Bakamla Investigasi 2 Kapal Tanker Asing di Perairan Kalimantan
2021.01.25
Jakarta

Badan Keamanan Laut (Bakamla) Indonesia menginvestigasi dua kapal tanker berbendera asing atas dugaan pelanggaran jalur pelayaran dan kegiatan transfer minyak di perairan sekitar Kalimantan Barat, Senin (24/1).
Dua kapal supertanker tersebut, MT Horse dan MT Freya--masing-masing berbendera Iran dan Panama, disita KN Marore-322 milik Bakamla pada Minggu siang karena menurunkan jangkar di luar Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I di sekitar perairan Pontianak dan mematikan sistem pelacakan kapal otomatis (AIS), sebut juru bicara Bakamla Wisnu Pramandita.
“KN Marore awalnya mendapat kontak yang anomali, tidak biasa di radar, ada benda besar tapi diam. Setelah itu didekati, ternyata kapal tanker berbendera asing. Kapal besar, supertanker,” kata Wisnu kepada BenarNews.
Dalam pelacakan tersebut, lanjut Wisnu, KN Marore juga sempat melakukan komunikasi namun tidak mendapat respons dari kedua kapal. Melalui koordinasi dengan pejabat Bakamla, tim kemudian melakukan penggeledahan ke dua kapal tersebut.
“Kapal ini diduga melakukan empat pelanggaran, selain melanggar hak lintas ALKI Indonesia, jalur yang boleh dilalui kapal asing, mereka juga ternyata melakukan transfer minyak di situ,” kata Wisnu.
Adapun dugaan pelanggaran lainnya adalah kapal mematikan AIS dan menutupi identitas di lambung kapal dan membuang limbah minyak di perairan Pontianak.
Dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) dijelaskan Lintas Alur Laut Kepulauan sebagai pelaksanaan hak pelayaran dan penerbangan hanya dapat digunakan untuk lintas yang terus menerus, langsung dan tidak terhalang oleh zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan laut bebas.
Kendati demikian, pemerintah Indonesia mewajibkan setiap kapal baik berbendera Indonesia maupun asing yang berlayar di wilayah perairan Nusantara untuk memasang dan mengaktifkan AIS.
Wisnu mengatakan, sampai Senin sore masih dilakukan koordinasi membawa kedua kapal ke pelabuhan terdekat untuk pemeriksaan lebih lanjut. “Untuk proses unmooring ini membutuhkan pilot atau pandu karena kapalnya besar-besar,” kata Wisnu.
Bakamla menyebut MT Horse mengangkut 30 awak berkewarganegaraan Iran, sementara MT Freya membawa 25 kru berkewarganegaraan Cina.
Kantor berita Reuters melaporkan bahwa tanker Freya dikelola oleh perusahaan China bernama Shanghai Future Ship Management Co.
Dihubungi terpisah, Direktur Operasi Laut Bakamla Laksamana Laut Pertama Suwito mengatakan pemeriksaan akan dilakukan Bakamla dengan dengan kementerian dan lembaga terkait.
“Sedang kita koordinasikan,” kata Suwito kepada BenarNews.
Respons Kemlu Iran
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Saeed Khatibzadeh, meminta Indonesia memberikan penjelasan soal penangkapan kapal tanker milik negaranya tersebut. “Kami telah meminta informasi yang lebih detail terkait laporan penyitaan ini,” kata Saeed dalam konferensi pers yang disiarkan televisi lokal yang dikutip Reuters, Senin.
Saeed menyebut MT Horse tengah mengalami masalah teknis yang umum terjadi di pelayaran. “Organisasi pelabuhan dan perusahaan pemilik kapal sedang mencari tahu penyebab dan penyelesaiannya,” sambung Saeed.
Sementara itu, juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah kepada BenarNews mengatakan pihaknya belum melakukan komunikasi formal dengan negara terkait perihal insiden ini.
Data yang dihimpun Reuters dari situs pelacakan pelayaran Refinitiv Eikon menyebut dua tanker yang mampu membawa 2 juta barel minyak ini terakhir kali terlihat di lepas pantai Singapura pada awal Januari 2021. Saat berada di posisi itu, tanker MT Horse diketahui dalam posisi hampir penuh, sementara MT Frea dalam keadaan kosong.
