Perdamaian dan Toleransi Melalui Board Game
2017.11.21
Solo

Sekitar 60 siswa dan mahasiswa dari berbagai sekolah dan universitas berkumpul dalam ruangan sebuah hotel di Kota Solo, Jawa Tengah, selama dua hari akhir pekan lalu, untuk mengikuti kegiatan board game for peace.
Mereka dibagi dalam 11 kelompok untuk memainkan galaxy obscurio, bercerita tentang lima makhluk luar angkasa yang hidup di enam planet: Moyo, Rinca, Selio, Battoa, Weda dan Rimunja.
Board game adalah permainan yang dilakukan berkelompok dengan menggunakan papan (board) sebagai media dan terkadang bisa juga dilakukan langsung di atas meja. Permainan board game hari itu menggunakan kartu mirip kartu remi terdiri dari 46 kartu utama, 33 kartu alien, tujuh virus asteroid visco, dan enam kartu kristal.
Para remaja berperan sebagai pemain yang bertugas melindungi planet beserta isinya. Mereka mengumpulkan kartu berisi poin-poin supaya warga planet sejahtera.
Pemain diberi kesempatan mengambil tiga kartu rencana dan memilih salah satu untuk menentukan langkah yang diambil. Pemain yang punya poin terbanyak jadi pemenang.
Tapi selama permainan, mereka dihadapkan dengan kartu virus yang bisa didapat ketika dibagikan. Akibatnya planet yang awalnya damai, tenteram dan sejahtera hancur karena virus meracuni pemikiran makhluk di sana.
Virus juga membuat warga satu planet dengan planet lain tak bisa saling berkomunikasi karena ketika seseorang memegang dua kartu virus, dia sudah tidak bisa bertukar kartu atau mengambil kartu lain.
Usai bermain, para remaja itu diminta menyebut pesan-pesan yang mereka terima dari galaxy obscurio. Keikhlasan, saling berbagi, kejujuran, kerjasama tim, tolong-menolong, toleransi hingga kesabaran menjadi jawaban mereka.
Setelah bermain dengan sesama rekan, para siswa diminta mengajak orang-orang yang tidak mereka kenal untuk bermain galaxy obscurio.
“Sedikit demi sedikit mereka akan menularkan pesan-pesan perdamaian yang ada dalam board game ini,” jelas Irfan Amalee, Direktur Peace Generation kepada BeritaBenar.
Targetkan 1500 agen perdamain
Sejak Oktober lalu, Peace Generation - lembaga non-profit yang mengampanyekan perdamaian - menggelar program board game for peace untuk menebar perdamaian melalui permainan.
Sasarannya adalah pemuda yang dinilai mulai banyak terjangkit virus radikalisme dan anti-Pancasila.
“Ini masalah serius, tapi kami coba menyikapinya dengan sesuatu yang menyenangkan, melalui permainan agar lebih menarik dan cepat menyebar,” tutur Irfan.
Menurutnya, dalam permainan tersebut mereka dilatih cara mengidentifikasi penyebab konflik dan cara mengatasinya.
Peace Generation menargetkan selama lima bulan akan terbentuk setidaknya 1.500 agen perdamaian yang menularkan perdamaian ke lingkungan mereka.
Mudah terpapar radikalisme
Menurut survey yang dilakukan Peace Generation, hampir seluruh peserta yang ikut board game for peace pernah melakukan tindak radikalisme, baik disadari atau tidak.
“Hampir semua setuju dilakukan kekerasan untuk membela agama,” terang Irfan.
Salah satu peserta, Mila, yang berasal dari Pati, Jawa Tengah, hampir semua tebakannya salah.
Dia menyisakan satu jawaban benar, yaitu agama dan menuliskan “Islam Pemerintah”, tanpa bisa mendefinisikan apa maksudnya.
"Bener-benar dituntut ikhlas, harus jujur. Kita harus menjaga planet, tapi juga membagi kartu kita ke teman yang di kartunya ada instruksi minta kartu teman,” katanya.
Mila mengaku mendapatkan pelajaran dari permainan itu bahwa dalam hidup dituntut keikhlasan dan saling membantu.
“Di sini ditekankan, jika prasangka bukan kebenaran, apa yang dilihat belum tentu sama, harus dicari dulu kebenarannya dengan konfirmasi,” ujar Irfan.
“Mudahnya remaja masa kini atau generasi milenial menganggap suatu gambaran awal sebagai kebenaran menjadi jalan masuk pengaruh buruk yang pada akhirnya mengarah pada terorisme.”
Pengaruh kuat
Iqbal Husaini alias Ray Ramli alias Rambo alias Adrian Alamsyah (36), bekas narapidana terorisme, menyebutkan satu-persatu nama yang pernah dipakainya di depan peserta permainan.
“Nama-nama ini dibuat dan dipilih sesuai lingkungan yang dimasuki, supaya orang tidak curiga dan tak berprasangka buruk,” ujar Iqbal yang pernah dua kali dipenjara.
Pada 2006, dia ditangkap karena menyimpan senjata api, amunisi, dan bahan peledak. Iqbal mampu merakit senjata setelah mendapat pelatihan militer di Filipina Selatan.
Setelah bebas, Iqbal kembali diciduk pada 2013 karena masih tetap menyuplai senjata rakitannya kepada jaringan teroris.
“Saya saat itu masih muda, masih awal kuliah, saya merasa tertantang karena mereka menawarkan challenge dan juga adventure, hal-hal yang saya cari sebagai anak muda,” ujarnya.
Ketika peserta permainan menanyakan apakah keterlibatannya dalam terorisme dilatarbelakangi kekecewaan terhadap negara, Iqbal menjawab, “Tidak, negara sangat baik pada saya. Saya bahkan mendapat beasiswa sejak SD sampai kuliah.”
Melihat apa yang dialami Iqbal dan remaja milenial masa kini, pengamat terorisme dari Yayasan Prasasti Perdamaian, Thayep Malik, menyebutkan lingkungan menjadi faktor berpengaruh.
“Apapun latar belakang pendidikannya, keluarganya, ekonominya, agamanya, ketika dia memasuki wilayah yang ternyata basis terorisme, dia akan terhanyut, dia bisa terekrut,” ujar Thayep kepada BeritaBenar.
Hal yang mengkhawatirkan, lanjutnya, basis terorisme makin kuat di ranah dunia maya, terutama jaringan sosial.
“Mereka ikut jaringan terorisme karena melalui media sosial semakin masif melakukan perekrutan,” pungkas Thayep.