Dua Warga Beragama Buddha Dicambuk di Aceh
2017.03.10
Jantho

Di bawah terik matahari, lelaki 57 tahun itu menundukkan kepala saat digiring dua polisi syariah atau Wilayatul Hisbah (WH) ke atas panggung beton di halaman Masjid Jamik Al-Munawarrah, Kota Jantho, Kabupaten Aceh Besar, Jumat siang, 10 Maret 2017.
Pria berinisial AS itu dicambuk sembilan kali dengan rotan sepanjang satu meter oleh algojo berjubah yang menutup seluruh wajahnya. Sesekali dia menatap ke arah algojo, usai sabetan rotan menghantam punggungnya.
Dia meringis, sambil berusaha menahan sakit. Setelah menerima hukuman cambuk, dia diturunkan dari panggung dan dimasukkan ke sebuah ambulan untuk mendapatkan perawatan medis.
Lalu giliran rekannya, pria yang berinisial AA (60) menerima hukuman cambuk tujuh kali. Lelaki yang kulitnya telah mulai keriput hanya menundukkan kepalanya saat satu per satu sabetan rotan mendarat di punggungnya.
Kedua lelaki itu merupakan warga minoritas etnis Tionghoa yang beragama Buddha di Aceh, satu-satunya provinsi di Indonesia yang memberlakukan Syariat Islam secara parsial sejak 2005.
Mereka dicambuk setelah terbukti bermain judi jenis sabung ayam. Judi ialah perbuatan yang dilarang dalam Qanun Jinayat, aturan pidana Syariat Islam yang mulai diberlakukan di Aceh sejak 2015 lalu.
Sebelum tahun 2015, tidak ada aturan di Aceh yang dapat menjerat warga non-Muslim untuk dihukum cambuk.
Selain mereka, seorang warga Muslim berinisial MA (35) juga dicambuk tujuh kali karena bermain sabung ayam. MA berusaha untuk tetap tegar saat algojo menghunus rotan ke punggungnya.
Sebenarnya, ketiga lelaki yang berprofesi sebagai pedagang itu divonis 10 kali hukuman cambuk oleh majelis hakim Mahkamah Syariah Kota Jantho. Tetapi, hukuman mereka telah dikurangi masa tahanan, dimana satu kali cambuk sama dengan sebulan kurungan.
Dalam pernyataan tertulis yang diperoleh wartawan dijelaskan bahwa ketiganya ditangkap polisi di sebuah kebun Kecamatan Montasik, Aceh Besar pada 1 Januari 2017.
Bersamaan dengan mereka ditangkap, polisi juga menyita dua ekor ayam jago dan enam keranjang ayam.
‘Hanya menonton’
Ketika sedang diobati di ambulan, ketiganya tampak bersenda gurau dengan paramedis yang mengolesi salep di punggung mereka yang lembam akibat sabetan rotan.
"Kami hanya menonton saja (sabung ayam). Orang-orang lain yang bermain berhasil lari semuanya waktu digerebek polisi," kata AS kepada BeritaBenar.
"Hanya kami bertiga yang ada di situ dan tidak lari sehingga ditangkap polisi."
Namun, seorang jaksa dari Kejaksaan Negeri Jantho memastikan ketiganya ikut bermain judi sabung ayam.
"Ketika ditangkap, ada uang taruhan Rp400 ribu yang disita polisi," ungkap jaksa Rivandi Aziz kepada wartawan.
Ditanya alasan warga non-Muslim dicambuk, Aziz menjelaskan, mereka yang melanggar Syariat Islam di Aceh bisa memilih proses hukum antara mengikuti aturan nasional atau menundukkan diri kepada qanun.
Menurutnya, kedua warga etnis Tionghoa itu memilih menundukkan diri pada Qanun Jinayat daripada diproses dengan menggunakan aturan yang berlaku secara nasional.
"Kita tinggal di Aceh, ya harus tunduk pada aturan yang berlaku di daerah kita," kata AS, seraya menambahkan ia secara sadar memilih menundukkan diri pada ketentuan qanun dan tidak ada paksaan dari siapapun.
AS dan AA adalah orang kedua dan ketiga non Muslim yang dikenakan hukum cambuk di Aceh.
Sebelumnya, seorang perempuan beragama Kristen dicambuk 28 kali di Takengon, Aceh Tengah, pada 12 April 2016, karena terbukti menjual minuman keras.
Algojo mencambuk seorang perempuan di Kota Jantho, Kabupaten Aceh Besar, 10 Maret 2017. (Nurdin Hasan/BeritaBenar)
Zina dan pelecehan seksual
Selain ketiga orang yang dinyatakan terbukti bermain judi sabung ayam, pada siang itu di lokasi yang sama juga dicambuk dua pria lain dan seorang perempuan.
Prosesi hukuman cambuk itu disaksikan puluhan warga dan sejumlah pejabat setempat, termasuk perempuan dan anak-anak. Padahal menurut aturan, anak di bawah 18 tahun dilarang menyaksikan pelaksaan hukuman cambuk.
Seorang pria dengan inisial DBA berusia 41 tahun dicambuk 112 kali karena pelecehan seksual yang dilakukannya terhadap tiga remaja laki-laki berusia 15 dan 16 tahun.
Aziz mengatakan DBA ditangkap polisi di Kecamatan Sukamakmur, 27 Juli 2016.
Eksekusi terhadap DBA sempat dihentikan setelah dicambuk 80 kali. Setelah diperiksa tim dokter dan beristirahat beberapa menit, sisa 32 kali cambuk kembali dilanjutkan.
Setiap 10 kali cambukan, jaksa yang mendampingi terhukum bertanya apakah masih sanggup. Meski berusaha menahan rasa sakit, DBA mengangguk kepala sebagai tanda masih sanggup dicambuk.
Menurut Aziz seharusnya DBA mendapat 120 hukuman cambuk seperti divonis majelis hakim. Delapan kali cambuk dipotong karena ia telah menjalani masa tahanan delapan bulan. Setelah dicambuk, DBA bebas dan tidak ditahan lagi.
“Kasus pelecehan seksual yang dilakukannya terjadi di tiga lokasi dengan waktu berbeda sehingga berkas perkaranya ada tiga,” katanya.
Aziz menjelaskan dalam setiap perkara tersebut, majelis hakim memvonis DBA dengan hukuman 40 kali sehingga totalnya menjadi 120 cambukan.
Dalam Qanun Jinayat disebutkan pelaku pelecehan seksual diancam hukuman maksimal 40 kali cambuk. Sedangkan pelecehan terhadap anak-anak dihukum cambuk paling banyak 90 kali.
Sedangkan dua orang lagi yang dicambuk adalah sepasang lelaki dan perempuan karena mereka mengaku telah berbuat zina. Keduanya yang ditangkap warga pada 8 Oktober 2016 lalu divonis masing-masing 100 kali cambuk.
Pria 25 tahun berinisial RA dicambuk 94 kali cambukan, sedangkan pasangannya yang berumur 18 tahun dengan inisial CN dicambuk 99 kali. Hukuman terhadap mereka telah dikurangi masa tahanan.