‘Asimetris’: Antara Industri Sawit dan Kebakaran Hutan

Aktivis Wahana Lingkungan Hidup mengatakan yang digambarkan dalam ‘Asimetris’ adalah realitas di lapangan akibat pembangunan industri sawit.
Zahara Tiba
2018.03.14
Jakarta
180314-ID-Sawit-1000 Gambar dari film Asimetris, seorang warga membersihkan pohon sawitnya di Sumatera.
Zahara Tiba/BeritaBenar

Film dokumenter Asimetris (Asymmetric) besutan rumah produksi Watchdoc berkisah tentang kebakaran hutan di Indonesia dan ekspansi industri kelapa sawit.

Dalam film berdurasi 1:08 jam ini mengisahkan juga tentang rencana pemerintah yang akan membuka 11 juta hektar lahan sawit di seluruh Indonesia serta testimoni warga di berbagai daerah tentang bagaimana industri sawit telah merusak lingkungan mereka, bahkan sebelum kebakaran hutan melanda Kalimantan dan Sumatera beberapa tahun belakangan.

Ikan-ikan papuyuh khas Kalimantan mati. Kebun-kebun warga dirusak. Banjir mengancam. Protes warga yang tanahnya dirampas muncul di mana-mana.

Produksi film itu dimulai pertengahan tahun 2015, yakni ketika kebakaran hutan terburuk sepanjang sejarah terjadi di Indonesia, hingga awal 2018.

Bank Dunia mencatat dampak kebakaran hutan tahun 2015, Indonesia mengalami kerugian Rp 221 triliun, atau dua kali lipat dari dana untuk membiayai pembangunan kembali Aceh paska tsunami tahun 2004. Belum lagi jutaan orang yang terkena dampak kabut.

‘Persoalan laten’

CEO Watchdoc, Dandhy Dwi Laksono mengatakan, film itu dibuat agar publik mampu melihat kaitan erat industri sawit dan kebakaran hutan sebagai persoalan laten.

“Kemudian kami putuskan untuk mempertajam produksinya. Daerahnya diperluas tak hanya Kalimantan, tapi juga Papua dan Sumatera,” ujarnya kepada BeritaBenar, Rabu, 14 Maret 2018.

Film yang dirilis serentak lewat acara nonton bareng pada Selasa secara gratis di 27 kota itu, digarap oleh 13 orang videografer. Dandhy berharap peluncuran serentak itu bisa menimbulkan interaksi sosial dan pertukaran ide, gagasan, dan konsolidasi sosial kalangan warga, karena di sejumlah lokasi digelar diskusi.

Ditanya kenapa judul ‘Asimetris’, Dandhy berujar, “Dimensinya banyak, bisa berarti tentang tidak adanya pertukaran simetris antara industri monokultur dengan biodiversity.”

Gambar dari film Asimetris, tokoh adat Dayak melakukan ritual sebelum memulai masa turun ke ladang di Kalimantan. (Zahara Tiba/BeritaBenar)
Gambar dari film Asimetris, tokoh adat Dayak melakukan ritual sebelum memulai masa turun ke ladang di Kalimantan. (Zahara Tiba/BeritaBenar)

Tantangan global vs realita

Keputusan untuk menggenjot industri sawit adalah demi menjawab kebutuhan dunia komoditas yang menjadi bahan baku industri besar global: makanan, kimia dan bahan bakar.

Kementerian Perindustrian menargetkan produksi 40 juta ton minyak kelapa sawit mentah pada 2020. Saat ini, sehektar lahan kelapa sawit mampu memproduksi tiga ton sawit, jauh di bawah Malaysia yang memproduksi 12 ton sawit per hektar.

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI IPOA) di laman resminya, September lalu, menyebutkan bahwa Indonesia menjadi eksportir sawit terbesar di dunia dengan total produksi 33,4 juta ton tahun 2016.

Manajer Penanggulangan Bencana Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Mukri Friatna mengatakan apa yang digambarkan dalam ‘Asimetris’ adalah realitas yang terjadi sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan.

“Karena bukan hanya soal kebakaran hutan. Ekspansi industri kelapa sawit menimbulkan banyak sungai, seperti di Riau, 13 anakan sungai ditimbun,” ujarnya kepada BeritaBenar.

Pembangunan industri sawit, tambah Mukri, menimbulkan masalah sejak pra produksi. Pertama, saat pembukaan lahan biasanya timbul konflik sosial dan lingkungan.

“Banyak tanah yang tak termasuk konsesi perkebunan kelapa sawit, sertifikat warga diambil dan tak dikembalikan. Yang melawan akan ditangkap. Tanah kemudian ditimbun, padahal daerah rawa gambut. Pasti hancurlah,” tegasnya.

Kedua, saat perkebunan beroperasi biasanya timbul pencemaran akibat limbah.

“Sepekan lalu saya menerima laporan di Sumatera Utara ada perkebunan sering buang limbah ke perairan sungai. Bukan limbah cairnya saja, tapi olinya. Ini kan mengandung B3, bahan berbahaya dan beracun,” katanya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.