Didakwa Suap Penyidik KPK, Mantan Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin Disidang

Eks penyidik KPK dan pengacara penerima suap juga dituntut dakwaan.
Arie Firdaus
2021.12.06
Jakarta
Didakwa Suap Penyidik KPK, Mantan Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin Disidang Foto udara yang diambil pada 24 September 2021 ini memperlihatkan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta.
AFP

Mantan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Azis Syamsuddin pada Senin (6/12) didakwa telah memberi suap kepada eks penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan seorang pengacara guna membantu menghentikan pengusutan kasus rasuah yang menyeret namanya.

Azis dituduh menyuap penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju dan pengacara Maskur Husain dengan nilai keseluruhan bernilai Rp3,64 miliar-- supaya tidak ditetapkan sebagai tersangka dugaan gratifikasi dalam pengurusan Dana Alokasi Khusus (DAK) Lampung Tengah pada 2017, kata jaksa penuntut Lie Putra Setiawan.

Selain Azis, dugaan gratifikasi DAK Lampung Tengah juga menyeret sejawatnya di Partai Golkar yakni Aliza Gunado. Namun keduanya sampai kini belum ditetapkan sebagai tersangka gratifikasi terkait DAK ini oleh KPK.

"Mengetahui dirinya (Azis) dan Aliza diduga melakukan korupsi penerimaan hadiah DAK Lampung, terdakwa berusaha agar dirinya tidak dijadikan tersangka oleh KPK," ujar Lie.

Azis dijerat Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman maksimal lima tahun penjara.

Sementara Aliza belum berstatus tersangka dalam kasus suap kepada Robin dan Maskur.

Dikatakan Lie, Azis diperkenalkan kepada Robin lewat seniornya semasa di kepolisian, AKP Agus Supriyadi. Agus yang kini menjabat Wakil Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polrestabes Semarang sempat diperiksa KPK sebagai saksi dalam perkara ini.

Seusai perkenalan dan berkomunikasi, Azis dan Robin lalu bersepakat untuk bertemu di rumah dinas Azis pada awal Agustus 2020. Maskur dan Aliza turut hadir dalam pertemuan tersebut, menurut dakwaan.

Dalam kesempatan itu, Azis diduga secara langsung meminta Robin dan Maskur untuk menutup kasusnya di KPK. Keduanya menyanggupi, tapi meminta uang sebagai imbalan, demikian kata jaksa.

"Imbalan pengurusan perkara itu dibagi dua oleh Azis dan Aliza, masing-masing Rp2 miliar," lanjut jaksa. 

Terkait permintaan imbalan, Robin dan Maskur menjalani sidang tuntunan pada Senin di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. 

Sebagai bentuk komitmen meminta bantuan, Azis memberikan uang muka sebesar Rp300 juta kepada Robin dan Maskur. Sisanya diberikan secara bertahap sejak 5 Agustus 2020 hingga Maret 2021 hingga mencapai Rp3,64 miliar. 

"Perbuatan terdakwa yang memberikan uang itu bertentangan dengan kewajiban Robin Pattuju selaku penyelenggara negara untuk tidak melakukan perbuatan korupsi," pungkas Lie.

Seusai pembacaan dakwaan, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sempat memperingatkan Azis untuk tidak mengulang aksinya yang memberikan suap kepada penegak hukum dengan mengatakan, "Tidak usah berpikir untuk "mengurus" perkara saudara.”

"Apalagi berpikir untuk melakukan ‘pendekatan-pendekatan’ ke majelis hakim. Mohon tidak dilakukan,” kata Ketua Majelis Muhammad Damis.

Azis tidak mengomentari pernyataan majelis hakim tersebut. 

Adapun mengenai dakwaan jaksa, dia menerimanya sehingga tidak mengajukan keberatan atau eksepsi.

Sidang lanjutan akan digelar pada Senin pekan depan dengan agenda pembuktian dakwaan oleh jaksa. 

