Perempuan Calon Pelaku Bom Bunuh Diri Dituntut 10 Tahun Penjara
2017.08.23
Jakarta

Terdakwa kasus terorisme Dian Yulia Novi (28), yang berencana melancarkan aksi bunuh diri dengan bom panci saat pergantian pasukan pengamanan presiden di Istana Negara, dituntut 10 tahun penjara dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, Rabu, 23 Agustus 2017.
Tuntutan itu setelah jaksa menemukan fakta-fakta selama persidangan bahwa Dian terbukti secara sah telah melakukan pemufakatan jahat dan percobaan tindak pidana terorisme bersama suaminya Nur Solikin (26) dan seorang rekan lain, Agus Supriyadi (36).
"Dian Yulia Novi sempat diajarkan cara meledakkan bom yang telah dibuat Nur Solikin," kata Jaksa Juwita Kayana saat membacakan tuntutannya.
"Tapi aksi tak sempat terlaksana karena ditangkap Densus 88. (Namun) tak ada alasan pemaaf. Jadi terdakwa harus dihukum setimpal."
Dian menjalani persidangan dalam kondisi hamil tua.
"Melihat hasil USG, kata dokter kira-kira (melahirkan) 2 September," ujar Dian kepada majelis hakim.
Kondisi kehamilan itu pula membuat Dian tak menghadiri persidangan hingga tuntas. Ia meninggalkan ruang sidang tak lama usai mendengar tuntutan jaksa.
Persidangan lanjutan dengan pembelaan Dian dan penasihat hukumnya diagendakan Jumat mendatang, 25 Agustus 2017.
Dian ditangkap Detasemen Khusus Antiteror (Densus) 88 Mabes Polri di kamar kontrakan di kawasan Bekasi, Jawa Barat, pada 10 Desember 2016, atau sehari sebelum rencana peledakan bom bunuh diri dilakukan di Istana Negara.
Solikin dituntut 15 tahun
Dalam persidangan yang sama, jaksa menuntut Solikin – suami Dian – 15 tahun penjara. Besarnya tuntutan merujuk pada peran Solikin sebagai pembuat bom dan turut merencanakan aksi teror.
Solikin memang beberapa kali mendiskusikan rencana teror bom di depan Istana Negara itu bersama Bahrun Naim, warga Indonesia simpatisan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang kini disebut berada di Suriah.
"Pada 6 Desember, terdakwa Nur Solikin melaporkan kesiapan aksi kepada Bahrun Naim dan ia diperintahkan untuk sudah berada di Jakarta pada 10 Desember," kata jaksa Juwita.
“Sehingga unsur pemufakatan jahat dan tindak kekerasan atau ancaman kekerasan yang bisa menimbulkan korban dan teror terpenuhi secara sah.”
Solikin dan Dian menikah pada Oktober 2016 secara muamalah atau jarak jauh dengan cara ijab kabul yang diwakilkan pada wali, setelah sebulan sebelumnya dikenalkan oleh Tutin Sugiarti.
Atas perannya sebagai "mak comblang", Tutin dituntut lima tahun penjara oleh jaksa dalam persidangan yang sama. Ia dianggap melanggar aturan tentang menyembunyikan informasi terkait pelaku tindak pidana terorisme.
Tutin akan membacakan pembelaan dalam sidang lanjutan yang dijadwalkan, Jumat mendatang bersamaan dengan Dian.
Sedangkan, terdakwa Agus yang berperan mencari mobil sewaan untuk membawa bom yang telah dibuat Solikin di Solo ke Jakarta dituntut delapan tahun penjara.
Jaksa menilai Agus turut bermufakat jahat melancarkan tindak pidana terorisme.
"Setiap orang memang punya peran masing-masing. Jadi tuntutannya pun berbeda," kata anggota tim jaksa, Yuana Nurhisyam, menjelaskan penyebab perbedaan besaran tuntutan keempat terdakwa seusai persidangan.
Sidang lanjutan terhadap Agus dan Solikin akan digelar pada Rabu, 6 September 2017, dengan agenda membacakan pembelaan.
Keduanya ditangkap di kawasan Pondok Kopi, Jakarta Timur, pada 10 Desember 2016 atau sehari sebelum rencana aksi dilancarkan. Mereka ditangkap usai menyurvei kawasan Istana Negara.
Dian Yulia Novi (kanan) dan Tutin Sugiarti (kiri), keduanya bercadar, memasuki ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Timur, 23 Agustus 2017. (Arie Firdaus/BeritaBenar)
Bukan perempuan pertama
Kamsi selaku kuasa hukum keempat terdakwa mengaku dapat menerima tuntutan tim jaksa. Musababnya, para terdakwa memang telah mengakui perbuatan mereka selama proses persidangan sebelumnya.
Dian selaku calon pelaku bom bunuh diri bahkan secara terang-terangan mengakui tak menyesal telah menyusun rencana teror di kawasan Istana Negara.
Lantas pembelaan apa yang disiapkan untuk persidangan nanti, Kamsi tak merincikan.
"Nantilah. Kami baca (pelajari) tuntutan dulu," kata Kamsi kepada BeritaBenar.
Pernikahan untuk melancarkan aksi teror seperti dilakukan Solikin dan Dian adalah modus baru dalam perkara terorisme di Indonesia.
Namun jika menyorot keterlibatan perempuan dalam kasus terorisme, Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) mencatat Dian bukanlah yang pertama.
Jauh sebelum Dian, Munfiatun yang merupakan istri Noordin Muhammad Top divonis tiga tahun penjara tak lama usai aksi bom di depan Kedutaan Australia di Jakarta.
PN Jakarta Timur, 5 Juli lalu menvonis dua perempuan masing-masing tiga tahun penjara karena membantu dan menyembunyikan informasi tindak pidana terorisme.
Mereka adalah Tini Susanti Kaduku alias Umi Fadil (32), istri Ali Kalora dan Nurmi Usman alias Oma (42), istri Mohammad Basri alias Bagong. Ali dan Basri adalah “tangan kanan” Santoso.
Ali Kalora adalah sosok yang disebut kepolisian sebagai pimpinan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) saat ini, setelah Santoso tewas dalam operasi TNI/Polri pada 18 Juli 2016 di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, dan Basri ditangkap dua bulan setelah kematian Santoso.
Sebelumnya, majelis hakim PN Jakarta Utara, pada 4 Mei 2017, menghukum 2,3 tahun penjara terhadap Jumiatun alias Umi Delima, janda Santoso.