Banten Terbitkan Edaran Salat Berjamaah untuk PNS
2018.11.01
Jakarta
Gubernur Banten Wahidin Halim menerbitkan surat edaran tentang imbauan salat berjamaah lima waktu bagi pegawai negeri sipil (PNS) beragama Islam di lingkungan pemerintah provinsi setempat.
Surat bernomor 451/3132-Kesra/2018 tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan aparatur pemerintah, agar sejalan dengan visi “Banten yang berakhlakul karimah” atau berperilaku baik.
"Ketika misalnya ada azan, pegawai negeri yang sedang memberikan pelayanan diimbau menghentikan sementara dan juga meminta masyarakat untuk salat berjamaah," kata Kepala Biro Kesra Pemerintah Provinsi Banten Irvan Santoso menjelaskan imbauan itu kepada BeritaBenar, Kamis, 1 November 2018.
Imbauan ini berlaku sejak ditandatangani Wahidin pada 30 Oktober 2018.
Tak ada sanksi termaktub dalam surat edaran tersebut, andaikata ditemukan pegawai negeri tidak menghadiri salat berjamaah.
"Karena harapannya, memang sekadar untuk menggerakkan salat berjamaah di lingkungan masing-masing," tambah Irvan.
Ia pun menyangkal imbauan ini bakal menghambat pelayanan pemerintah Provinsi Banten kepada masyarakat.
Pasalnya, terang Irvan, salat berjamaah tidak akan berlangsung dalam waktu lama, sehingga pelayanan dapat kembali dilanjutkan usai ibadah dilakukan.
Dalam keterangan kepada wartawan di Banten, Rabu, Gubernur Wahidin menamakan imbauannya itu sebagai gerakan berjamaah salat lima waktu.
Poinnya serupa dengan surat yang diteken, yakni pegawai yang beragama Islam diminta menunda berbagai kegiatan saat azan berkumandang.
"Kalau sedang rapat atau ada tamu, ajak sekalian tamu dan peserta rapat untuk salat berjamaah," katanya.
Wahidin selama ini memang kerap menunda pekerjaannya saban waktu salat tiba, sejak dilantik sebagai Gubernur Banten pada 2017.
Ia, misalnya, disebut sering meninggalkan rapat untuk menjalankan salat dan melaksanakan salat Subuh berjamaah di lingkungan rumah dinas yang ditempatinya.
Daerah lain
Imbauan seperti di Banten sejatinya bukan kali pertama diterbitkan pemerintah-pemerintah daerah di Indonesia.
Pertengahan September lalu, Pemerintah Kota Palembang di Sumatera Selatan menerbitkan Peraturan Nomor 69 Tahun 2018 tentang pelaksanaan salat Subuh berjamaah di masjid bagi PNS.
Menurut Ketua Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kota Palembang, Ratu Dewa, salat Subuh berjamaah itu diharapkan dapat menjadi momen pegawai pemerintah menyerap aspirasi warga.
"Selain upaya membangun kesadaran kolektif bahwa itu (salat subuh) perintah agama," kata Ratu Dewa ketika itu.
Enam bulan sebelumnya, Pemerintah Kabupaten Karawang di Jawa Barat juga menerbitkan edaran agar seluruh PNS beragama Islam di daerahnya menggelar salat berjamaah.
Bupati Karawang, Cellica Nurrachadiana, bahkan meminta seluruh kantor untuk menutup pelayanan setiap jam salat tiba.
"Harapananya, semua memakmurkan masjid, seperti di Madinah dan Makkah. Pas azan, semua berbondong-bondong ke masjid," katanya kala itu.
Adapula Pemerintah Kabupaten Ogan Komiring Ilir di Sumatera Selatan yang menerbitkan surat edaran pelaksanaan salat berjamaah bagi pegawai negeri pada Mei 2017.
Dalam imbauan itu, kantor diperkenankan menutup pelayanan selama maksimal 30 menit, agar dapat melaksanakan salat berjamaah.
Selain itu, Kabupaten Batang di Jawa Tengah dan Kota Samarinda di Kalimantan Timur pada Januari 2016 juga menerbitkan edaran serupa yang mengimbau seluruh pegawai negeri sipil menggelar salat berjamaah.
Pro - kontra
Pengamat pemerintahan Universitas Padjadjaran, Asep Jatnika, tak mempermasalahkan fenomena daerah yang menerbitkan edaran salat berjamaah untuk pegawainya.
Dia yakin hal itu tak akan mengganggu kinerja pemerintahan daerah bersangkutan.
"Yang bahaya itu justru kalau perang agama," kata Asep saat dihubungi.
Saat ditanya apakah Kementerian Dalam Negeri perlu menegur atau mengkritisi pemerintah daerah yang menerbitkan edaran dan imbauan sejenis, Asep memandang sebagai perihal yang tidak perlu.
"Itu kan hanya imbauan. Boleh dilakukan, boleh juga tidak. Tidak akan mengganggu juga," ujarnya.
Peneliti Setara Institute, Ismail Hasani, menilai walaupun fenomena itu bisa dilihat sebagai “jurus” pemerintah lokal untuk mengembangkan sumber daya manusia, ia mengatakan langkah tersebut cenderung keliru, karena agama merupakan ranah pribadi masing-masing orang.
"Kepala daerah itu bertugas mengadministrasi masalah keadilan sosial, bukan kesalehan seseorang," katanya.