‘Bali Process’ Diharapkan Percepat Penanganan Pengungsi
2016.03.23
Jakarta

Negara-negara anggota Deklarasi Bali terkait Penyeludupan Manusia, Perdagangan Orang dan Kejahatan Transnasional yang lebih dikenal dengan “Bali Process” sepakat untuk membentuk mekanisme regional dalam percepatan penanganan migran, termasuk pencari suaka dan pengungsi.
“Melalui mekanisme ini, ketua bersama bisa membangun komunikasi dengan negara-negara terkait baik negara asal, negara transit, maupun negara tujuan kalau terdapat situasi mendesak,” jelas Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno L.P. Marsudi seperti tercantum dalam rilis yang diterima BeritaBenar.
Pembentukan mekanisme regional itu tertuang dalam dua dokumen, yaitu Co-chairs' Statement dan Bali Declaration, yang dihasilkan dalam pertemuan selama dua hari di Nusa Dua, Bali, pada 22 – 23 Maret 2016.
Menurut Retno, persoalan migran semakin kompleks dari tahun ke tahun karena banyak orang meninggalkan negara asal akibat konflik, perang dan kerusuhan yang terjadi di berbagai belahan dunia.
Hal ini diperparah dengan adanya korupsi, dan unsur pidana lainnya yang membuat status pengungsi ilegal makin tidak sejahtera dan sebagian mereka tewas saat dalam menempuh perjalanan penuh bahaya.
“Kriminal dan penyelundupan manusia masih saja terjadi, sementara pengungsi dan pencari suaka terus berdatangan sehingga menjadi masalah besar yang kompleks,” ujarnya.
Pendekatan menyeluruh
Konferensi yang diketuai Menlu Retno bersama Menlu Australia, Julie Bishop ini juga menekankan pentingnya pendekatan regional menyeluruh dengan prinsip berbagi beban dan tanggung jawab bersama.
Bali Process juga mengupayakan keselamatan dan perlindungan migran dan korban kejahatan transnasional serta mendukung upaya penyelesaian masalah, termasuk dalam investasi berbasis masyarakat.
Caranya ialah “Mengurangi kemiskinan, pengangguran dan menyediakan pendidikan dasar bagi para pengungsi,” ujar Retno.
Pertemuan juga sepakat meningkatkan pemberantasan kejahatan transnasional yang terorganisir, termasuk kerja sama ekstradisi dan menjajaki mekanisme pemulangan non-sukarela.
Bali Process, pertama kali diselenggarakan tahun 2002, merupakan pertemuan yang diselenggarakan untuk menjawab masalah penyelundupan manusia, perdagangan orang, dan tantangan dalam migrasi ireguler di kawasan Asia Pasifik.
Konferensi keenam kali ini diikuti 303 delegasi, termasuk 16 menteri dari 54 negara. Pertemuan ini digelar saat pengungsi Suriah masih terus membanjiri sejumlah negara Eropa.
Selain itu juga hadir 12 negara pengamat dan delapan organisasi internasional untuk isu migrasi, seperti Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) dan Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR).
Harapkan dukungan UNHCR
Indonesia mengharapkan dukungan UNHCR untuk bekerjasama dalam mempercepat penanganan pengungsi dan pencari suaka di negeri ini.
“Sebagai negara transit, Indonesia menghargai peran dan dukungan UNHCR dalam penanganan pengungsi,” kata Retno.
Asisten Komisaris Tinggi untuk Perlindungan UNHCR, Volker Türk mengatakan akan memperkuat kerjasama pencarian, penyelamatan, perlindungan sementara serta jaminan hukum bagi para pengungsi dan pencari suaka.
“Berbagi tanggung jawab merupakan satu-satunya cara untuk mengatasi tantangan ini sementara kami berusaha untuk memperkecil peluang terjadinya migran illegal,” ujarnya.
Menurutnya, 60 juta orang kehilangan rumah, pekerjaan serta masa depan karena konflik atau perang di berbagai negara.
“Tidak satupun negara bebas dari dampak tersebut dan bebas dari penyelundupan dan perdagangan manusia,” jelas Volker.
Jurubicara UNHCR Indonesia, Mitra Salima mengatakan, pengungsi etnis Rohingya di Aceh saat ini jumlahnya telah berkurang menjadi sekitar 300 orang. Sebelumnya saat diselamatkan dari laut Mei tahun lalu, jumlah mereka lebih dari 1.000 orang.
“Diduga mereka ke Malaysia namun kami juga tidak dapat memastikan semuanya ke Malaysia,” katanya saat dikonfirmasi BeritaBenar.
Berdasarkan data UNHCR, sampai Februari 2016 terdapat total 13.829 migran yang terdiri dari 7.560 pencari suaka dan 6.269 pengungsi di Indonesia.
Mereka berasal dari 44 negara. Dari jumlah itu, terdapat 1.030 pengungsi Rohingya, termasuk yang berada di Aceh.
Bersatu melawan terorisme
Di sela-sela pertemuan itu, Menlu Indonesia juga menyerukan semua anggota Bali Process untuk bersatu melawan terorisme.
"Kita mengecam keras aksi teror dan mari kita bersatu dalam melawan terorisme," tegas Retno seperti dikutip Kantor Berita Antara.
Seruan itu dikatakannya menanggapi aksi serangan dan peledakan bom di Bandara Zaventem dan Stasiun Metro Maalbeek Brussels, Belgia. Dalam insiden Selasa itu, sedikitnya 35 orang tewas dan lebih dari 200 lainnya luka-luka.
Sementara itu, KBRI Brussels melaporkan terdapat tiga Warga Negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban luka akibat bom bunuh diri di Bandara Zaventem.
Korban adalah seorang perempuan dengan dua anaknya, yang berada di bandara karena sedang menunggu penerbangan untuk berlibur ke Indonesia. Sang suami adalah orang Belgia dan tidak berada di lokasi saat ledakan.
“Akibat ledakan bom, ketiganya luka-luka. Saat ini ibu dan satu anak perempuannya dalam perawatan intensif di bagian gawat darurat University Hospital Lauven (UHL). Satu anak lainnya juga luka-luka di rumah sakit yang sama namun kondisinya lebih stabil,” jelas juru bicara Kemlu, Arrmanatha Nasir.
Kedua anak dari perempuan itu masih berusia di bawah 18 tahun sehingga mereka memiliki kewarganegaraan ganda.
KBRI telah menawarkan bantuan dan dukungan yang diperlukan bagi ketiga korban. Selain itu, tambahnya, KBRI juga terus memantau kondisi korban melalui WNI yang menjadi dokter di rumah sakit tersebut.