Tur Jeep Merapi, Berkah Bagi Warga Sekitar
2017.12.26
Yogyakarta

Jam dinding di sebuah rumah kawasan Kaliurang yang ditinggalkan penghuninya bertahun-tahun lalu masih menempel kokoh di dinding, Senin, 18 Desember 2017. Jarum panjangnya menunjuk pada angka lima, yang pendek mengarah ke angka 12.
Pukul 12.05. Jam itu adalah saksi bisu dahsyatnya awan panas yang melibas hampir 20 km kawasan di lereng Merapi saat gunung api ini mencapai puncak erupsinya November 2010 silam.
Tak hanya jam dinding, perabot rumah pun jadi saksi. Kumpulan alat makan yang tertutup debu tebal serta botol-botol kaca yang lumer tak luput digulung awan panas bersuhu 600-800 derajat Celcius.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan korban jiwa saat itu mencapai 275 orang, termasuk sang juru kunci gunung api, Mbah Maridjan, yang menolak mengungsi dan memilih bertahan di rumahnya di Dusun Kinahrejo, Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Enam tahun setelah erupsi, daerah itu tak lagi gersang. Kawasan itu kembali hijau dengan vegetasi baru yang mulai memenuhi daerah yang tertutup lava.
Tak hanya memberi kehidupan baru, erupsi Merapi 2010 membawa berkah lain bagi warga sekitar. Warga mengelola zona yang terkena dampak erupsi menjadi kawasan wisata baru, termasuk sejumlah rumah yang ditinggalkan penghuninya dan kini berubah jadi Museum Sisa Hartaku.
Para pengunjung yang ingin mengunjungi daerah tersebut harus menyewa mobil jeep dari sejumlah operator pariwisata di sana. Tarifnya beragam, mulai dari Rp350 ribu untuk paket jarak pendek berdurasi dua jam hingga Rp650 ribu untuk paket jarak panjang berdurasi empat jam.
Seorang pemandu wisata, Bluri Hermanto, mengaku cukup terkejut dengan animo luar biasa pengunjung yang ingin melihat bukti dahsyatnya letusan Merapi.
“Lava tour dengan menggunakan jeep mulai berkembang tahun 2011. Dari tiga operator hingga menjadi 28 operator. Dari hanya tiga jeep, sekarang jumlahnya 700an. Dan itu masih kurang. Saat musim libur panjang, pengunjung bisa antre hingga dua jam untuk ikut tur,” ujar Bluri kepada BeritaBenar.
Selain museum, pengunjung juga diajak melihat Batu Alien, yakni batu besar hasil muntahan erupsi Merapi yang punya guratan berbentuk seperti wajah manusia.
Pengunjung juga diajak melihat bunker di kawasan Kaliadem, yang terletak empat kilometer dari puncak Merapi. Bunker ini tertutup material setebal empat meter usai erupsi dan telah memakan korban, yakni dua relawan yang berlindung dari lava.
Bruli mengatakan kedua relawan itu ditemukan di dua titik berbeda di dalam bunker dengan ketebalan baja 15 sentimeter. Seorang di belakang pintu dan lainnya dalam bak.
“Korban yang berada dalam bak mandi diduga bisa menghindari panasnya lahar yang keluar. Ternyata air di dalamnya mendidih. Bunker baja berubah menjadi oven raksasa,” ujar Bruli.
“Bunker hanya efektif untuk berlindung dari awan panas, namun bukan dari lava.”
Dampak erupsi Merapi tak hanya menjadi sumber penghasilan bagi warga sekitar, tapi juga penambang. Jutaan kubik pasir vulkanik yang dihasilkan erupsi Merapi berdaya jual tinggi.
Ratusan truk dan alat berat lain keluar masuk daerah tambang untuk mengangkut pasir yang dijual seharga Rp700 ribu per truk.
“Merapi memang membawa berkah bagi warga,” ujar Bruli.
‘Wisata bencana’
Frederik, seorang warga Jakarta yang pernah ikut tur Merapi enam bulan setelah erupsi, mengatakan kegiatan tersebut membuka matanya sebagai orang awam.
“Aku tahu soal tur jeep dari saudara di Magelang. Kondisi saat itu sudah banyak truk pasir hilir mudik, karena suasananya seperti padang pasir,” ujarnya kepada BeritaBenar.
Frederik mengaku terkesan dengan banyaknya batu besar muntahan erupsi.
“Batu-batu ini terlempar beberapa kilometer dari perut bumi. Ini menjadi pengetahuan baru,” tuturnya.
Dia juga menjadi paham bahwa bunker dibangun di sekitar gunung-gunung api aktif tak sepenuhnya efektif untuk menjadi tempat perlindungan.
“Sebaiknya mengungsi karena bunker tidak bisa menolong,” katanya.
Kepala Data dan Informasi BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, mengatakan tur-tur yang menjadi inisiatif warga sangat efektif untuk memberi kesadaran bagi masyarakat.
“Masyarakat menjadi lebih peduli dan merasa memiliki. Mereka mempunyai pemahaman lebih baik tentang erupsi gunung berapi. Tidak selamanya erupsi gunung itu penderitaan, kesedihan, dan mengerikan. Mereka memahami ada berkah di balik musibah. Yang penting mereka menyingkir saat ada erupsi hingga aman,” ujar Sutopo kepada BeritaBenar.
Sutopo juga menilai ekonomi masyarakat di sekitar Merapi justru meningkat pascabencana.
“Kehidupan ekonomi dan sosialnya lebih baik, apalagi bermunculan paket-paket wisata yang selalu ramai karena sebelum erupsi 2010 tidak ada wisata seperti lava tour,” katanya.
Hal itu pula yang menjadi sorotan Sutopo ketika Gunung Agung di Bali erupsi November lalu. Meski muncul pro dan kontra, ia justru mendukung kampanye wisata erupsi Gunung Agung.
“Indonesia dapat belajar dari Islandia bagaimana mengelola dan mengubah letusan gunung menjadi obyek wisata. Di sana, Gunung Eyjafjallajokull yang erupsi telah mendatangkan jutaan turis dari seluruh dunia. Publikasi mengenai erupsi gunung ini bekontribusi pada lonjakan wisatawan yang datang ke Islandia,” jelasnya.
Terlepas dari pro dan kontra tersebut, Sutopo menilai wisata bencana perlu dikelola dengan baik termasuk sosialisasi persiapan wisatawan sebelum berkunjung dan rambu-rambu yang menunjukkan zona bahaya.
“Penyebaran informasi mengenai dua hal itu mutlak diperlukan,” pungkas Sutopo.