepakatan tentang seorang utusan khusus,” kata Roth melalui akun Twitternya.