Buni Yani, Pengunggah Potongan Video Pidato Ahok Terancam 8 Tahun Penjara
2017.06.13
Jakarta

Buni Yani, pengunggah video potongan pidato mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama terancam hukuman delapan tahun penjara setelah jaksa mendakwanya dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Dalam persidangan perdana yang digelar di Pengadilan Negeri Bandung, Selasa, 13 Juni 2017, jaksa penuntut umum (JPU) mendakwa Buni Yani telah melanggar Pasal 32 ayat 1 juncto Pasal 48 ayat 1 UU ITE tentang pengubahan, penambahan, dan pengurangan suatu informasi atau dokumen elektronik dan Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45 ayat 2 tentang ujaran kebencian.
"Ancaman pasal pertama delapan tahun penjara, sedangkan kedua enam tahun," tutur kuasa hukum Buni Yani, Aldwin Rahadian, saat dihubungi BeritaBenar dari Jakarta usai persidangan.
Buni Yani sebelumnya diduga telah mengubah durasi rekaman video kegiatan Ahok di Kepulauan Seribu yang diunggah Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik Provinsi DKI Jakarta.
Video berjudul "27 Sept 2016, Gub Basuki T. Purnama Kunjungan ke Kep. Seribu dlm rangka kerja sasama dg STP" itu sejatinya berdurasi 1 jam 48 menit.
Namun oleh Buni Yani, video dipotong hanya menjadi 30 detik, dari menit ke-24 hingga 25, saat Ahok berpidato menyitir Al Maidah ayat 51 di hadapan warga Kepulauan Seribu.
Tak hanya itu, Buni Yani juga diduga menghilangkan kata "pakai" serta menambahkan keterangan (caption), "Penistaan terhadap agama dengan penjelasan pemilih Muslim serta kelihatannya akan terjadi sesuatu yang kurang baik".
Mengutip pernyataan jaksa Andi Taufik di laman Kompas.com, tindakan Buni Yani itu yang kemudian dianggap memicu munculnya antipati dan desakan langkah hukum terhadap Ahok.
"Sehingga perbuatan terdakwa menimbulkan kebencian atau permusuhan umat Islam terhadap saksi Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang beretnis Tionghoa dan beragama non-Islam," ujar Andi.
"Dengan tambahan caption tersebut mengakibatkan adanya reaksi dari masyarakat, khususnya umat Islam."
Rangkaian unjuk rasa besar menentang Ahok memang bermunculan usai video tersebut tersebar di ranah maya, seperti unjuk rasa 4 November 2016 dan 2 Desember 2016.
Isu untuk memilih pemimpin Muslim juga digunakan lawan politik Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta, yang berujung kekalahan Ahok dari pasangan Muslim, Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
Jaksa dianggap keliru
Mengenai dakwaan tersebut, Aldwin menilai jaksa telah bersikap keliru. Ia merujuk pada dakwaan pertama Pasal 32 ayat 1 juncto Pasal 48 ayat 1 UU ITE tentang pengubahan, penambahan, dan pengurangan suatu informasi atau dokumen elektronik.
"Pasal itu enggak ada dalam penyidikan, tapi kok tiba-tiba ada saat proses peradilan?" kata Aldwin, "kami menolak dakwan ini dan akan menyampaikan keberatan (eksepsi)."
Hal sama disampaikan Buni Yani kepada majelis hakim setelah pembacaan dakwaan oleh jaksa.
"Saya tidak mengerti Pasal 32 UU ITE karena saya tidak pernah diperiksa penyidik," ujar Buni Yani seperti dikutip dari laman Republika.co.id.
Sidang pembacaan keberatan Buni Yani bakal digelar Selasa pekan depan, di Pengadilan Negeri Kota Bandung, Jawa Barat.
Persidangan kasus dugaan pelanggaran UU ITE dan ujaran kebencian oleh Buni Yani ini semestinya berlangsung di Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat, sesuai lokasi dugaan tindak pidana dilakukan.
Namun, Kejaksaan Tinggi Jawa Barat memindahkan ke Pengadilan Negeri Kota Bandung dengan alasan keamanan.
Perihal lokasi persidangan yang dipindah ke Bandung juga menjadi bahan kritikan kuasa hukum Buni Yani.
"Ini hal formil yang dilanggar jaksa. Nanti akan kami sampaikan dalam nota keberatan secara terperinci," tambah Aldwin.
Saat persidangan pertama berlangsung, puluhan orang berunjuk rasa di depan gedung pengadilan. Kedatangan mereka untuk mendukung Buni Yani melewati proses hukum.
Buni Yani usai persidangan sempat menemui massa yang berunjuk rasa di depan gedung pengadilan guna mengungkapkan rasa terima kasih.
Ia juga sempat berorasi, mengatakan bahwa kasusnya penuh rekayasa.
"Ketika Ahok dipenjara, seharusnya kasus saya dihentikan. Tapi ini dipengadilan kan," tuturnya.
"Fakta hukum mengatakan bahwa Ahok sudah masuk penjara. Artinya, saya tidak memfitnah Ahok telah menista agama."
Tersangka sejak Oktober
Ahok memang telah berstatus terpidana kasus penistaan agama, setelah pencabutan banding jaksa atas vonis dua tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Tim kuasa hukum Ahok terlebih dahulu telah mencabut banding, yakni pada 22 Mei 2017.
Meski telah berkekuatan hukum tetap, Ahok masih berpeluang menempuh jalur hukum lain untuk terhindar dari hukuman dua tahun penjara, seperti mengajukan Peninjuan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung atau grasi (pengurangan hukuman) ke Presiden Joko Widodo.
Soal kemungkinan menempuh langkah hukum itu, kuasa hukum Ahok masih bungkam. Ahok kini masih ditahan di rumah tahanan Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.
Buni Yani ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya pada 23 Oktober 2016 atau sekitar sebulan sebelum Ahok ditetapkan jadi tersangka kasus penistaan agama.