Azis ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap kepada penyidik KPK Robin dan pengacara Maskur pada 25 September 2021.

Dugaan permitaan gratifikasi Azis dan dan Aliza terungkap dari pernyataan mantan Bupati Lampung Tengah Mustafa di persidangan. Mustafa telah divonis empat tahun penjara dan ditahan di Lapas Sukamiskin Bandung.

Menurut Mustafa, Azis meminta bayaran sebesar delapan persen dari nilai DAK 2017 Lampung Tengah yang tengah dibahas di Badan Anggaran DPR —kala itu dipimpin Azis. Pemerintah Lampung Tengah mengajukan perubahan dari Rp23 miliar menjadi Rp30 miliar.

Selain Mustafa, terpidana lain dalam korupsi DAK Lampung Tengah adalah Ketua DPRD setempat Achmad Junaidi yang telah divonis empat tahun penjara.

Tuntutan Robin dan Maskur

Jaksa Lie di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Senin juga membacakan tuntutan untuk Robin dan Maskur.

Robin dituntut 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan. Ia pun dituntut pidana tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp2,3 miliar selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Andaikata tidak membayar pengganti, Robin bakal dipenjara selama dua tahun.

Sementara Maskur dituntut sepuluh tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan. Dia pun dituntut pidana tambahan kewajiban membayar ganti rugi Rp8,7 miliar. Jika tak membayar, diganti penjara selama lima tahun.

Keduanya diyakini jaksa bersalah karena telah bekerja sama meyakinkan sejumlah orang yang berperkara di KPK untuk meminta bantuan mereka dengan timbal balik uang.

“Berdasarkan fakta hukum telah dibuktikan bahwa terdakwa Robin dan Maskur telah menerima uang dari masing-masing orang yang meminta bantuan mereka,” kata jaksa Lie.

Secara total, kerja sama lancung itu disebut jaksa telah menghasilkan sekitar Rp11 miliar. Robin menerima bagian sebanyak Rp2,3 miliar dan Maskur senilai Rp8,7 miliar.

Dikatakan jaksa Lie, Robin dan Maskur tidak hanya menerima suap dari Azis, namun juga dari terdakwa lain yang berperkara di KPK. 

Mereka adalah Wali Kota Tanjung Balai nonaktif Muhammad Syahrial sebesar Rp1,6 miliar, eks Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna Rp500 juta, mantan Bupati Kutai Kertanegara Rita Widyasari sejumlah Rp5,1 miliar, dan Usman Effendi sebanyak Rp500 juta, kata jaksa.

Dalam pertimbangan memberatkan, jaksa menyebut Robin telah merusak kepercayaan masyarakat terhadap KPK dan kepolisian serta tidak mengakui kesalahannya.

Sementara Maskur dinilai telah mencederai profesi advokat karena terlibat dalam kasus suap.

Robin dan Maskur akan menyampaikan pembelaan atas tuntutan jaksa pada 20 Desember mendatang.

Dalam survei yang digelar Indikator Politik Indonesia 1-6 November 2021, tingkat kepercayaan publik terhadap KPK menurun sejak 2019. KPK berada di peringkat delapan dengan tingkat kepercayaan 59 persen, di bawah kepolisian yang berada di urutan tiga sebanyak 80 persen.

Padahal menurut lembaga tersebut, KPK biasanya selalu berada di posisi tiga besar.

Posisi pertama ditempati TNI sebanyak 95 persen, diikuti Presiden 86 persen.

“Ada tren peningkatan ketidakpercayaan terhadap KPK,” kata Direktur Eksekutif Indikator Burhan Muhtadi dalam diskusi daring pada Minggu (5/12).

Megenai survei itu, juru bicara KPK kepada wartawan pada Senin mengatakan, “Kami selalu melihat riset yang mengukur persepsi publik sebagai feedback sekaligus bahan masukan.”

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.