Cegah Pendanaan Terorisme, BI Terbitkan Aturan Layanan Fintech
2017.09.14
Jakarta

Untuk menghadang laju pendanaan jaringan terorisme, Bank Indonesia (BI) menerbitkan aturan tentang layanan keuangan berbasis teknologi (financial technology/fintech), yaitu semacam uang elektronik atau dompet elektronik.
Beleid yang mengatur layanan digital tersebut tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia 19/10/PBI/2017 yang diteken Gubernur Agus Martowadoyo, Senin lalu.
"Ini menyempurnakan aturan yang pernah ada," kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Agusman kepada BeritaBenar, Kamis, 14 September 2017.
Dalam peraturan lama pada 2012, kata Agusman, BI hanya mengatur prosedural transaksi di bank. Aturan tersebut sama sekali tak menyinggung tentang layanan keuangan berbasis teknologi seperti dompet elektronik atau uang elektronik.
Padahal di sisi lain, kata Agusman, teknologi sistem informasi dalam layanan keuangan terus berkembang.
"Semoga ini (aturan) bisa menjawab tantangan teknologi sistem informasi yang terus berkembang," katanya.
Layanan keuangan berbasis teknologi memang disebut menjadi salah satu celah yang dimanfaatkan anggota kelompok radikal untuk mendanai aksi mereka selama ini.
Hal ini pernah disampaikan Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Kiagus Ahmad Badaruddin, pada Januari lalu, dengan mengatakan lembaganya menemukan indikasi sistem pembayaran dompet elektronik berupa PayPal digunakan oleh Bahrun Naim.
Bahrun adalah warga Indonesia yang bergabung Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) dan kini diperkirakan berada di Suriah. Dia juga sosok yang disebut kepolisian sebagai dalang beberapa aksi teror di tanah air.
“Ada indikasi ia memanfaatkan sejumlah akun pembayaran PayPal," katanya.
Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri Kombes. Pol. Martinus Sitompul membenarkan pernyataan Kiagus tersebut. Namun seperti PPATK, ia tak memerinci jumlah dana yang dikirimkan Bahrun, kepada siapa dana mengalir, dan sejak kapan pola itu berlangsung.
“Yang pasti, ada indikasi menggunakan metode itu," kata Martinus saat dihubungi.
Kewajiban mengidentifikasi
Dalam aturan anyar itu, BI antara lain meminta para penyelenggara layanan keuangan berbasis teknologi untuk turut mengantisipasi kemungkinan penyelewenangan layanan untuk pendanaan terorisme dan pencucian uang.
Perbankan diwajibkan mengidentifikasi dan memverifikasi secara mendalam setiap pengguna layanan.
Seperti termaktub di Pasal 47 ayat 1, misalnya, penyelenggara diminta agar menata dan memperbaharui daftar terduga teroris dan organisasi teroris, serta mengecek secara serius.
"Resiko negara dan geografis juga dipertimbangkan, dengan mempertimbangkan lokasi atau wilayah yang berbatasan dengan negara yang dianggap beresiko," kata Agusman.
Selain itu, penyelenggara layanan juga diwajibkan untuk melapor kepada PPATK apabila ditemukan indikasi transaksi mencurigakan.
Andaikata abai, bank sentral menyiapkan beragam sanksi. Mulai dari teguran tertulis yang merupakan sanksi paling ringan, hingga pencabutan izin dan pemberhentian bagi direksi atau pejabat eksekutif perusahaan.
"Kami memberikan waktu enam bulan untuk menyiapkan semuanya," kata Agusman.
Beragam pola
Pengamat terorisme dari Institute for International Peace Building, Taufik Andrie, merespons positif terbitnya peraturan ini.
Menurutnya, teroris memang mulai memilih platform seperti PayPal atau BitCoin untuk mengirim dana.
“Jadi, itu upaya bagus (terbitnya aturan)," katanya kepada BeritaBenar, "Bahrun Naim kan pernah memberikan petunjuk kepada jaringannya untuk memakai PayPal dan BitCoin."
Respons sama diutarakan pengamat dari Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi, Adhe Bhakti, dengan menyebut pemerintah bisa beradaptasi dengan evolusi metode pendanaan terorisme.
Namun keduanya mengingatkan pemerintah untuk tak berpuas diri. Musababnya, para teroris selama ini memiliki banyak pola dan cara untuk mengirimkan dana.
Adhe mencontohkan aksi Bom Bali, saat pengiriman dana dilakukan secara tunai melalui kurir. Adapula pola meminjam rekening pihak ketiga yang tidak terkait jaringan teror.
Pola ini, kata Adhe, jamak digunakan jaringan Santoso di Poso, Sulawesi Tengah.
"Pernah ada beberapa orang di sekitar Gunung Biru Poso yang didatangi jaringan Santoso dan mereka dipaksa membantu dengan meminjamkan nomor rekening untuk dikirim uang," terang Adhe.
"Jadi sulit diantisipasi. Karena mereka menggunakan orang di luar jaringan. Bukan keluarga sehingga mengaburkan jejak."
Pola lain dijabarkan Taufik, yakni hawala atau semacam piutang.
"Kemungkinan sistem lama ini akan digunakan lagi karena lebih aman dan tidak tercatat dan terlacak," pungkasnya.