Penolakan Reklamasi Teluk Benoa Meluas
2016.06.15
Denpasar

Nyaris tiada minggu tanpa aksi tolak reklamasi di Bali. Desa-desa adat yang menolak rencana reklamasi Teluk Benoa terus bertambah. Saat ini, sudah lebih 35 desa adat yang menolak rencana pembangunan pusat pariwisata di Bali bagian selatan itu.
Bersamaan dengan perayaan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, 5 Juni 2016, berbagai komunitas di beberapa tempat di Bali dan Jakarta melakukan aksi tolak reklamasi di Teluk Benoa.
“Kami minta Presiden Jokowi segera membatalkan Perpres Nomor 51 tahun 2014,” kata Wayan Agus Muliana, seorang peserta aksi di Gianyar.
Perpres (Peraturan Presiden) No. 51 tahun 2014 adalah tentang rencana tata ruang kawasan perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan. Salah satu poin dalam aturan tersebut adalah mengubah peruntukan Teluk Benoa dari kawasan konservasi perairan menjadi zona budi daya yang dapat direklamasi maksimal seluas 700 hektar.
Tetapi, hingga kini belum ada tanggapan dari Presiden Joko “Jokowi” Widodo terkait gencarnya penolakan dari warga Bali terkait rencana reklamasi Teluk Benoa. Kendati beberapa kali mengunjungi Bali, Jokowi tak menyinggung masalah yang dituntut warga.
Aksi dengan peserta lebih banyak terjadi 29 Mei 2016 lalu. Sekitar 20 ribu warga adat, komunitas, maupun individu yang tergabung dalam Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI) melakukan aksi di Renon, Denpasar, kawasan pusat pemerintahan Provinsi Bali.
Aksi itu digelar Desa Adat Renon yang juga anggota Pasubayan (Perhimpunan) Desa Pekraman Tolak Reklamasi Teluk Benoa. Peserta aksi datang dari berbagai kabupaten yang ada di Bali.
Mengenakan pakaian adat madya (informal) warga membawa bendera dan poster-poster penolakan “Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa”, “Batalkan Perpres No 51 tahun 2014”.
Menurut Kelian Adat Desa Pekraman Renon, Made Sutama, penolakan tersebut hasil rapat pengurus desa pada 8 April 2016. Warga pekraman (adat) sepakat menolak rencana pembangunan pusat pariwisata di Teluk Benoa, yang terletak antara segitiga emas pariwisata Bali yaitu Sanur, Kuta, dan Nusa Dua.
Terkait maraknya aksi penolakan itu, Gubernur Bali I Made Mangku Pastika dalam satu kesempatan pernah menyatakan, “Reklamasi jadi atau tidak itu bukan urusan saya. Tugas saya menjelaskan keuntungan reklamasi. Kalau mau demo, ya jangan ke saya. Silakan ke Jakarta.”
Pusat pariwisata
Di teluk seluas lebih dari 1.000 hektar, perusahaan milik Tomy Winata yaitu PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) berencana akan membangun pusat pariwisata. Ada perhotelan, pusat pertunjukan, gedung pertemuan, mal, lapangan golf, dan lain-lain. Investor akan membangun 12 pulau baru dengan total luas 638 hektar.
Pemerintah Provinsi Bali sudah menyetujui rencana pembangunan itu dengan alasan ekonomi. Disebutkan kawasan pusat wisata elit akan mendatangkan lebih banyak turis dan pemasukan bagi daerah.
Dalam proposalnya PT TWBI menyebutkan bahwa pembangunan fasilitas pariwisata baru juga akan menciptakan lapangan kerja baru untuk 250 ribu tenaga kerja.
Namun warga khawatir bahwa masalah sosial dan lingkungan hidup yang timbul akibat reklamasi itu akan jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai ekonomi yang didapatkan-yang hanya akan dinikmati oleh kelompok tertentu- sementara rakyat yang harus menanggung dampak negatif dari reklamasi di kawasan yang memiliki nilai ekonomis sangat tinggi di Bali itu.
Rencana pembangunan itu muncul setelah bocornya studi kelayakan dari Universitas Udayana setahun lalu. Setelah itu, muncullah penolakan yang dimotori organisasi non-pemerintah, aktivis lingkungan, dan musisi seperti Superman is Dead (SID), band punk terkemuka dari Bali.
Penolakan tersebut terus digaungkan hingga ke banjar-banjar, satuan adat terkecil di Bali, dan desa adat. Tidak hanya itu, dalam dua tahun terakhir, warga Bali dan aktivis lingkungan di luar Indonesia seperti di Amerika, Belgia dan Australia juga ikut menggelar protes tolak reklamasi Teluk Benoa.
Protes tolak reklamasi Teluk Benoa saat kunjungan Presiden Jokowi di San Francisco, Amerika Serikat, 16 Februari 2016 (Foto: Hope Budhiana)
Alasan penolakan
Koordinartor ForBALI, Wayan Gendo Suardana menyatakan, alasan menolak rencana investor untuk mereklamasi Teluk Benoa karena itu merupakan wilayah konservasi.
Menurut Perpres Nomor 45 tahun 2011, Teluk Benoa adalah wilayah konservasi atau penyangga. Tapi, sebelum akhir masa jabatannya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Perpres Nomor 51 tahun 2014 yang mengubah status Teluk Benoa menjadi kawasan pemanfaatan.
“Pembuatan Perpres itu sangat jelas untuk memuluskan reklamasi di Teluk Benoa,” kata Gendo yang juga adalah mantan Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bali kepada BeritaBenar, beberapa hari lalu.
Alasan kedua, tambahnya, Teluk Benoa ialah wilayah reservoir bagi sungai-sungai di Bali selatan. Jika Teluk Benoa direklamasi, mereka khawatir air bermuara di sana akan melebihi kapasitas dan kemudian membanjiri daerah-daerah sekitar. Kekhawatiran ini sesuai dengan hasil kajian organisasi lingkungan Conservation International (CI) Indonesia di Bali.
Menurut kajian CI Indonesia, daerah sekitar Teluk Benoa dan sekitarnya rentan banjir jika teluk direklamasi. “Ancaman banjir sangat besar terjadi jika Teluk Benoa sebagai daerah tampungan air direklamasi,” kata Iwan Dewantama, anggota tim pengkaji CI Indonesia.
Tetapi, menurut Gubernur Pastika, reklamasi tidak akan menimbulkan banjir secara ekstrem. “Hanya nol koma sekian sentimeter naiknya. Saat surut, dia juga akan surut,” ujarnya.
Selain alasan lingkungan, penolak reklamasi mengkhawatirkan dampak sosial dan budaya. Di kawasan Teluk Benoa, ada sekitar 70 pura sehingga dianggap tempat suci. Bagi umat Hindu Bali, teluk sebagai tempat bertemunya aliran sungai juga dianggap suci.