Ratna Sarumpaet dan Bahar bin Smith Disidang
2019.02.28
Jakarta

Seniman dan aktivis politik Ratna Sarumpaet dan ulama Bahar bin Smith, diadili untuk kasus berbeda di pengadilan terpisah, Kamis, 28 Februari 2019.
Ratna (69) disidang untuk kasus dugaan menyebarluaskan kabar bohong penganiayaan terhadap dirinya, dan terancam hukuman sepuluh tahun penjara.
Sedangkan, Bahar (33) yang didakwa pasal penganiayaan dan perampasan kemerdekaan serta kekerasan terhadap anak di bawah umur, terancam hukuman maksimal delapan tahun penjara.
"Terdakwa menceritakan mengenai penganiayaan dan mengirimkan foto dalam keadaan bengkak merupakan rangkaian kebohongan terdakwa untuk mendapat perhatian dari masyarakat, termasuk tim pemenangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno," kata jaksa Payaman dalam pembacaan dakwaan Ratna di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
"Padahal wajah lebam dan bengkak terdakwa merupakan akibat tindakan medis operasi perbaikan muka di rumah sakit khusus bedah Bina Estetika di Menteng."
Klaim penganiayaan diutarakan Ratna, awal Oktober 2018.
Ratna yang saat itu adalah salah seorang anggota utama tim kampanye Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, dan sangat vocal dalam mengecam pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, mengaku telah dianiaya sejumlah orang tak dikenal pada 21 September 2018 di kawasan Bandar Udara Husein Sastranegara Bandung, Jawa Barat.
Kabar ini menyebar cepat di antara tokoh-tokoh oposisi pemerintah seperti Amien Rais, Fahri Hamzah, Fadli Zon, hingga Rizal Ramli.
Calon presiden Prabowo Subianto bahkan sampai menggelar konferensi pers mendesak pemerintah mengusut dugaan penganiayaan terhadap Ratna.
Belakangan, penyidikan kepolisian menemukan bahwa Ratna tidak mengalami penganiayaan, melainkan lebam di wajahnya itu disebabkan oleh operasi plastik yang dilakukannya.
Polisi akhirnya menetapkan Ratna sebagai tersangka pada 4 Oktober 2018 dengan dugaan melanggar Peraturan Hukum Pidana dan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Akibat rangkaian cerita bohong terdakwa yang seolah-olah benar terjadi penganiayaan disertai dengan mengirim foto wajah dalam kondisi bengkak dan cuitan serta konferensi pers, mengakibatkan kegaduhan di kalangan masyarakat," lanjut jaksa Payaman.
Salam dua jari
Seusai persidangan, Ratna menyebut terdapat sejumlah kekeliruan dalam dakwaan jaksa.
"Banyak saya berselisih pendapat dengan fakta (dakwaan). Tapi itu nanti akan dipersoalkan di persidangan," ujar Ratna.
"Saya sebenarnya hanya ingin mengatakan bahwa saya salah. Tapi sebenarnya yang terjadi di lapangan dan peristiwa penyelidikan, ada ketegangan luar biasa yang membuat saya sadar bahwa ini memang politik," tambahnya.
Sidang lanjutan akan digelar pada Rabu pekan depan dengan agenda pembacaan eksepsi atau pembelaan Ratna.
Saat memulai persidangan ia sempat mengacungkan dua jari --salam khas pendukung Prabowo-- ke arah kursi pengunjung.
Menanggapi persidangan Ratna, Andre Rosiade, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Gerindra - partai pimpinan Prabowo, mengaku tak ambil pusing.
Andre sempat terihat hadir di area Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tapi tidak berada di ruang sidang.
"Enggak ada urusan sama Mak Lampir. Ada urusan lain," ujar Ade, merujuk pada Ratna, “yang pasti kami korban. Mari kita tunggu saja sidang."
Pasca investigasi polisi yang mendapati dirinya berbohong, Ratna memang langsung dipecat dari keanggotaan BPN Prabowo-Sandi.
Dalam pernyataan di Mapolda Metro Jaya seusai persidangan, Ratna mengaku memang tidak mendapat dukungan BPN Prabowo-Sandiaga dalam menjalani proses hukum yang membelitnya.
Dukungan, katanya, hanya berasal dari anak-anak dan keluarga.
Dakwaan Bahar
Dalam waktu hampir bersamaan di Pengadilan Negeri Kota Bandung di Jawa Barat, jaksa juga membacakan dakwaan terhadap Bahar bin Smith.
Menurut jaksa, Bahar dan beberapa pengikutnya telah melakukan kekerasan fisik terhadap dua remaja laki-laki MHU (17) dan CAJ (18).
"Hasil visum MHU menyatakan ia mengalami memar pada sisi pelipis kanan, telinga kanan, kelopak mata kanan dan kiri, pipi kanan, luka lecet pada lengan kiri, bahu kanan, pendarahan pada selaput bening bola mata kanan dan kiri akibat kekerasan tumpul," ujar jaksa.
Ditambahkan, penganiayaan bermula ketika Bahar mengetahui kedua korban pernah mengaku sebagai dirinya saat berada di Bali pada 2015.
Atas instruksi Bahar, korban dianiaya di Pondok Pesantren Tajul Alawiyyin miliknya di Pabuaran, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Peristiwa itu terjadi pada 1 Desember 2018.
"Kepala saksi korban MHU bahkan dijadikan tempat atau asbak untuk mematikan rokok oleh seorang santri yang bertato. Kemudian keduanya dibiarkan, dengan dijaga santri-santri dan baru diperbolehkan pulang pada pukul 22.00 WIB oleh terdakwa," lanjut jaksa.
Aziz Yanuar selaku kuasa hukum Bahar menilai proses hukum yang menjerat kliennya penuh intrik politik karena dia selama ini anti terhadap pemerintah.
Sebuah video ceramah Bahar yang menyebut Jokowi sebagai banci dan pro non –Muslim sempat beredar viral pada November tahun lalu. Karena video itu, ia sempat dilaporkan ke polisi atas dugaan kebencian.
Bahar bersama kelompoknya sering melakukan penutupan paksa tempat-tempat hiburan yang dianggap melanggar syariat di wilayah Jakarta dan Tangerang, menurut laporan media.
"Dari awal sudah kelihatan. Kasus-kasus yang kontra rezim diproses. Sementara kasus seperti Ade Armando atau Sukmawati tidak diproses," kata Aziz kepada BeritaBenar.
Sepanjang persidangan sekitar dua jam, puluhan orang yang tergabung dalam Front Pembela Islam (FPI) berunjuk rasa di depan gedung pengadilan mendesak penegak hukum membebaskan Bahar.
Sidang lanjutan Bahar akan digelar pada Rabu pekan depan dengan agenda pembacaan eksepsi.