Amerika Serikat (AS) memberlakukan embargo ekspor minyak kepada Iran setelah mantan Presiden Donald Trump menarik diri dari kesepakatan nuklir pada 2018. Untuk menyiasati sanksi tersebut, Iran dikabarkan kerap menonaktifkan sistem pelacakan pada kapal tanker minyaknya ketika bertransaksi dengan sejumlah negara secara diam-diam.
Tetapkan denda
Pengamat kemaritiman dari The National Maritime Institute (Namarin) - lembaga think-tank independen, Siswanto Rusdi, mengatakan posisi Indonesia dalam penyitaan dua tanker minyak milik asing ini lemah karena tidak diikuti prosedur penangkapan yang resmi.
“Kita tidak punya legal standing yang kuat. Penangkapan, apalagi penyitaan, harus didukung dengan surat dari pengadilan atau lembaga yang ditunjuk untuk melakukan itu, minimal 2x24 jam. Persoalannya apakah Bakamla mempunyai surat tersebut?” kata Rusdi kepada BenarNews.
“Sekitar 3-4 tahun lalu, TNI AL juga pernah tangkap kapal asing, pemiliknya tidak terima dan dibawa ke pengadilan. Kita kalah. Akan sangat memalukan kalau ini terjadi lagi,” lanjutnya.
Selain kekuatan hukum, Rusdi mengatakan aktivitas transfer minyak atau ship-to-ship pada jalur pelayaran internasional seperti yang dilakukan MT Horse dan MT Frea adalah sah menurut hukum. “Ship-to-ship itu praktik bisnis, dan itu tidak harus selalu dilakukan di pelabuhan apalagi yang kita bicarakan adalah kapal super-besar seperti ini,” katanya.
Rusdi menyarankan pemerintah dan otoritas menetapkan denda khusus kepada kapal asing yang melakukan pelanggaran di jalur pelayaran daripada melakukan penangkapan yang berpotensi memicu ketegangan bilateral.
“Di Singapura, ship-to-ship itu jadi bisnis. Kita tidak punya fasilitas itu di ALKI kita, harusnya pemerintah bisa pungut bayaran dan buat yang melanggar kenakan denda. Sosialisasikan aturan itu ke internasional,” katanya.
Pejabat Bakamla tidak merespons saat BenarNews mencari konfirmasi perihal surat penyitaan kapal.
Pada awal tahun, Iran menyita tanker milik Korea Selatan yang mengangkut 20 kru, termasuk dua WNI, dengan alasan kapal mencemarkan laut negara Timur Tengah itu. Proses negosiasi antara pemerintah Korea Selatan dengan Iran masih berlangsung.
Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha pada pekan lalu memastikan kedua WNI yang masih berada di atas kapal di perairan kawasan Bandar Abbas, Iran, dalam kondisi sehat.
Kapal ikan Taiwan
Sementara itu, sembilan nelayan dari kapal penangkap ikan berbendera Taiwan masih menjalani pemeriksaan di Pangkalan TNI Angkatan Laut (AL) Ranai, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, yang tertangkap karena melakukan kegiatan ilegal di ZEE Indonesia pada Jumat pekan lalu.
“Saat ini masih dalam proses pemeriksaan nakhoda dan ABKnya,” kata Kepala Dinas Penerangan Komando Armada I TNI AL, Letkol Laut Fajar Tri Rohadi, kepada BenarNews, Senin.
Hai Chien Hsing 20 dengan bobot 70 Gross Ton (GT) ditangkap saat tengah menangkap ikan di perairan Laut Natuna Utara, pada Jumat siang. Fajar mengatakan, KRI Usman Harun-359 yang melakukan pengejaran menemukan ikan sebanyak 12 ton di dalam kapal tersebut.
“Dari pemeriksaan awal, kapal tidak dilengkapi dokumen perizinan dan menggunakan alat tangkap yang tidak sesuai aturan,” kata Fajar.
Dua dari sembilan kru kapal adalah warga negara Taiwan, termasuk nakhoda kapal, Hu Shih Jung. Sementara tujuh kru lainnya adalah WNI. Hai Chien Hsing 20 diduga melanggar UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan denda maksimal Rp20 miliar.