Autis Diklaim Bisa Sembuh

Kementerian Kesehatan menyatakan, kelainan autis masih tetap menjadi misteri karena belum ditemukan cara ilmiah dalam pengobatannya.
Gunawan
2018.03.16
Balikpapan
autisme-620 Rudy Sutadi (menggendong bocah autis) didampingi rekannya saat melakukan konseling dengan orang tua anak di Balikpapan, Kalimantan Timur, 10 Maret 2018.
Dok. Ponpes Hidayattulah

Dokter Rudy Sutadi memperhatikan tingkah bocah 4 tahun di hadapannya yang tampak sangat aktif. Ada saja yang dikerjakannya. Larangan orang tua si bocah seolah dianggap angin lalu.

“Seperti inilah ciri-ciri anak autis, semuanya sama,” kata konsultan penyakit autis ketika ditemui BeritaBenar di Balikpapan, Kalimantan Timur (Kaltim), Sabtu, 10 Maret 2018.

Bila sudah begini, lanjutnya, orang sekitar harus mampu menciptakan rasa nyaman bagi penderita autis.

Tutur kata lemah lembut untuk membuat proses pendekatan dapat berjalan lancar.

Lalu, Rudy mengenalkan satu per satu perbendaharaan kalimat kepada si bocah. Setiap kalimat dilafalkan berulang-ulang agar tertanam di alam pikiran anak autis.

“Terapis pengenalan satu kata bisa membutuhkan waktu sebulan, tergantung kondisi anak dan usianya,” paparnya.

Itulah metode applied behavior analysis (ABA) yang fokus mengajarkan anak autis lancar bicara, akademik dan interaksi sosial.

Terapi tersebut ditunjang dengan biomedical intervention therapy (BII) atau pemberian suplemen, obat-obatan dan diet ketat.

Terapis bertujuan agar pasien autis memiliki kemampuan komunikasi pada lawan bicara.

Saat anak autis telah mampu berkomunikasi, kata Rudi yang merupakan seorang dokter anak, menjadi titik awal pengajaran seperti materi anak normal.

“Anak autis terkesan IQ-nya di bawah anak bodoh. Padahal tidak benar, mereka hanya tak memahami apa yang kita sampaikan,” paparnya.

Autis adalah gangguan nerobiologis dengan gejala kesulitan interaksi sosial, komunikasi verbal - non verbal dan perilaku berulang.

Di Indonesia, jumlah penderita autis diperkirakan mencapai 1,5 juta orang.

Menurut Rudi, banyaknya penderita autis akibat imbas negatif perkembangan teknologi dan polusi industri, zat kimia makanan, kosmetik hingga pengharum ruangan, sehingga tanpa sengaja memapar metabolisme kandungan ibu hamil.

Beberapa kajian menyimpulkan, metabolisme tubuh penderita autis tak kebal terhadap susu, keledelai, gandum, jagung, gula dan bumbu penyedap.

Setelah semua program membuahkan hasil, anak autis disarankan menjalani pendidikan reguler dengan tetap didampingi. Secara bertahap, pendampingan ditinggalkan sesuai kemampuan anak.

“Biasanya sudah tidak didampingi saat kelas 6 SD. Proses terapi juga dikurangi secara bertahap,” sebutnya.

Rudy menjamin, terapi yang dikembangkannya memberi kesembuhan 100 persen bagi pasien autis. Tercatat, 31 dari 90 pasien autis yang ditanganinya dinyatakan sembuh total.

“Pasien tersisa akibat orang tua tidak disiplin menjalankan program diet, terapi hingga konsumsi suplemen,” paparnya, seraya menambahkan butuh waktu minimal tiga tahun untuk menjalani terapi tersebut.

“Biaya terapis autis harus diakui sangat mahal. Apalagi prosesnya bertahun-tahun,” ujarnya.

Meragukan

Sukartini, Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Kaltim meragukan klaim Rudy, dengan menyatakan, autis merupakan kelainan genetis perkembangan sistem syaraf bawaan yang belum ditemukan penanganan ilmiahnya.

“Kalau saya ragu penyakit autis bisa disembuhkan 100 persen,” kata Sukartini kepada BeritaBenar.

Menurutnya, ilmu kedokteran hanya mampu mengupayakan perilaku autis mendekati anak normal dan dalam kesehariannya, pasien autis masih menunjukkan gejala perilaku bawaan kelainan kelainan ini.

“Perlu dipastikan lagi, apakah benar anak ini autis atau tidak. Saya tetap ragu penyakit autis bisa sembuh sempurna. Kalau mendekat normal bisa saja terjadi,” tegasnya.

Kementerian Kesehatan menyatakan, kelainan autis masih tetap menjadi misteri dalam penangannya karena hingga kini belum ditemukan cara ilmiah dalam pengobatannya.

“Belum ada penanganan medis paling tepat menangani permasalah autis,” kata Direktur Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan, Fidiansyah saat dihubungi, Kamis.

Beberapa dokter memang menerapkan terapi metode ABA dan BII dalam pengobatan autis.

Namun dalam beberapa kejadian, menurut Fidiansyah, metode terapis ini tidak mampu mengobati permasalahan autis anak hingga sembuh total.

Demikian pula menyangkut metode diet makanan yang menjadi pantangan anak-anak autis karena beberapa pakar kesehatan dan gizi menyebutkan soal pelaksanaannya tidak ada kaitan dalam penyembuhan autisme.

“Kesepakatannya masih belum solid menyimpulkan cara-cara penanganannya,” ujarnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.