Belajar Agama, Dari Lapas Sampai Pusat Rehabilitasi
2017.06.20
Malang

Adzan Dzuhur berkumandang, Masjid At Taubah dipenuhi jamaah. Seribuan orang berbaju koko dengan sarung dan berpeci khusuk menunaikan shalat. Usai shalat dan berdzikir, mereka segera bergegas meninggalkan masjid.
Senyum mengembang dari bibir mereka dan menyapa BeritaBenar, yang bertandang ke tempat itu, 5 Juni 2017 lalu, dengan ramah. Tidak tampak kalau mereka adalah narapidana dan tahanan penghuni Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Lowokwaru Malang, Jawa Timur.
Mereka tengah menjalani hukuman atau tahanan titipan kejaksaan yang masih proses sidang. Berjalan tertib, mereka melangkah menuju sebuah bangunan yang terletak di bagian belakang. Bangunan, yang dipenuhi jeruji besi itu adalah Pesantren At-Taubah, total menampung sekitar 400 orang.
Duduk bersila, mereka melantunkan Salawat Nabi. Nuansa Islami terasa dalam Lapas setiap hari selama bulan Ramadhan. Mereka adalah narapidana dan tahanan berbagai kasus pidana, seperti narkoba dan pelaku kriminal lain.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly, berkunjung dan meresmikan pesantren tersebut, 5 Juni 2017 lalu. Dia disambut para santri dengan bersalawat dan tabuhan rebana. Yasonna berpesan agar mereka belajar agama dengan baik.
“Agar menjadi orang yang taat, menjalankan ibadah dengan baik serta lebih bermanfaat setelah kembali ke masyarakat nanti,” katanya.
Setelah menjadi santri, harapnya, keimanan dan ketakwaan mereka semakin kuat. Sehingga tak akan mengulangi perbuatan yang melanggar aturan, termasuk hukum agama.
“Ketika dihukum pasti ada perasaan marah dan kesal. Tapi akan berubah setelah mendekatkan diri kepada Tuhan. Menjadi lebih tenang,” ujarnya.
Cegah paham radikal
Para santri diasuh ulama yang punya pemahaman agama dan wawasan kebangsaan, memberi pelajaran yang baik dan benar. Tujuannya guna mencegah radikalisme, ekstrimisme dan terorisme dalam Lapas.
“Jangan sampai ada paham radikalisme berkembang di sini,” kata Yasonna.
Dia memerintahkan Direktur Jenderal Pemasyarakatan untuk merancang dan mengembangkan pesantren di Lapas-Lapas lain di Indonesia karena metode pendekatan agama dianggap efektif untuk pembinaan narapidana.
“Pada peringatan hari pemasyarakatan lalu (27 April), kita menggelar khataman Alquran diikuti 60 ribu warga binaan,” ujarnya.
Selain kajian agama, narapidana juga dibekali keterampilan seperti beternak, bertani, mengelas, dan membuat furnitur.
Kepala Pengamanan Lapas Lowokwaru, Sarwito, menjelaskan narapidana diseleksi dan dinilai sebelum menjadi santri. Petugas memberikan kesempatan khusus kepada warga binaan yang rajin shalat berjamaah di masjid.
Pengasuh juga menyeleksi keterampilan membaca Alquran. Meski tak punya dasar membaca Alquran memadai jika memiliki motivasi kuat belajar mereka bisa menjadi santri Pesantren At-Taubah. Sebagian besar santri adalah narapidana kasus narkoba.
“Pesantren menggunakan kurikulum pesantren modern,” katanya.
Sofa Ali Muslimin, seorang tahanan titipan Kejaksaan mengaku beruntung bisa menjadi santri di sana sehingga dapat mendalami ilmu agama selama ditahan sambil menunggu putusan majelis hakim dalam kasus pencurian.
Dia mengaku menyesal akan perbuatan kelam yang pernah dilakukannya. “Lebih tenang dan belajar agama lebih giat,” katanya.
Setiap hari, dia rajin shalat lima waktu berjamaah di masjid. Kegiatan dalam pesantren dimulai pukul 06.00 WIB sampai 10.00 WIB, diteruskan dengan membaca Alquran.
Saat Ramadan, para santri rutin mengikuti shalat tarawih dan tadarus. Bahkan Sofa telah empat kali khatam membaca Alquran selama 20 hari Ramadhan.
Para siswa Rehabilitasi Sosial Cacat Netra Malang belajar membaca Al-Quran Braille, 15 Juni 2017. (Eko Widianto/BeritaBenar)
Membaca Alquran Braille
Nuansa Islami dengan lantunan ayat-ayat suci Alquran seperti di Lapas juga terlihat di Rehabilitasi Sosial Cacat Netra, Malang. Berjalan beriringan, dibantu seorang pemandu belasan siswa menuju ke mushalla.
Duduk bersimpuh, mereka memegang Alquran Braille. Bergantian mereka membaca kitab suci umat Islam itu, tangan meraba setiap huruf hijaiyah, atau huruh Arab, di atas lembaran Alquran Braille.
“Butuh waktu selama delapan bulan sampai setahun untuk bisa membaca dan menulis huruf hijaiyah,” kata seorang pembina pusat rehabilitasi, Yani Soewantoro.
Proses belajar, katanya, tergantung kepekaan dan motivasi. Para siswa berasal dari latar belakang berbeda. Ada yang pernah belajar huruf braille alfabet. Tapi, hijaiyah untuk Alquran berbeda dengan huruf alphabet.
Pendidikan membaca dan menulis Alquran, yang juga masuk kurikulum, diberikan khusus untuk siswa kejuruan yang jumlahnya 14 orang. Pendidikan baca tulis Alquran.
Siswa di Rehabilitasi Sosial Cacat Netra terdiri dari kelas dasar, kejuruan, dan praktis. Sementara kelas praktis merupakan siswa dengan kemampuan di bawah rata-rata. Total siswa 105 orang.
“Sebagian ada yang memiliki kemampuan menghafal surat-surat pendek,” katanya.
Para siswa menjalani pendidikan tiga tahun. Mereka juga mendapat bekal keterampilan seperti tata boga dan membuat kerajinan.
Seorang siswi, Bibit Miatun (18) asal Kediri mengaku bersyukur bisa belajar di tempat itu karena selama ini dia kebingungan untuk belajar kitab suci.
“Ingin belajar membaca Alquran, tapi kepada siapa. Sekarang syukur Alhamdulillah, sudah bisa baca,” katanya sambil tersenyum.
Setelah menjalani pendidikan, Bibit telah menghafal surat-surat pendek, dan juga memahami makna bacaan, karena Alquran Braille dilengkapi dengan terjemahan.
Seperti Sofa dan santri Lapas Lowokwaru, siswa Rehabilitasi Sosial Cacat Netra juga bertadarus bersama selama bulan suci Ramadan yang hanya tersisa beberapa hari lagi.