Pemerintah: Proyek Belt Road Initiative Harus Tidak Menambah Hutang
2019.04.25
Jakarta

Pemerintah menetapkan bahwa berbagai proyek di bawah Belt and Road Initiative (BRI) atau One Belt One Road (OBOR) China harus menguntungkan Indonesia dan tidak menambah utang negara.
"Proyek BRI harus memiliki sinergi dengan pembangunan nasional. Mengenai beban utang, Indonesia sejak awal menekankan proyek ini harus merupakan private sector driven,” kata Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Arrmanatha Nasir dalam keterangan pers di Jakarta, Kamis, 25 April 2019.
“Jadi kerja sama antara business to business. Beban adalah kepada sektor swasta sehingga mereka harus bersifat memiliki profit orientation."
Arrmanatha mengatakan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla menegaskan hal itu dalam KTT ke-2 BRI di Beijing yang dimulai pada Kamis 25 April dan akan berlangsung selama tiga hari, diikuti 37 kepala negara/pemerintahan.
"Ia (Kalla) menekankan pentingnya ownership (kepemilikan) dan national driven, program yang dijalankan dalam konteks berbagai kerja sama BRI," kata Arrmanatha dalam keterangan pers di Jakarta, Kamis, 25 April 2019.
Jokowi yang menghadiri KTT yang pertama pada tahun 2017 tidak hadir kali ini dan dan tetap berada Indonesia pasca Pemilu minggu lalu.
Kerja sama BRI dikritik banyak negara karena dikhawatirkan akan jadi perangkap utang bagi negara terkait.
Beberapa proyek terkendala karena perubahan dalam pemerintahan seperti di Malaysia dan Maladewa.
Malaysia bahkan menawar dan bernegosiasi kembali dalam proyek East Coast Rail Link dan menurunkan harga dari USD16 juta menjadi USD10,7 juta.
Beberapa proyek ada yang ditangguhkan karena alasan keuangan termasuk pembangkit listrik di Pakistan dan bandara di Sierra Leone.
Di bidang perdagangan, Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang menghadiri KTT mewakili Presiden Joko “Jokowi” Widodo, mengakui Indonesia mengalami defisit cukup besar dengan China yakni sekitar US$8,56 miliar pada 2018.
Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi dalam pertemuannya dengan mitranya Wang Yi meminta China membuka pasarnya untuk produk Indonesia khususnya minyak sawit dan buah-buahan, demikian dikatakan Arrmanatha.
Empat koridor
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Maritim Luhut Binsar Pandjaitan yang menjadi bagian delegasi Indonesia, menilai BRI bisa menjadi alternatif untuk mendukung proyek pembangunan pada empat koridor.
“Itu di Sumatra Utara, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, dan Pulau Bali yang terkenal. Jumlah total populasi keempat provinsi ini di atas 30 juta orang," ujarnya dalam siaran pers yang diterima BeritaBenar.
Menurut data, Sumatra Utara, Kalimantan Utara, dan Sulawesi Utara memiliki angka kemiskinan sekitar 7 hingga 9 persen.
Luhut menargetkan proyek BRI bisa berkontribusi dalam pengurangan kemiskinan di ketiga provinsi tersebut.
"Kebijakan pemerintah pada dasarnya adalah mengurangi kemiskinan dan melindungi lingkungan hidup," katanya.
“Tolok ukur keberhasilannya adalah ketika ia dapat mengurangi tingkat kemiskinan dengan membuka peluang kerja lokal.”
Luhut menilai tidak ada wilayah yang dapat bertahan dengan menutup perbatasannya dari perdagangan.
"Indonesia percaya pada keterbukaan, pragmatisme, dan inovasi,” ujarnya.
Ia menargetkan salah satu proyek jalan tol dari Siantar ke Danau Toba dapat selesai pada tahun 2021 sehingga dapat meningkatkan jumlah wisatawan ke Danau Toba.
Beberapa pembangunan lain yang dikebut antara lain Mandalika, Banyuwangi, Danau Toba, Borobudur dan Toraja.
"Bisa turut serta dalam pembangunan infrastruktur Indonesia dengan syarat standar lingkungan yang baik, pendekatan pembangunan terpadu, pemanfaatan tenaga kerja Indonesia, alih teknologi, dan berpedoman pada standar internasional," katanya.
Melambat
Namun, pakar ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, mengatakan yang dapat diukur dari suatu kerja sama adalah diterima dan berapa ongkos yang dihasilkan di Indonesia.
"BRI itu soal perdagangan tentu prinsipnya orang manfaatkan jaringan dagang kalau bisa mengoptimalkan produktivitas dulu dan daya saing, sehingga itu yang mestinya menjadi ukuran," katanya kepada BeritaBenar.
Ia menyontohkan misalnya pembiayaan investasi apa pun dalam infrastruktur bertujuan untuk meningkatkan manfaat kerja sama BRI secara signifikan tapi kalau tak berdampak produktivitas, maka akan menjadi obyek dari luasan perdagangan.
"Ini yang seharusnya menjadi acuan, tidak semata-mata karena utang. Utang memang menjadi investasi jika ada peningkatan produktivitasnya tapi kalau pembiayaan sudah banyak tapi angka perdagangan tidak bergerak naik, justru dikhawatirkan, produktivitas menurun. Kalau itu terjadi besar kemungkinan yang dapat manfaat justru jaringan BRI ini, bukan Indonesia," paparnya.
Enny melihat dalam beberapa tahun terakhir justru porsi produktivitas nilai GDP dari nilai investasi penerimaan negara bukan pajak (PNPB) menurun.
Dilihat dari proporsi dominasi konsumsi rumah tangga tahun 2019 turun menjadi 32 persen dari tahun lalu yang 34 persen, katanya.
Sementara dilihat dari ukuran kinerja stakeholder perusahaan banyak sektor sekunder manufaktur dalam parameter sektor rill pertumbuhannya melambat. Pangsa kontribusi dan pasar terhadap dalam negeri hanya naik 4,5 persen.
"Ini ada yang salah, Indonesia sebaiknya menambah realisasi pembangunan dalam negeri dulu. Jika tidak, maka akan masuk jaringan yang serupa mirip dengan VOC dulu, yaitu hanya berperan sebagai pemasok bahan baku untuk jaringan BRI. China yang akan dapatkan itu," pungkasnya.