BNPT Minta Semua Pihak Rangkul Mantan Napi Terorisme
2018.02.21
Jakarta

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) meminta kepada masyarakat, para pemuka agama, dan pemerintah daerah untuk bisa merangkul dan menerima mantan narapidana kasus terorisme (napiter), sehingga mereka tidak kembali ke jaringan radikal.
Hal ini disampaikan Kepala BNPT Komjen. Pol. Suhardi Alius dalam diskusi yang digelar Badan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Jakarta, Rabu, 21 Februari 2018.
“Sejak diangkat tanggal 20 Juli 2016, saya sudah berikrar kepada diri saya bahwa saya harus melakukan penanggulangan teroris secara humanis. Saya mengedepankan yang namanya soft approach. Yang kami rebut jiwa mereka, dengan hati tulus,” ujar Suhardi di hadapan para ulama.
Melalui pendekatan yang manusiawi, Suhardi menyebutkan sekitar 120 mantan napiter kini justru membantu kinerja BNPT dalam memberantas pengaruh radikalisme.
“Sudah sadar mereka, insyaf menyadari kesalahannya. Sekarang mereka kami gunakan untuk kebaikan, fastabiqul khairaat. Tolong berikan penjelasan kepada masyarakat yang potensial apa pengaruh radikalisme,” katanya.
“Mereka lebih bermanfaat buat kami daripada kami yang ngomong (karena) nanti dianggap thogut. Tetapi kalau mantan-mantan seperti ini yang punya ilmu agama tinggi. Berikan kesempatan mereka untuk baik, jangan dimarjinalkan.”
Suhardi mencontohkan bagaimana radikalisme memengaruhi Hendra – anak kandung Amrozi, salah seorang pelaku bom Bali 2002, yang oleh masyarakat dinilai lebih ekstrem dari orang tuanya.
Sebelum berhasil disadarkan, Hendra sempat minta diajarkan cara merakit bom untuk bisa membalas dendam atas eksekusi mati ayahnya.
“Alhamdulillah sekarang sudah baik, sudah mau mengibarkan bendara merah putih,” tutur Suhardi.
Dia menambahkan BNPT membangun masjid yang sekaligus jadi tempat belajar mengajar di Desa Tenggulun, Lamongan, Jawa Timur, sebagai upaya untuk merangkul bekas napiter dan sekaligus membendung pengaruh paham radikal.
Hal sama juga dilakukan di kediaman Khoirul Ghazali di Deliserdang, Sumatera Utara. Khoirul ialah salah seorang dari belasan pelaku perampokan Bank CMIB Niaga di Medan, Sumatera Utara pada 2010, yang menewaskan seorang anggota Brimob.
Program pembangunan masjid dan kelas belajar di kediaman para bekas napiter yang sudah sadar akan terus dilakukan. BNPT juga memberikan pelatihan public speaking bagi mereka, untuk dapat diberdayakan sebagai narasumber kegiatan.
Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsudin memuji inisiatif yang dilakukan BNPT.
“Saya kira bagus sekali upaya BNPT merangkul para terpidana terorisme termasuk keluarga korban. Saya pribadi dan MUI mengapresiasi upaya BNPT. Luar biasa effortnya, membangun masjid dan fasilitas lain. Ini tindakan yang saya kira tepat,” ujarnya.
Tidak mengucilkan
Suhardi mengatakan stigma yang melekat terhadap mantan narapidana kasus terorisme (napiter) menyebabkan mereka sulit bermasyarakat ditambah lagi pengucilan dari sebagian publik.
“Kita mayoritas Muslim. Mohon berkenan bisa menyampaikan saudara-saudara kita yang salah jalan ini, berikan kesempatan,” ujar Suhardi.
Suhardi mengatakan ada pejabat di salah satu kabupaten yang mempersulit mantan napiter ketika ingin membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP).
“Bagaimana dia mau usaha? Nanti malah kembali lagi (berbuat teror),” katanya.
Dijelaskan bahwa dari 600 mantan napiter, ada tiga orang yang mengulangi perbuatannya kembali melakukan teror yaitu mereka terlibat kasus bom Cicendo, bom Thamrin dan bom molotov di sebuah gereja di Kalimantan Timur.
“600 lebih yang sudah bebas adanya di daerah. Pak gubernur, bupati, walikota jangan cuek. Berikan akses juga,” ujar Suhardi.
“Saya tantang para gubernur untuk memperhatikan dan membantu mereka; dimana mereka tinggal, dengan siapa bergaulnya, sehingga ada kontrolnya.”
Pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Provinsi Aceh, Al Chaidar, mengakui penerimaan masyarakat terhadap para napi terorisme masih sangat kurang.
“Banyak yang masih mencurigai. Untuk itu kalau ada program khusus dari Pemda sangat meringankan kerja BNPT. Karena kesulitan utama para mantan napi terorisme ini adalah dalam bergaul di masyarakat,” ujar Al Chaidar kepada BeritaBenar.
Peran ulama, lanjut Chaidar, sangatlah besar dalam menerima kembali para mantan napi ini. Pasalnya ulama sangat mengetahui pemikiran-pemikiran yang diadopsi pelaku terorisme, yang umumnya tentang negara Islam dan jihad.
“Ulama punya kemampuan untuk berdiskusi tentang masalah-masalah ini karena memiliki referensi-referensi sangat luas. Selanjutnya melakukan deradikalisasi secara efektif. Para mantan napi terorisme ini akan lebih menghargai berdiskusi dengan para ulama ketimbang dengan masyarakat awam,” ujar Chaidar.
Mempersiapkan napiter
Mantan militan jaringan teroris Jemaah Islamiyah yang kini adalah pengamat masalah terorisme, Nasir Abas, mengatakan tak hanya masyarakat yang diimbau untuk bisa menerima para mantan napiter.
“Para mantan napiter ini juga harus dipersiapkan karena tidak semua mereka mau berbaur dengan masyarakat,” katanya saat dihubungi.
Menurut dia, mantan napiter perlu dibina untuk menerima kemajemukan di masyarakat dan masyarakat juga perlu diberi sosialisasi untuk bisa menerima mereka.
“Jadi harus seimbang,” ujar Nasir.
Sebelum dibebaskan, tambahnya, para mantan napiter perlu diberi pemahaman bagaimana kembali ke masyarakat.
“Dulu mereka eksklusif dan menyendiri. Kalau sudah bebas, mereka harus menerima keberagaman, toleransi dan bisa berbaur dengan masyarakat,” pungkasnya.