Basri akan Diadili di Poso

Tim 13 bentukan Komnas HAM masih melakukan pendekatan dengan beberapa keluarga kelompok MIT di Poso.
Keisyah Aprilia
2016.09.26
Palu
160926_ID_Poso_1000.jpg Basri berbicara dengan sejumlah wartawan di Markas Polda Sulawesi Tengah di Palu, 16 September 2016.
Keisyah Aprilia/BeritaBenar

Basri alias Bagong, pimpinan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Kabupaten Poso, hingga kini masih menjalani pemeriksaan di markas Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tengah di Palu.

Kabid Humas Polda Sulteng, AKBP Hari Suprapto menyebutkan hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa Basri terlibat 18 kasus kekerasan di Poso dan Parigi Moutong, termasuk pembunuhan anggota Polri dan warga sipil.

"Namun proses hukumnya cukup di Poso sesuai intruksi pimpinan. Tinggal bagaimana nanti vonis yang diberikan pengadilan di sana," jelas Hari kepada BeritaBenar di Palu, Senin, 26 September 2016.

Meskipun Basri akan diadili di Poso, tapi proses hukum istrinya, Nurmi Usman alias Oma, yang juga ditangkap bersama Basri di Desa Tangkura, Kecamatan Poso Pesisir Selatan, Poso, 14 September lalu, belum diputuskan.

"Istrinya masih diperiksa, tapi belum ada intruksi di mana nantinya proses hukumnya. Apakah di sini (Palu) atau di daerah asalnya di Bima, Nusa Tenggara Barat," ujar Hari.

Dia menambahkan penyidik Polri masih merampungkan berkas perkara Basri meskipun tak banyak lagi pengakuan dibutuhkan terkait yang dilakukannya selama bergabung MIT 2013 silam.

"Sudah banyak pengakuan didapat. Setelah itu akan diselesaikan berkas perkaranya untuk dilimpahkan ke Kejaksaan Poso," kata Hari.

Selama bergabung dengan kelompok yang telah berafiliasi dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) itu, tambah Hari, Basri diketahui tidak begitu berpengaruh meski ia menjadi pimpinan kelompok tersebut setelah tewasnya Santoso alias Abu Wardah dalam kontak senjata dengan pasukan TNI di pegunungan Tambarana, Kabupaten Poso, Sulteng, pada 18 Juli lalu.

Pemimpin MIT dan tangan kanan Santoso yang juga sudah tewas adalah Sabar Subagio alias Daeng Koro yang merupakan panglima perang MIT.

Sebelum bergabung MIT, Daeng Koro adalah mantan anggota TNI yang dipecat karena terlibat kasus asusila.

Dia tewas dalam baku tembak dengan Densus 88 di kawasan pegunungan Sakina Jaya, Kabupaten Parimo, Sulteng, pada 3 April 2015.

“Setelah Daeng Koro dan Santoso tewas, Basri tidak begitu melakukan perlawanan terhadap tim gabungan TNI dan Polri dalam Operasi Tinombala di sana," imbuh Hari.

"Makanya tidak perlu banyak lagi penyataan yang diperlukan dari Basri karena ia hanya sebatas pimpinan yang biasa,” kata Hari, "penggerak itu Santoso dan Daeng Koro bukan Basri maupun Ali Kalora, meski begitu Basri dan Ali Kalora itu cukup berbahaya dalam MIT."

Diperlakukan dengan baik

Selama menjalani pemeriksaan, Basri mengaku kondisinya baik.

"Saya diperlakukan dengan baik di sini. Mau makan apa diberikan, termasuk baju ganti diberikan," katanya kepada wartawan di Polda Sulteng, 16 September lalu.

Selama dikejar Satgas dalam Operasi Camar 2015 hingga Tinombala 2016, Basri mengaku hanya bersembunyi dan terus menghindar.

"Tidak ada yang bisa dilakukan selain sembunyi dan lari. Kalau menyerahkan diri tidak mungkin. Saya sadar kalau saya DPO yang paling dicari," katanya.

Basri tak begitu banyak berkomentar ketika ditanya wartawan yang diberi kesempatan untuk mewawancarainya.

"Beritakan yang bagus-bagus saja tentang saya, jangan dibuat-buat atau ditambah-tambah apa yang saya tidak katakan," pesannya.

"Sekarang sudah lebih baik dan sehat, di sini saya diperlakukan dengan begitu baik," tambahnya.

Tunggu panggilan

Sementara itu, Tim Pengacara Muslim (TMP) Sulteng belum menerima panggilan atau ajakan dari pihak Basri maupun Polda Sulteng terkait pendampingan proses hukum.

"Sampai sekarang belum ada panggilan, kalau toh ada pasti kami akan mendampingi," kata anggota TPM Sulteng, Andi Akbar, kepada BeritaBenar.

Dia mengaku kasus yang dijalani Basri dan anggota MIT lainnya terus dipantau TPM.

"Semua tetap kami pantau, sehingga jika nanti diminta mendampingi kami mengetahui alurnya. Kami tetap menunggu jika dibutuhkan mendampingi mereka," terang Akbar.

TPM menilai Polda telah memberikan perlakuan yang baik terhadap sejumlah pengikut MIT yang ditangkap maupun menyerahkan diri.

"Kalau diperlakukan dengan baik, pasti mereka semua mau terbuka jika diperiksa. Kami anggap apa yang dilakukan Polda sudah jauh lebih baik," ujarnya.

Buka posko

Sementara itu Tim 13 bentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bersama beberapa lembaga independen lain terus melakukan pendekatan dengan beberapa keluarga kelompok MIT yang tersisa di Poso.

"Tim 13 masih di sana, kami juga sudah mendirikan posko di sana untuk memudahkan pihak keluarga mereka yang ingin didampingi," kata Ketua Komnas HAM Sulteng, Dedy Azkari kepada BeritaBenar.

Sejauh ini tim sudah memberikan dampak yang baik bagi keluarga MIT. Pasalnya, beberapa anggota MIT yang sebelumnya menyerahkan diri, mereka semua diperlakukan dengan baik.

"Termasuk Basri yang ditangkap diperlakukan dengan baik, begitu juga anggota MIT yang sudah menyerahkan. Itu harapan pihak keluarga mereka,” jelas Dedy.

“Kami di Poso terus meyakinkan keluarga, bahwa jika anggota keluarga mereka yang terlibat dan menyerahkan diri pasti diperlakukan dengan baik."

Setelah Basri ditangkap, kekuatan MIT semakin melemah. Saat ini DPO yang tersisa 11 orang, termasuk Ali Kalora yang disebut-sebut sebagai pimpinan baru MIT.

Sejak Operasi Tinombala 2016 digelar 10 Januari lalu tercatat belasan anggota MIT, termasuk Santoso dan enam militan suku Uighur tewas, serta sejumlah lain ditangkap atau menyerahkan diri.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.